Jakarta, IMC- Setiap tahun, tiap
tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Raden Adjeng Kartini lahir
di Jepara tanggal 21 April 1879 dan wafat 17 September 1904 di Rembang
dinobatkan sebagai ‘pahlawan nasional’. Disebut pahlawan nasional karena
sebagai pelopor gerakan gender di Indonesia (perjuangan kaum perempuan).
Kartini telah menjadi icon penting sejak dasawarsa awal abad ke-20. Jika Bung
Karno dikenal sebagai ‘tokoh’ dipelbagai panggung dan mimbar politik dunia,
kalau Kartini lebih memilih sebagai “pokok” ketimbang sebagai “tokoh”. Ia
menolak sensasi-sensasi yang punya dinamika luas. Kenapa menolak?, karena ia
terbelenggu dalam kehidupan pribadi dilingkungan keluarga. Terbelenggunya dapat
dilacak melalui surat-surat korespondensinya :
“…aku ingin
[menulis disurat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri,
Aku ingin tetap tidak dikenal … di Hindia ini,
Jika seseorang mendengar tentang artikel-artikel,
Yang ditulis perempuan Jawa,
Mereka akan segera tahu siapa menulis tulisan itu ...”
(14 Maret 1902)
Aku ingin tetap tidak dikenal … di Hindia ini,
Jika seseorang mendengar tentang artikel-artikel,
Yang ditulis perempuan Jawa,
Mereka akan segera tahu siapa menulis tulisan itu ...”
(14 Maret 1902)
”... Apa yang
kutulis di surat kabar hanya omong kosong saja,
Aku tidak diizinkan menyinggung isu-isu penting,
Ayah tidak suka bila anaknya,
Menjadi buah bibir banyak orang ...”
(20 Mei 1902)
Aku tidak diizinkan menyinggung isu-isu penting,
Ayah tidak suka bila anaknya,
Menjadi buah bibir banyak orang ...”
(20 Mei 1902)
Sepotong
catatan korenpondensi itu membuat dirinya seolah memakai cadar, tapi bukan
cadar sesungguhnya, ia sepantasnya lebih tepat disebut ‘Kartini bertatarias’,
karena jati diri serta kekhasan pribadinya, oleh ayahnya tidak ingin dikenal
orang.
Baca juga : Kartini Bukan Valentine
Ada sesuatu
tentang ketidakadilan (Gender) yang diperlakukan kepada dirinya, sehingga
olehnya dilekatkan sebagai pendekar untuk kaumnya sesama Kartini, pemberontakan
hati. Kartini yang sebelumnya melancarkan kritik antara lain tentang hubungan
antara birokrasi kolonial dan pri-bumi, penyalahgunaan kekuasaan (kritiknya
pada pemerintahan Hindia Belanda), demikian pula reaksinya terhadap keadaan
pathologis masyarakat waktu itu, yang hidup dibawah diskriminasi rasial dan
apartheid bahasa, akhirnya diam seketika. Pemberontakan jiwanya kemudian
diekspresikan melalui sehelai catatan yang dilayangkan kepada kawan-kawan
korenpondensinya di Belanda, ia lebih mencurahkan isi hatinya tentang
kebangkitan kaum perempuan, ketidakadilan pada dirinya dll.
Kartini merasa
hak-haknya telah dipasung disaat ia dilarang bicara soal kemanusiaan,
kebangsaan yang berdampak luas. Ada semacam ketidaktenangan bathin dalam
jiwanya. Ia menulis, dan mendemonstrasikan jiwannya itu melalui korespondensi
kepada sahabat-sahabatnya.
****
Kartini
seorang perempuan. Lebih lemah dibanding laki-laki, itulah membuat ruang
geraknya dibatasi dalam menyahuti kondisi kemanusiaan dan kebangsaan waktu itu.
Istilah Gender
hanya klasifikasi gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelamin, seperti
bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang dan waktu, harta, alat-alat
produksi dan sebagainya. Gender lebih banyak dibentuk oleh persepsi sosial dan
budaya tentang stereotipe perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat.
Karena gender ditentukan oleh masyarakat, maka ideologi dan wawasan suatu
masyarakat atau bangsa turut serta membangun gagasan tentang identitas (gender)
ini.
Apakah gender
merupakan identitas yang natural ataukah sebagai produk dari sosialisasi
kultural?
Para feminis
sepakat bahwa gender adalah identitas kultural, kemudian dibelokkan sedemikian
rupa sehingga seolah-olah merupakan sesuatu yang natural dengan ungkapan yang
sering dilontarkan sebagai “kodrat”. Jika gender adalah identitas kultural maka
laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama.
Baca juga : Hukum Progresif
Dua jenis
kelamin yang natural disebut dengan perempuan dan laki-laki. Sedangkan gender
mengambil bentuk feminin untuk pertama dan maskulin sebagai identitas kedua.
Identitas gender ini perlu diwacanakan, dilembagakan secara terus menerus dalam
sebuah kultur dan sistem. Sehingga tafsir klasik yang menekankan
ketidaksejajaran laki-laki dan perempuan yang berhubungan dengan situasi
sosial-kultural yang merendahkan kedudukan perempuan perlu dibongkar khususnya
dari pandangan yang misoginis.
Identitas gender yang feminin dikenal lemah gemulai, halus budi, berperasaan halus, mengalah dan pasif. Sedangkan gender yang maskulin menempati posisi sebaliknya; perkasa, pemberani, aktif dan mengedepankan rasionya daripada perasaan.
Identitas gender yang feminin dikenal lemah gemulai, halus budi, berperasaan halus, mengalah dan pasif. Sedangkan gender yang maskulin menempati posisi sebaliknya; perkasa, pemberani, aktif dan mengedepankan rasionya daripada perasaan.
