Aceh Tamiang, IMC - Pengangkatan Sekretaris Daerah (Sekda) di sejumlah daerah kerap kali memicu polemik, terutama ketika calon terpilih dihadapkan pada status perkawinannya. Kondisi ini menyoroti "dilema" antara tiga peraturan pemerintah: PP 45/1990, PP 58 Tahun 2009, dan PP 11 Tahun 2017. Ketiganya, meski saling berkaitan, memiliki fokus yang berbeda dan menimbulkan tantangan dalam proses seleksi. Senin (11/08/25)
Secara hierarki, tidak ada peraturan yang lebih tinggi dari yang lain, namun sifatnya berbeda. PP 45/1990 (perubahan dari PP 10/1983) secara spesifik mengatur izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aturan ini membolehkan PNS pria berpoligami, asalkan memenuhi syarat ketat seperti izin dari istri pertama, kemampuan finansial, dan bukti mampu berlaku adil.
Di sisi lain, PP 58 Tahun 2009 mengatur syarat dan tata cara pengangkatan Sekda di Aceh, sementara PP 11 Tahun 2017 adalah landasan umum manajemen PNS secara nasional. Kedua peraturan ini tidak secara eksplisit melarang calon Sekda berpoligami. Mereka lebih berfokus pada kriteria manajerial, kompetensi, dan integritas.
"Dilema muncul ketika calon Sekda yang sah secara hukum berpoligami, dihadapkan pada norma etika dan politik yang menuntut integritas moral yang tinggi dari seorang pejabat publik," ujar seorang pengamat tata kelola pemerintahan yang tidak mau disebutkan namanya.
Menurutnya, panitia seleksi dan pejabat pembina kepegawaian (dalam hal ini kepala daerah) memainkan peran krusial. Panitia seleksi harus memastikan calon memenuhi semua syarat administratif, termasuk yang tertera dalam PP 45/1990. Jika calon Sekda sudah mendapatkan izin poligami yang sah sesuai aturan tersebut, maka secara hukum statusnya tidak bisa dijadikan alasan diskualifikasi.
Namun, pertimbangan tidak berhenti pada aspek hukum. Pejabat pembina kepegawaian memiliki wewenang diskresi untuk memilih satu nama dari tiga calon terbaik. Dalam tahap ini, pertimbangan politis, etika, dan persepsi publik terhadap status poligami dapat menjadi faktor penentu.
"Kepala daerah perlu menimbang apakah status perkawinan calon Sekda dapat mengganggu stabilitas politik atau menimbulkan kontroversi di masyarakat. Integritas tidak hanya soal korupsi, tetapi juga tentang keteladanan yang bisa diterima publik," tambahnya.
Untuk menyikapi dilema ini, diperlukan pendekatan yang holistik. Aturan hukum harus tetap menjadi pedoman utama, namun tidak mengabaikan norma etika dan ekspektasi publik. Pengawasan yang ketat terhadap proses seleksi dan transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi kunci agar pengangkatan Sekda tidak menimbulkan polemik.
Seorang calon Sekda, meskipun secara legal telah memenuhi syarat poligami, diharapkan juga mampu meyakinkan publik bahwa status perkawinannya tidak akan mengganggu kinerjanya sebagai abdi negara yang profesional dan berintegritas.
Tapi sampai saat ini belum dibuka pendaftaran dan usulan calon sekda Kabupaten Aceh Tamiang.