Hukum Progresif
Oleh Akhmad
Bumi*
Jakarta, IMC - Hukum progresif yang dikembangkan dari
pemikiran orisinil Prof. Satjipto Rahardjo yang menyandingkan kepastian dan
keadilan hukum berkembang luas dikalangan cendikiawan dan praktisi hukum, dan
dikenal sebagai hukum modern.
Hukum itu
bagian dari manusia, bukan bagian dari Negara. Hukum lahir dari hakikat manusia
untuk memanusiakan dirinya dalam hidup bersama didalam Negara. Karena manusia
dalam hidupnya selalu dinamis, berubah dan berkembang maka hukum juga bersifat
dinamis, berubah dan berkembang. Hukum yang dinamis dan berubah itulah oleh
Prof. Satjipto Raharjo dinamakan hukum “mengalir”.
Baca juga : KPK jangan Kalah Gertak dengan Penjahat
Jika dilacak
istilah hukum “mengalir”, hasil pemikiran besar Prof. Satjipto Raharjo yang
menggagas hukum progresif, istilah “mengalir” itu diambil dari filsafat “pantha
rei” dari filsuf Yunani kuno, Heraklitos.
Pantha Rei
adalah jawaban Heraklitos terhadap pertanyaan fundamental dalam filsafat,
apa yang merupakan dasar terdalam dari realitas atau apa yang membuat
sesuatu itu menjadi benar-benar real “ada” sehingga dibedakan dari yang mungkin
saja?
Ada 2 (dua)
jawaban dalam menjawab pertanyaan diatas; Pertama, yang paling real adalah
ketidaktepatan karena tidak ada sesuatu didunia ini yang tetap, tetapi selalu
berubah. Kedua, yang paling real bukan ketidaktepatan tetapi ketetapan, jadi
yang tinggal tetap itulah yang paling real.
Baca juga : Korupsi dalam perspektif HAM
Jika lebih
dalam, sebenarnya patha rei Heraklitos memiliki esensi seperti jawaban kedua,
yang mengatakan yang tinggal tetap itulah yang paling real. Berubah artinya
tidak tetap, dan karena tidak tetap itu terus menerus, maka sebenarnya yang
terjadi adalah tidak tetap itu tetap. Selalu tidak tetap berarti tetap tidak
tetap. Karena itu menurut Heraklitos, perubahan adalah dasar terdalam dari
realitas.
Permenides
menolak perubahan sebagai dasar terdalam dari realitas. Bagi Permenides, “ada”
itu inti dari realitas. Segala apa saja memiliki arti sejauh sesuatu itu “ada”.
Sesuatu ada atau tidak ada, kalau tidak ada maka tidak ada arti dan tidak ada
guna untuk kita memikirkannya. Kalau ada itu ditiadakan, maka segala yang
disebutkan (ada) tidak terjadi atau tidak ada. Dasar terdalam ada bukan
perubahan. Segala sesuatu yang lain menjadi ada karena adalah dasarnya.
Akan tetapi,
“ada” itu tidak dapat berubah, karena berubah berarti menjadi lain. Tapi, tidak
ada yang lain selain dari yang ada. Oleh Permenides, “ada” dapat berubah hanya
terdapat 2 (dua) kemungkinan; Pertama, ada dapat berubah menjadi ada. Kedua,
ada dapat berubah menjadi tidak ada. Akan tetapi, ada itu tidak dapat menjadi
ada sebab dia sudah ada. Dan ada tidak dapat menjadi tidak ada sebab
dalam hal itu ia sudah tidak ada, dan kalau sudah tidak ada maka tidak
ada guna lagi kita memikirkannya. Atas dasar itu, Permenides menyimpulkan bahwa
perubahan itu tidak real, yang real hanya “ada”.
Baca juga : Perilaku Curang Membuat Demokrasi Cacat
Oleh
Heraklitos mengakui perubahan sebagai dasar dari segala realitas. Karena tidak
ada realitas yang tetap melainkan selalu berubah. Yang tetap hanya satu
hal yakni perubahan. Segalanya mengalir bagaikan air (pantha rei). Perubahan
adalah kenyataan yang paling nyata dan merupakan hukum yang paling dasariah
dari realitas. Tapi bagi Heraklitos, yang paling jelas bukan “ada” tetapi
perubahan, karena perubahan itu terjadi dengan terus menerus. Tidak tetap itu
berlangsung terus. Jadi tidak tetap itu tetap.
