Pendidikan dan Kuasa
Modal
Oleh : Emanuel Bataona
NTT, IMC - Revolusi dagang akan
runtuh bila kita tidak membeli apa yang mereka jual: ide-ide mereka, versi
sejarah mereka, senjata-senjata mereka, dan gagasan mereka. Ingatlah: kita
memiliki banyak, mereka sedikit. Mereka membutuhkan lebih banyak dari kita
ketimbang yang kita butuhkan dari mereka. (Arundhati Roy, Pengarang Novel The God of Small Thing)
Anda pernah
mendengar salah satu negara kecil di Kepulauan Karibia yang terkenal dengan
cerutu nomor wahid di dunia? Negara ini juga telah membesarkan pejuang-pejuang
revolusioner sekaliber Che Guevara
dan Fidel Castro. Negara yang
kemudian menjadi rujukan negara-negara di Amerika Latin dalam menjalankan
kebijakan ekonom politik yang memilih berseberangan dengan ideologi mainstream
yang dinakhodai oleh Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan multinasional.
Meski telah
diembargo demikian lama oleh Amerika Serikat, namun Kuba mampu menjalanan
pembangunannya tanpa mengacu pada resep yang ditawarkan oleh negara-negara maju
melalui lembaga-lembaga multilateral semisal IMF, Bank Dunia dan WTO. Salah
satu indikator keberhasilan ini dapat dilihat melalui kebijakan pemerintah
untuk menggratiskan sektor pendidikan dan kesehatan bagi rakyat. Keberhasilan
ini kemudian mendorong penemuan-penemuan mutakhir di bidang bio teknologi dan
bahkan negara ini berada sejajar dengan negara-negara maju dalam bidang medis
sesuai dengan pernyataan Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Direktur Rumah Sakit
Kanker Dharmais, Jakarta (Kompas, 8 November 2012).
Baca juga : Kartini: Pers Itu Untuk Menaikkan Derajat Rakyat!
Baca juga : Kartini: Pers Itu Untuk Menaikkan Derajat Rakyat!
Pendidikan Sebagai Prioritas
Mengapa
pendidikan harus menjadi prioritas utama? Dalam salah satu acara di salah satu
stasiun televisi swasta, DR. Imam B. Prasodjo, seorang Guru Besar Sosiologi UI,
mengatakan bahwa minimal ada tiga alasan mengapa pendidikan harus menjadi
perhatian pokok negara yang ingin maju; Pertama: pendidikan adalah media untuk
mentransfer ilmu pengetahuan. Kedua: dengan pendidikan yang berkualitas maka
akan mendorong peserta didik menemukan penemuan-penemuan baru melalui riset dan
berbagai metode yang lain dan pada gilirannya akan memajukan potensi
tenaga-tenaga produktif di sebuah negara. Ketiga: pendidikan juga menjadi media
efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan
kebenaran, namun hal ini akan sulit dilakukan ketika pilar-pilar pendidikan
(pemerintah, pengajar dan pihak-pihak yang berwenang dalam masalah pendidikan)
secara internal justru menjalankan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang akan diberikan (KKN, tidak dialogis, tidak demokratis, dan
sebagainya).
Lalu bagaimana
wajah pendidikan di negara kita? Meski pertanyaan ini telah sering menjadi
bahasan dan tema berbagai diskusi atau seminar yang dilakukan oleh berbagai
kalangan, namun tetap perlu menjadi perhatian kita bersama. Hal ini penting
mengingat pembahasan mengenai pendidikan sering kita lepaskan dengan logika
kuasa modal (baca:neoliberalisme) yang telah menjadi inheren dalam kebijakan
ekonomi politik yang diterapkan di republik ini. Dengan mengetahui relasi
tersebut, maka kita akan terhindar dari pemahaman yang distortif dalam melihat
fenomena pendidikan di negara kita. Sebagai contoh, masih banyak diantara kita
yang menganggap bahwa kebijakan BHMN-isasi (baca:swastanisasi kampus) yang
diperkuat melalui BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan kebijakan otonom
kampus sebagai solusi atas persoalan yang ada semisal persoalan keuangan. Atau
ada pula yang menganggap bahwa kebijakan ini justru merupakan realisasi
perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan dalam arti kata bahwa kebijakan
ini murni produk negara. Pandangan-pandangan tersebut tentu sangat menyesatkan
karena telah melupakan akar permasalahan yaitu relasi negara dengan kuasa
modal.
Baca juga : Petani dan Kesejahteraan
Baca juga : Petani dan Kesejahteraan
Pendidikan dan Kuasa Modal
Sesuai dengan
amanat konstitusi kita bahwa negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan
yang layak bagi setiap rakyat Indonesia tanpa terkecuali sebagai jalan untuk
mencerdaskan bangsa ini. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menjadi
“barang” yang mudah diakses bagi siapa saja tanpa memepertimbangkan kelas
sosial tertentu.
