Oleh: Emanuel Bataona
Mantan Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Malang
Mantan Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Malang
NTT, IMC - ORDE baru telah meminimalkan peran dan
perjuangannya. Ia ditulis sebagai pejuang emansipasi perempuan saja, padahal
pikiran-pikiran dan sumbangsihnya sebetulnya lebih luas dari itu. Itulah
Kartini, perempuan keturunan bangsawan Jawa yang meminta dipanggil dengan nama
“Kartini” saja.
Kartini adalah
pejuang anti-kolonial yang bersenjatakan pikiran-pikiran yang meninju muka
kolonialisme. Dia juga manusia multitalenta, dari pengarang, ahli batik, tokoh
pendidikan, pelukis, pencinta fotografi, pencinta musik, hingga pengagum
perkembangan teknologi.
Seorang
penerjemah surat-suratnya, Joost Cote, menyebut Kartini sebagai simbol
pemutusan secara radikal terhadap masa lalu (feodalisme) dan pemikiran modern
yang menjadi akar bagi kelahiran nasionalisme bangsanya. Sedangkan sastrawan
terkemuka Pramoedya Ananta Toer menyebut Kartini sebagai sang pemula dari
pemikiran modern di Hindia-Belanda.
Dari Bung
Pram, kita mengetahui bahwa Kartini beroperasi pada ruang gagasan dan keahlian
yang sangat luas, tidak sebatas soal isu-isu soal hak kaum perempuan. Dalam buku
“Panggil Aku Kartini Saja”, karya Bung Pram, kita tahu bahwa Kartini punya
minat besar dan pandangan progressif tentang jurnalisme.
Baca juga : R.A. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang
Sebagai
Pengarang
Selain melalui
bacaan berupa buku-buku, Kartini juga mengenal dunia luar melalui
majalah-majalah. Dari majalah-majalah itulah Kartini mengetahui situasi dan
perkembangan pada masanya.
Sebagaimana
dituliskan oleh Pramoedya, beberapa majalah koleksi Kartini sebagian besar
berbahasa Belanda, diantaranya: terbitan BKI v.LTV v NI (Batavia), Neerlandia
(Nederland), Eigenhaard (Jogjakarta), De Echo (Jogjakarta), De Nederlandsche
Taal (Probolinggo), dan De Gids (Nederland).
Tidak hanya
suka mengunyah bacaan dari berbagai majalah, Kartini juga kerap menulis di
majalah-majalah itu. Tulisannya pernah muncul di De Echo, di Jogjakarta, dengan
nama samaran “tiga saudara”. Tulisan itu berjudul “Een
Gouverneur-Generaalsdag”, yang bercerita mengenai pengalaman Kartini-bersaudara
bersama ayahnya saat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Rooseboom dan
Nyonya di Semarang.
Tidak jarang
Kartini menjadi kesal. Ayahnya, RM Adipati Ario Sosrodiningrat, pada awalnya
sangat mendukungnya untuk menulis, tetapi di lain waktu terkadang melarangnya.
Ketika seorang
Belanda, Nyonya Ter Horst, menyediakan ruang khusus di majalahnya untuk Kartini
tentang pentingnya pembelaan kepentingan wanita Jawa, Kartini menyambutnya
dengan senang. Dia suka menulis dengan menggunakan nama samaran. Tetapi Kartini
yang tidak suka pujian itu, akan segera marah ketika nama samarannya terbongkar
dan ia menjadi buah bibir orang. “benar-benar aku sebal, karena aku ingin tiada
orang tahu kalau aku memainkan pena,” katanya melalui surat kepada kawan
Belanda-nya, Estelle “Stella” Zeehandelaar.
Kartini juga
merasa senang, beberapa tulisan-tulisannya di majalah pribumi dan belanda
menjadi bacaan bagi kaum pribumi. “Pengajaran pribumi bagi gadis-gadis,”
katanya.
Kartini sangat
yakin, karangan-karangannya yang termuat di majalah-majalah akan menjadi alat
mewujudkan cita-citanya. “Sebagai pengarang,” kata Kartini, “aku akan bekerja
secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk
menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.”
Baca juga : Kartini Bukan Valentine
Fungsi Pers
Pada masanya
Kartini, sebagaimana dituliskan Pram, majalah berbahasa melayu atau jawa
masihlah terbatas. Jauh sebelum jamannya Kartini, tepatnya di abad ke-17, dunia
persurat-kabaran sudah tumbuh di Hindia-Belanda.
Pada jamannya
Kartini, kebanyakan yang dimuat oleh koran-koran adalah berita-berita dalam dan
luar negeri, sensasi-sensasi murah, dan fitnah terhadap orang-orang yang tidak
disukai. Pada saat itu, koran dapat dipergunakan untuk memfitnah, sekaligus
dijadikan alat untuk meraih kedudukan.
Terhadap isian
majalah atau koran yang seperti ini, Kartini menyampaikan kekecewaannya. “Koran
biasa dengan berita-berita kebakaran, pencurian, dan pembunuhan, ataupun
penghinaan serta pemfitnahan yang tak ketentuan asalnya,” kata Kartini.
Kartini pun
mengajukan posisi bagaimana seharusnya media itu: “Mingguan dan bulanan, dimana
dimuat segala-galanya yang memperluas pengetahuan, memperkembangkan kecerdasan
serta membersihkan kalbu.”
Kartini pun
menganggap pers sebagai alat yang ampuh untuk perjuangan. Kartini menyambut
gembira berdirinya koran berbahasa melayu, Bintang Hindia, yang diredakturi
oleh Abdul Rivai. “Pemuda-pemuda yang penuh kecintaan dan semangat bagi tanah
air dan bangsanya yang hendak mereka bawa ke arah peradaban,” tulis Kartini
untuk menyambut terbitnya Bintang Hindia.
Koran ini,
meskipun masih dalam haluan politik etis, tetapi sangat mengagung-agungkan
intelektualitas dan daya-pengetahuan. Dan, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam
tulisan “Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950”,
Bintang Hindia berjasa dalam menyediakan bacaan yang baik dan murah kepada
rakyat/kaum pribumi.
Terhadap
Bintang Hindia, Kartini pun menulis dukungannya sebagai berikut: “Dan selalu
menjadi maksudku, untuk mengangkat suara-suara keras, karena hanya publikasi
saja dapat membawakan perbaikan yang kita harapkan atas keadaan yang begitu
membutuhkan perbaikan itu..”
Malahan, atas
desakan seorang kawannya, Kartini bercita-cita mempunyai penerbitan sendiri. Ia
diminta oleh kawannya untuk “mengasah penanya buat kerja menaikkan derajat
rakyat.”
Begitulah,
beberapa tahun setelah meninggalnya Kartini di tahun 1904, koran-koran pergerakan
telah tumbuh dengan suburnya dan telah menjadi garda depan dalam perjuangan
anti-kolonial. (Bataona)
Tags
Opini