Paskah Tidak Mengajarkan Manusia Untuk Korupsi


Malang, IMC - “Yesus wafat, bukan untuk orang Yahudi saja. Tapi untuk semua orang beriman. Kita tahu, dalam kitab Kejadian ada manusia yang jadi pemberontak yaitu manusia pertama makan buah terlarang. Tapi kenapa, manusia pemberontak yang disebut manusia pertama itu akhirnya mau makan buah terlarang di taman Eden itu? Ingat, paskah tidak mengajarkan kita untuk menjadi manusia korupsi dan konsumtif,” kata Uskup Keuskupan Malang Monsinyur Henricus Pidyarto OCarm yang didampingi oleh Romo Deni Firmanto Pr dan Diakon Surya Pr, ketika dalam pengantarnya memimpin ibadat Jumat Agung di Gereja Katedral Santa Maria Dari Gunung Karmel, Keuskupan Malang, Jumat (14/4/2017) sore, tepat pukul 15.00 WIB di hadapan ribuan umat katolik yang memadati bagian dalam gedung gereja dan tenda pada sisi kiri, kanan, dan depan gereja.
“Allah mengutus Yesus Kristus untuk jadi manusia baru. Kita pun sama. Sehingga terjadilah pengampunan dunia. Kehidupan dikembalikan kepada manusia yakni kita sendiri. Pohon pengetahuan itu telah disalahgunakan oleh manusia pertama, untuk diimani, dan diganti dengan salib Yesus,” tambah Uskup Pidyarto.
Dikatakannya, hukuman salib adalah hukuman yang paling kejam di zaman dahulu kala. Yang mana, di zaman dahulu kala itu, orang-orang paling takut dengan kata salib. Sehingga dengan penyebutan salib itu, telah membuat masyarakat pada waktu itu sungguh-sungguh menjadi takut dan merinding, bila mendengarnya. Karena bagi mereka (bangsa Yahudi) salib itu adalah yang paling kejam.
“Cara yang paling kejam ini, merupakan cara Allah membuat kita kembali sadar. Mau pakai cara apalagi, supaya manusia kembali sadar? Cara inilah yang terakhir yang dipilih dan dipakai Allah untuk menyadarkan kita. Memang, carai ini sungguh kejam. Tapi bagi Allah, ini merupakan cara yang terbaik,” tegas Uskup Pidyarto, sembari menatap umat mengakhiri kotbahnya.

Sementara itu, Heribertus Heru, salah satu umat katolik dan juga pengurus Dewan Pastoral Paroki (DPP) Paroki Katedral Santa Maria Dari Gunung Karmel bidang Liturgi, ketika dimintai komentarnya terkait peristiwa Jumat Agung (menyambut paskah) dengan melihat situasi terkini bagi bangsa Indonesia, menyatakan, sebelum memasuki peristiwa pekan trisuci, umat katolik di seluruh dunia tentunya telah melalui pra-paskah yakni puasa selama 40 hari. Apalagi ditambah lagi dengan peristiwa Kamis Putih, itu telah menandakan bahwa sebagai manusia (umat katolik) tidak boleh mengikuti perilaku atau cara hidup yang jelek atau salah di tengah masyarakat. Karena apabila sebagai umat katolik, masih mengikuti cara hidup yang salah di tengah masyarakat, maka belum bisa dikatakan “manusia baru” atau “lahir kembali”.
“Yang disebut ‘lahir kembali’ atau ‘manusia baru’ itu adalah tidak mudah tergoda untuk berbuat dosa. Misalkan tidak korupsi uang rakyat. Tidak malas bekerja. Karena peristiwa Kamis Putih, telah mengajarkan kepada kita tentang makna terdalam yakni melayani. Bukan dilayani. Dan melayani bukan harus korupsi, apalagi merusak alam di sekitar kita,” tegasnya.

Secara terpisah, tepat pukul 09.00 WIB, tingkat satu mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Pastoral (STP) dan mahasiswa-mahasiswi Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang, mengadakan visualisasi jalan salib untuk mengenang penderitaan hingga wafat Yesus Kristus di salib di kompleks kampus STP- IPI, Jumat, (14/4/2017). 
Menariknya, visualisasi jalan salib yang diperankan oleh calon katekis yang masih menempuh perkuliahan di kampus STP- IPI, ini disaksikan pula oleh anak-anak disabilitas (anak-anak cacat) yang diasuh di Suster-Suster dan Bruder ALMA. Sehingga sungguh-sungguh menyentuh umat yang hadir mengikuti jalan salib tersebut.

“Terpanggil dan diutus menjadi seorang katekis, sangatlah tidak mudah. Apalagi menjadi katekis di zaman serba canggih dengan teknologi. Tetapi mau tidak mau, seorang katekis haruslah benar-benar melakukan pengorbanan untuk menunaikan tugas dan pelayanan yang diembannya kelak,” kata Kepala Kampus STP- IPI Malang, Suster Antonela ALMA.

Baca juga : Senandung Doa di Tengah Laut Larantuka NTT
“Adegan visualisai jalan salib ini bukan untuk dibangga-banggakan. Melainkan untuk dimaknai sebagai salah satu cara untuk belajar rendah hati. Tidak mudah dan tidak semua orang katolik termasuk calon katekis dan yang sudah menjadi katekis, mau bersikap rendah hati. Rendah hati bukan berarti rendah diri,” pesannya mengingatkan. (Felix)


Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال