Malang,
IMC
- Ada fenomena sosiokultural yang menarik, akhir-akhir ini anak-anak muda sibuk
merayakan Hari Valentine (Valentine’s Day) ketika 14 Februari tiba. Bahkan,
beberapa hari sebelumnya mereka mempersiapkan kartu ucapan selamat atau aneka
bingkisan. Ketika Hari Valentine tiba, banyak SMS berisi ucapan selamat dan
bingkisan cokelat yang “beterbangan” ke aneka jurusan. Mereka sangat antusias
merayakannya.
Bagaimana dengan
Hari Kartini? Ketika 21 April tiba, biasanya tidaklah semeriah ketika mereka
merayakan Hari Valentine. Lebih dari itu, bahkan banyak anak muda kita yang
acuh tak acuh dengan Hari Kartini.
Benar bahwa
Presiden Soekarno pernah menandatangani keputusan Presiden Republik Indonesia
No 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1974,
yang menetapkan Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan nasional sekaligus
menetapkan hari kelahiran Kartini, 21 April untuk diperingati setiap tahun
sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Meski begitu,
perayaan Hari Kartini tidak semeriah Hari Valentine.
Beda
Orientasi
Orientasi Hari
Kartini dan Hari Valentine berbeda. Hari Kartini diambil dari hari kelahiran
RA. Kartini di Jepara – Indonesia yang memperjuangkan terwujudnya emansipasi
perempuan Indonesia. Pada sisi lain, Hari Valentine diambil dari hari
dipenggalnya kepala St. Valentine atau Santo Valentinus di Roma, Romawi, yang
melawan kebijakan Kaisar Claudius.
Bahwa Kartini
adalah pejuang emansipasi perempuan bagi bangsanya, itu tidak perlu diragukan.
Dalam buku Door Duisternis tot Licht (1911) yang dihimpun J. H. Abendanon yang
merupakan kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya dari Eropa serta
dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang;
Boeah Pikiran (1922) yang disusun Armijin Pane dkk, terlukis keinginan kuat
Kartini untuk mengantarkan perempuan pribumi pada derajat yang sama dengan
pria.
Pada usia 12
menjelang 13 tahun, Kartini mulai dipingit orang tuanya. Dia baru saja selesai
belajar di Europese Lagere School
(ELS) dan ingin melanjutkan sekolah dokter di Belanda tetapi tidak diizinkan
ayahnya. Dia pun belajar mandiri dan mengungkapkan keinginannya untuk membawa
kemajuan bagi perempuan pribumi kepada sahabat-sahabatnya.
Di rumah, dia
membaca Koran, majalah, dan buku-buku bermutu. Koran De Locomotief dan majalah
De Hollandsche Lelie merupakan menu bacaannya. Buku-buku berbahasa Belanda
karangan Van Eedan, Augusta de Witt, Goeekoop de Jong Van Beek, dan sebagainya
juga menjadi menu bacaannya. Buku Max Havelaar karya Multatuli, De Stille
Kraacht karya Louis Coperus, serta roman Die Waffen Nieder karya Berta von
Suttner bahkan dibacanya berkali-kali. Dari belajar mandiri itulah Kartini
tumbuh menjadi perempuan cerdas yang cekatan dalam berkorespondensi.
Ketika dinikahi
Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada 12 November 1903, Kartini
segera mendirikan sekolah perempuan di
kompleks kabupaten dan Kartini sendiri yang menjadi gurunya. Jadi, peringatan
Hari Kartini lebih berorientasi pada emansipasi perempuan Indonesia.
Valentine
berbeda dengan Kartini. Kaisar Claudius membuat kebijakan tidak boleh ada
perkawinan pria dengan perempuan karena mengakibatkan para pria enggan menjadi
prajurit kerajaan untuk menundukkan Negara-negara sekitar. St. Valentine
melawan kebijakan Kaisar Claudius dengan tetap mengawinkan pria dengan perempuan
yang saling mencintai. Ketika kegiatan itu diketahui kerajaan, Valentine
ditangkap dan pada 14 Februari 269 M kepalanya dipenggal. Seperempat abad
kemudian, tepatnya 496 M, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai Hari
Valentine. Jadi, perayaan Hari Valentine lebih berorientasi pada ekspresi kasih
sayang antara pria dan perempuan.
Kewajiban
Pemerintah
Mengapa pada era
globalisai ini peringatan Hari Kartini semakin surut, tetapi perayaan Hari
Valentine semakin meriah? Itulah permasalahan kita sekarang.
Mengenai
Valentine, jawabannya sederhana. Perayaan itu meriah karena kelalaian marketing
orang Eropa dan AS dengan menciptakan mitos-mitos baru seolah-olah yang mereka
rayakan adalah pesan St. Valentine. Anak muda Jepang yang dulu tidak mengenal
Hari Valentine sekarang getol merayakannya. Lebih dari itu dalam merayakan,
muncul tradisi baru yang disebut Girichoko, yakni kewajiban para perempuan
memberikan hadiah cokelat kepada teman pria; seolah itu semua pesan St.
Valentine.
Masyarakat
Taiwan dulu juga tidak mengenal Hari Valentine karena telah memiliki “Hari Raya
Anak Perempuan” yang disebut Xi Qi.
Namun, kini banyak anak muda Taiwan yang lebih senang merayakan Hari Valentine
daripada Hari Raya Anak Perempuan.
Anak muda
Indonesia pun cenderung demikian, lebih suka merayakan Hari Valentine daripada
Hari Kartini. Merayakan Hari Valentine tentu tidak dilarang, tetapi jangan
melupakan Hari Kartini.
Kalau kita ingin
masyarakat antusias memperingati Hari Kartini seperti beberapa tahun lalu,
pemerintah wajib memperbaiki “marketing” Hari Kartini. Pemerintah harus mampu
mengondisikan peringatan Hari Kartini sembari meyakinkan masyarakat akan
pentingnya mengimplementasikan konsep emansipasi perempuan di tengah-tengah era
globalisasi sekarang. (Nomasdedo)
Tags
Opini