Surat Pertama untuk Pak Prabowo: Aceh Ada dalam Tinta Emas Sejarah Indonesia
Oleh: Teuku Iskandar Faisal
Dosen Poltekkes Kemenkes Aceh
Langsa, 15 Juni 2025
Pandahuluan
Aceh adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Posisi Aceh sangatlah strategis, karena berada di ujung barat Indonesia dan berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang merupakan pintu gerbang perdagangan dan pelayaran internasional.
Aceh bergabung dengan Indonesia secara resmi pada 27 Desember 1949 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dan ditetapkan sebagai provinsi pada 1 Januari 1950.
Aceh memiliki sejarah panjang, kalau diibaratkan, bisa jadi sepanjang jarak tempuh antara Kekaisaran Ottoman di Turki menuju Kerajaan Aceh Darussalam pada masa lalu.
Sepanjang sejarah, baik di masa Kesultanan maupun setelah bergabung dengan Indonesia, Aceh mengalami pasang surut, disaat pasang dicatat dengan tinta emas, namun pada saat surut, boleh jadi dicatat dengan tinta darah.
Tulisan singkat ini, saya sampaikan kepada Bapak Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia, saya ingin menjelaskan bahwa Aceh tercatat dengan tinta emas sejarah, baik di masa kerajaan maupun setelah bergabung dengan NKRI.
Tinta Emas Aceh Sebagai Pewaris Identitas Budaya Islam di Indonesia
Aceh menoreh tinta emas sebagai daerah pertama masuknya Agama Islam ke Indonesia bahkan juga Asia Tenggara. Berdasarkan bukti sejarah, Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama dan menjadi pusat penyebaran Islam dan budaya Melayu-Islam di Asia Tenggara.
Kerajaan Perlak atau Kesultanan Perlak, diperkirakan berdiri pada tahun 840 Masehi dan berakhir tahun 1292, lokasinya di Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur.
Kesultanan Perlak memberikan kontribusi positif untuk Indonesia dan mewariskan identitas budaya Islam di negara kita, Indonesia tercinta.
Tinta Emas Kontribusi Aceh Pada Pentas Internasional Dalam Masa Sultan Iskandar Muda.
Kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), mencapai puncak kejayaan.
Aceh mampu menunjukkan kedigjayaannya, menaklukkan Pahang, menguasai Selat Malaka, yang merupakan jalur perdagangan strategis pada masa itu, menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan internasional, melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka pada tahun 1629.
Sebagai raja yang masyhur, Sultan Iskandar Muda ditulis dengan tinta emas dan memperkuat identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Tinta Emas Peran Wanita Dalam Pemerintahan dan Perjuangan Melawan Penjajah
Walaupun Aceh terkenal sebagai kerajaan Islam, namun wanita mendapatkan akses yang besar pada pemerintahan dan memainkan peran penting dalam sejarah Aceh. Ini merupakan bukti bahwa Aceh sudah membuka ruang emansipasi wanita ratusan tahun sebelum Kartini.
Sejarah mencatat dengan tinta emas tokoh wanita terkenal, mulai dari masa kerajaan Pasai di abad ke 13 Masehi, masa kerajaan Aceh sampai masa perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Raja wanita pertama di Aceh adalah Sultanah Nahrisyah, yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Beliau menjadi raja pada abad ke-15 Masehi dan
masa pemerintahannya dianggap sebagai masa kejayaan kerajaan tersebut.
Selanjutnya, kerajaan Aceh juga pernah dipimpin oleh 4 (empat) orang wanita secara berurutan mulai dari tahun 1641- 1699, yaitu Sultanah Safiatuddin, Sultanah Naqiatuddin, Sultanah Zaqiatuddin, dan Sultanah Zainatuddin.
Berikutnya, kita juga mengenal sosok laksamana wanita pertama di dunia, yaitu Laksamana Malahayati (1550 - 1606). Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan wanita dan pada tanggal 11 September 1599 berhasil membunuh penjelajah Belanda bernama Cornelis de Houtman dalam pertarungan hidup dan mati di geladak kapal. Malahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017.
Deretan wanita pejuang dari Aceh lainnya masih banyak dan sudah kita kenal sedemikian rupa, diantaranya: Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Pocut Baren.
Mereka dikenal karena kepemimpinannya, integritas, ketegasan, keberanian melawan penjajah dan pengaruhnya dalam sejarah Aceh.
Tinta Emas Aceh Sebagai Daerah Modal dan Penyumbang Pesawat Pertama untuk Indonesia
Pada Tanggal 17 Juni 1948, Presiden Soekarno meminta sumbangan kepada rakyat Aceh untuk dibelikan pesawat terbang.
Menurut berbagai sumber terkumpullah emas sebanyak SGD 120 ribu atau 20 kilogram, dengan sumbangan itu lalu dibelikan dua pesawat C-47 Dakota.
Pesawat tersebut dinamakan Seulawah R-001 dan Seulawah R-002 yang selanjutnya menjadi cikal bakal maskapai Garuda Indonesia.
Sumbangan emas untuk pembelian pesawat itu, tercatat dengan tinta emas kiprah rakyat Aceh dalam mendukung kemerdekaan Indonesia, termasuk juga Aceh dikenal sebagai daerah modal karena keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan negara ini.
Penutup
Bapak Prabowo yang saya hormati, dari uraian diatas tentang peran Aceh dalam pentas nasional yang tercatat dengan tinta emas.
Aceh memberikan kontribusi positif untuk Republik Indonesia, yaitu: 1) Aceh sebagai pewaris identitas budaya Islam di negara kita, 2) Kontribusi Aceh pada pentas internasional dalam masa Sultan Iskandar Muda, 3) Aceh sebagai pelopor emansipasi wanita, dimana wanita Aceh berperan dalam pemerintahan dan perjuangan melawan Penjajah, dan 4) Aceh daerah modal dan penyumbang pesawat pertama untuk Indonesia.
Maka ketulusan, keikhlasan, keberanian dan pengorbanan rakyat Aceh tidak perlu pembuktian lagi.
Oleh karenanya, saya sebagai putra Aceh asli, meminta bapak untuk segera mengembalikan 4 (empat) pulau yang sudah berpindah kepemilikan menjadi milik Sumatera Utara tanpa diketahui oleh rakyat Aceh.
Saya merasa hubungan yang harmonis antara Indonesia dan Aceh setelah penandatanganan MoU kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 perlu dipertahankan.
Demikian surat pertama dengan judul: "Pak Prabowo, Aceh Ada Dalam Tinta Emas Sejarah Indonesia", saya sampaikan kepada bapak untuk menegaskan bahwa rakyat Aceh tidak mau ditipu lagi, tolong bapak selaku Presiden RI agar segera bersikap atas kisruh ini, sehingga tidak akan melebar kemana-mana dan ditakutkan akan menjadi pemantik konflik Aceh lagi. (red)