Kembali kepada
Pantha Rei bahwa segalanya berubah. Tetapi, kalau segalanya terus berubah,
selalu berada dalam proses menjadi lain, maka pengetahuan manusia menjadi tidak
mungkin, sebab yang dapat dikenal hanyalah yang ada. Lagi pula pantha rei ini
justru menghapus kemungkinan perubahan itu sendiri. Padahal yang ditangkap oleh
pengalaman kita, betul perubahan, akan tetapi bukan perubahan murni, melainkan
perubahan dari sesuatu. Jadi ada sesuatu yang berubah.
Baca juga : Indonesia Negara Beragama
Dari pemikiran
itu maka dapat ditarik; Pertama, tidak ada oposisi mutlak antara ada dan
perubahan, sehingga tidak perlu disangkal adanya perubahan yang hanya
membuktikan bahwa realitas itu dari ada. Kedua, segala yang berubah adalah
terbatas dalam adanya. Keterbatasan itu terletak dalam kenyataan bahwa sesuatu
itu memperoleh suatu sifat atau ciri baru.
Prof. Rahardjo
mendasarkan hukum progresif bahwa hukum itu mengalir. Ia mendasarkan diri
pada filsafat hukum progresif pada realitas perubahan. Manusia adalah salah
satu realitas di alam ini, dan karenannya itu ia mengalir dan berubah. Karena
hukum itu bagian dari manusia atau bagian dari kehidupan manusia, makanya hukum
juga mengalir. Hukum itu berubah mengikuti perkembangan hidup manusia. Manusia
baik secara individu maupun sosial adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena
tidak sempurnanya itu memungkinkan manusia selalu berubah atau berkembang.
Fakta keterbatasan itulah titik tolak Rahardjo dalam membangun pemikiran
tentang hukum progresifnya.
Baca juga : Novel diteror, Negara Wajib Menjamin Rasa Aman
Dekonstruksi
hukum progresif Rahardjo dilakukan dalam rangka menemukan keadilan, karena
keadilan adalah unsur konstitutif dari hukum. Kehilangan nilai keadilan dari
hukum adalah kehilangan hukum itu sendiri. Dengan demikian hukum progresif oleh
Rahardjo menghubungkan secara mutlak antara hukum dan keadilan, begitu kita
menamakan sesuatu itu hukum, ketika itu juga kita memikirkan keadilan sebagai
konsekwensinya.
Bagi kaum
legalis, konsekwensi logis dari kehadiran hukum adalah kepastian hukum,
keadilan tidak menjadi sesuatu yang orisinil. Oleh Rahardjo menyandingkan kepastian
hukum dan keadilan jalan beriringan sebagai satu nilai fundamental dalam hukum.
Menurut
Rahardjo, hukum itu diadakan oleh manusia untuk kepentingan manusia, yakni
kepentingan keadilan. Dalam rangka keadilan itu maka Rahardjo berbicara tentang
apa yang disebut keterpurukan keadilan. Maksudnya, kita selalu dituntut untuk
bersikap tepat dihadapan ketidakterbatasan orang-orang kongkrit yang kepada
mereka hukum itu dijalankan.
Karena
keadilan itu bagian dari manusia maka begitu hakiki keadilan itu berarti bagi
manusia. Olehnya jika penegakkan hukum membuat keadilan semakin jauh dari hukum
maka kita harus berani melakukan dekonstruksi hukum, karena jangan sampai hukum
itu ditegakkan dengan mengabaikan keadilan. Jika mengabaikan keadilan, maka
hukum itu sendiri dibuat menjadi cacat, jika cacat maka hukum menjadi tidak
berguna bagi manusia.
Baca juga : Pemda Lembata Digugat 300 Milyar
Olehnya hukum
ditegakkan dengan paradigma dan karakter progresif. Hukum hanya pantas
dipandang sebagai hukum manakala hukum tidak menentang keadilan. Bahkan bukan
hukum namanya kalau tidak adil. Hukum yang tidak adil praktis kehilangan arti
sebagai hukum meskipun sebagai peraturan harus ditaati. Hanya saja, ketaatan
pada peraturan bukan karena peraturan memiliki kekuatan hukum (esensi)
melainkan ia ditetapkan oleh penguasa. Hukum yang ditetapkan oleh penguasa
menjadi hukum bukan atas dasar hukum adalah hukum yang konservatif.
Pemikiran Prof
Rahardjo itu sebagai pukulan terhadap penegak hukum dan cara kita berhukum
sekarang ini. Karena kita bangga dengan membuat banyak hukum, padahal banyak
hukum yang kita buat tidak layak disebut sebagai hukum karena absennya keadilan
ditengah penegakkan hukum.#
)* Penulis,
Ketua Lembaga Cita Indonesia