Logika diatas
jelas kontradiktif dengan doktrin neoliberalisme yang saat ini menjadi rujukan
utama kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Doktrin neoliberalisme
mengisyaratkan bahwa berbagai hal yang sebelumnya menjadi tanggungjawab sosial
atau menjadi tanggungjawab negara dialihkan menjadi tanggungjawab individu.
Sehingga kemiskinan dan kebodohan (baca:tidak mampu mengakses pendidikan yang
layak) yang dialami mayoritas rakyat Indonesia dinisbahkan sebagai kesalahan
individual rakyat Indonesia yang menurut McLelland tidak memiliki “N’Ach” atau
Need for Achievement yaitu keinginan untuk berprestasi. Dengan pandangan ini
kita akan terjebak pada proses blaming the victim (menyalahkan korban) yang
oleh Kang Jalal dalam bukunya Rekayasa Sosial diketegorikan sebagai salah satu
bentuk kesalahan berpikir.
Dalam logika
ekonomi neoliberal diterangkan bahwa semua sektor kehidupan termasuk pendidikan
harus diarahkan pada kompetisi yang sebebas-bebasnya (laissez faire). Ini
berarti bahwa sektor pendidikan yang sebelumnya mendapat perhatian penuh oleh
negara melalui jaminan subsidi, kemudian harus dicabut sepenuhnya. Bagi
pemerintahan pro neoliberal, subsidi merupakan bentuk intervensi yang memboroskan
anggaran dan mendistorsi pasar, hingga harus dihapus. Dengan demikian sektor
pendidikan dituntut untuk memenuhi pembiayaan pendidikan dengan usaha sendiri.
Kondisi inilah yang membuka peluang besar terjadinya komersialisasi dan
swastanisasi pendidikan. Dan sasaran empuknya tentu rakyat miskin yang semakin
tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.
Dalam suatu
diskusi informal, seorang mahasiswa dengan lugunya bertanya kepada saya, “Apa
Presiden Jokowi tidak pernah membaca buku Orang Miskin Dilarang Sekolah hingga
ia tega mencabut subsidi pendidikan? Jawaban dari pertanyaan ini tidak cukup
dengan menyederhanakannya bahwa ini hanya persoalan watak birokrasi kita yang
sarat KKN, bad governance dan sebagainya. Namun lebih dari itu mesti kita lihat
bahwa kebijaan seperti pencabutan subsidi sosial yang berujuang pada
liberalisasi berbagai sektor semisal pendidikan adalah konsekuensi
keikutsertaan negara dalam pelaksanaan paketan kebijakan neoliberal yang
dipaksakan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam GATS (General
Agreement on Trade in Services), yang merupakan salah satu persetujuan di WTO,
tingkatan pendidikan yang akan diliberalisasi terdiri dari Primary Education
Services; Higher Education Services; Adult Education; Other Educations Services
(Darmaningtyas:2005). Negara kita yang merupakan anggota WTO tentu akan serta
merta menjalankan kebijakan liberalisasi di sektor pendidikan sesuai yang
tercantum dalam perjanjian diatas.
Baca juga : Konstruksi Sosial Teknologi dan Prostitusi Online
Baca juga : Konstruksi Sosial Teknologi dan Prostitusi Online
Kenali Musuhmu
Saya selalu
tertarik dengan slogan There Are Many Alternatives (selalu ada banyak
alternatif ). Slogan ini selalu mengingatkan saya dengan negara-negara di
Amerika Latin yang berpuluh-puluh tahun berjibaku dengan kebijakan neoliberal
dan diperparah dengan pemerintahan diktator yang merupakan perpanjangan tangan
imperium negara-negara maju. Resep neoliberal semisal pencabutan subsidi sosial
(pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) justru membuat mereka semakin miskin
dan jauh dari sejahtera. Namun beberapa dekade terakhir, beberapa negara di
kawasan ini telah mampu memberikan alternatif kepada negara-negara Dunia Ketiga
yang sama-sama terjajah oleh kekuasaan modal. Dan ini tentu tdiak hadir begitu
saja namun melalui perjuangan yang panjang.
Kita tidak
bisa hanya menunggu political will dari pemerintah namun saatnya terlibat serta
untuk merubah kondisi yang tidak adil ini. Mulailah dengan mengenali siapa saja
yang berada dalam imperium modal global dan tentu siapa saja kaki tangannya di
republik ini. Lalu simak dengan seksama bagaimana mereka bekerja agar kita
tidak mudah tertipu karena mereka sangat lihai. Dan tugas ini mesti kita
lakukan secara bersama karena kekuatan mereka justru berada pada ketidakmampuan
kita untuk bersatu. (red)
Tags
Opini