Konteks gender
itulah yang membelenggu Kartini ketika ia dikekang hingga ia haru mati diusia
dini 24 tahun. Ia kecewa, merasa terikat, akhirnya harus pergi menghadap sang
Ilahi, kepergiannya syarat dengan problem diskriminatif – ia menggugat hatinya
yang begitu luluh, ia menggugat kesejajarannya dengan laki-laki. Tidak banyak
orang mengetahui hal ihwal kepribadian Kartini yang membuatnya kecewa – hingga
ia mati di usia muda.
Kartini,
penentang ketidakadilan
Kartini beda
dengan Putri Diana, seorang putri jangkung, muda, serta glamour dari Inggris,
yang bergaul luas dan luwes dipelbagai level dan kelas sosial, demikian juga
putri Teresa, seorang penerima hadiah nobel perdamaian, biarawati mungil yang
sudah tua, lahir di Albania, melayani warga yang termiskin di Calcutta, India.
Putri dunia, yang meninggal hampir dalam waktu yang bersamaan, di akhir musim
panas tahun 1997, sangat sensasional dan dikenal sebagai putri “paling peduli”
di dunia. Dunia mengejutnya saat itu, karena harus meninggalkan crew mereka di
jagat ini. Hampir lebih dari 1,5 miliyar penduduk dunia menyaksikan lewat layar
TV waktu itu.
Diana, seorang
rakyat biasa, guru taman kanak-kanak, tapi adalah pemimpin dunia, ketika
ditahun 1981 ia menikah dengan Pangeran Charles, raja dari Inggris. Ia terbang
keliling dunia mewakili dan atas nama keluarga kerajaan, berkenalan dengan
jutaan manusia, dan membangun kegiatan amal. Diana mampu mengusik hati banyak
orang, untuk beramal demi orang kecil dan kepedulian sosial lainnya. Riset
terhadap AIDS, pemeliharaan orang yang terkena penyakit lepra, dan larangan
bagi orang yang menggunakan ranjau darat, contoh dari sekian banyak kepedulian
Diana terhadap kaum miskin dunia.
Akhirnya, ia
dikenal dan dikagumi sebagai “pemimpin wanita” paling pengaruh di dunia, karena
kepeduliannya. Ia pengaruh bukan karena berada pada lingkaran keluarga
kerajaan, tapi karena kepeduliannya, mengenalnya sebagai istri seorang pemimpin
kerajaan, yang membuat ia melanggeng mulus, sekalipun pangeran Charles
mencerainya pada tahun 1996, ia sama sekali tidak kehilangan pengaruhnya
sebagai pemimpin dunia, baik berada didepan maupun belakang dari jutawan
manusia dunia.
Memang,
menjadi pemimpin tidaklah mudah, kepeduliannya diukur oleh manusia. Dan tidak
semua orang yang pertama adalah pemimpin. Sir Edmund Hillary misalnya, adalah
orang pertama yang mencapai puncak Mount Everest, sejak pendakian bersejarah
tahun 1953, namun ia bukanlah pemimpin. Karena ia bukanlah pemimpin dalam
parade pendakian tersebut.
Kepemimpinan,
lebih dilihat pada tingkat kepedulian dan pengaruh. Jika orang menghormati
seseorang sebagai individu, mereka mengaguminya. Jika menghormatinya sebagai
sahabat, mereka mengasihinya. Jika menghormatinya sebagai pemimpin, mereka
mengikutinya, dibelakang sekalipun, bukan ditentang, dilawan, didemo dst. Itulah
pemimpin sejati yang dikagumi oleh penggemarnya.
Diana, seorang
perempuan biasa. Ketika bertahta di aras kerajaan, ia malah peduli dengan
lingkungan sosial dan penderitaan rakyat terpinggirkan, hampir sejengkal tanah
di dunia tidak terlewatkan, demikian juga putri Teresa, sosok perempuan yang
aktif melayani orang miskin. Itulah sosok yang disebut pemimpin, yang selalu
terbaca pada setiap icon, dan dikenangnya, sekalipun orang membaca secara
bertentangan, tapi malah diikuti tanpa melawan dengan aksi dan gejolak dari
setiap icon yang ada.
Kartini,
adalah sosok yang punya identitas, Raden Ajeng, berdarah Ningrat, tapi
penderita ketidakadilan, malah menjadi orang yang ditokohkan - sekalipun ia
menolaknya. Sosok “Kartini” dikenal karena dirinya yang terbelah; ia menjerit
karenanya ia didengar, ia korban olehnya itu ia jadi lambang. Toh akhirnya
Kartini gagal: seorang penentang ketidakadilan yang harus mati di usia muda
sebagai seorang yang masih ’manusia berjenis kelamin perempuan’.
Tapi kegagalan
itu menunjukan betapa tak adilnya system tempat dimana ia hidup – dimana orang
tak lagi mendengarkan isi penderitaan yang dialami, seandainya ia seorang
perempuan masih hidup di abad ini, mungkin ia telah menyelam bersama teman
imajiner, kartini-kartini baru ditengah arus yang lagi tak bersahabat – yang
tak memberi ruang kepada kaumnya sesama Kartini untuk berada diarus yang
dinobatkan hanya milik kaum ‘laki-laki’.
Kita berharap
ditahun-tahun akan datang, tampilnya Kartini-kartini baru – mampu memimpin –dan
menguasai disegala kelas, mampu menyahuti tentang ketidakadilan,
kemanusiaan dan demokrasi dibangsanya.
Selamat hari
Kartini 21 April 1879 – 21 April 2017. (red)
Penulis : Akhmad Bumi
Tags
Opini