Ditinggal Suami Tanpa Jejak, Dapat Ruko 1,5 Miliar: Untung atau Apes?




Jakarta – Gugatan cerai talak yang diajukan Wisnu Wijayanta terhadap istrinya, Maya Agustini, menimbulkan tanda tanya besar. Perjalanan rumah tangga yang telah mereka bangun selama 24 tahun tiba-tiba runtuh begitu saja. Sejumlah pihak menduga proses perceraian ini sudah direncanakan sejak lama, bahkan diskenariokan.

 

Maya menuturkan, tanpa alasan yang jelas, Wisnu mendadak menghentikan seluruh komunikasi dengannya. Pesan singkat, panggilan telepon, hingga pertemuan langsung tak lagi direspons. Tidak hanya itu, sopir pribadi Wisnu berinisial YE bersama istrinya pun ikut menghilang dari peredaran. Aktivitas mereka di media sosial pun tiba-tiba terputus.

 

“Seakan semua diputus begitu saja. Saya tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ungkap Maya.

 

Luka Akibat “Ghosting”

Bagi Maya, tindakan itu meninggalkan luka batin mendalam. Dua tahun lamanya, ia digantung dalam ketidakpastian. Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan. Upaya komunikasi yang ia lakukan selalu berakhir hampa.

 

Kondisi itu menimbulkan perasaan kehilangan, kecemasan, dan penurunan rasa percaya diri. Maya kerap menyalahkan dirinya sendiri. Ia bertanya-tanya, kesalahan apa yang membuat suaminya pergi tanpa kata.

 

Fenomena “ghosting” ini, yang kini semakin umum terjadi di era digital karena kemudahan memutus komunikasi lewat aplikasi pesan atau media sosial, dalam kasus Maya justru merobek ikatan pernikahan yang telah dijalani seperempat abad.

 

Bayang-Bayang Perselingkuhan

Selain dugaan skenario perceraian, Maya menyinggung kemungkinan perselingkuhan sebagai pemicu. Perselingkuhan, menurutnya, adalah bentuk pengkhianatan serius yang menghancurkan kepercayaan, memicu konflik, bahkan berujung perceraian.

 


“Kepercayaan itu fondasi utama dalam pernikahan. Sekali runtuh, semua ikut roboh,” kata Maya.

Secara hukum, perselingkuhan juga bisa menimbulkan konsekuensi. Bukan hanya merusak keluarga, tetapi dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu rumah tangga orang lain.

 

Akta Kesepakatan yang Dinilai “Jebakan”

Dari proses ghosting itu, muncul akta kesepakatan bersama yang disebut-sebut menjadi jalan menuju gugatan cerai. Dalam akta tersebut, Wisnu berjanji memberikan sejumlah fasilitas finansial yang tampak menggiurkan: harta bersama, nafkah Rp30 juta per bulan seumur hidup hingga Maya menikah lagi, pembangunan ruko senilai Rp1,5 miliar, serta pembayaran asuransi Rp150 juta setiap tahun.

 

Namun di balik janji manis itu, Maya mendapati syarat-syarat yang dianggap mustahil dipenuhi. Antara lain, harus memutus silaturahmi dengan keluarga besar Wisnu, dilarang melaporkan apa pun terkait pernikahan, dilarang menggugat perbuatan masa lalu, hingga larangan mengunggah persoalan ke media sosial. Yang paling berat, ia diminta menggugat cerai dalam 1x24 jam – aturan yang justru berpotensi melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tahun 2022 dan 2023.

 

“Seperti jebakan. Kalau dijalankan, saya justru semakin terpojok,” ujar Maya.

 

Antara Kelemahan dan Prinsip

Maya mengakui dirinya terjebak dalam kondisi sulit. Kesehatannya terganggu, ekonomi melemah, sementara akses mencari keadilan terbatas. Ia menggambarkan dirinya seperti “semut melawan gajah” ketika berhadapan dengan kekuatan dan posisi Wisnu.

 

Namun, ia berpegang teguh pada prinsip. Baginya, kebenaran harus ditegakkan meski perjuangan tampak sia-sia.

 

“Banyak yang bilang saya tidak punya harga diri. Tapi bagi saya, prinsip di atas harga diri. Harga diri bergantung penilaian orang, tapi prinsip berakar pada kebenaran. Itulah yang membuat saya tetap bertahan,” tegasnya.

 


Harapan untuk Kaum Perempuan

Melalui kisahnya, Maya berharap kaum perempuan di Indonesia dapat mengambil pelajaran. Minimnya pengetahuan hukum, menurutnya, bisa membuat istri rentan terjebak dalam kesengsaraan panjang saat menghadapi perceraian.

 

“Saya ingin pengalaman pahit ini menjadi pembelajaran. Jangan sampai wanita lain mengalami hal yang sama,” pesannya.

 

Analisis Hukum: Posisi Perempuan dalam Perceraian

Kasus perceraian Wisnu Wijayanta dan Maya Agustini tidak hanya berbicara soal putusnya ikatan rumah tangga, tetapi juga menyangkut aspek hukum yang melibatkan hak-hak perempuan sebagai istri.

 

Dalam sistem hukum Indonesia, perceraian hanya sah jika diputuskan pengadilan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diperbarui dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Seorang suami tidak dapat semata-mata “menjatuhkan talak” di luar persidangan, karena keputusan sah berada di tangan pengadilan agama (bagi yang beragama Islam).

 

Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 2022 dan 2023 menekankan tata cara administrasi perceraian, termasuk keharusan mengikuti prosedur sidang yang adil. Jika Maya diminta menggugat dalam 1x24 jam, hal itu bertentangan dengan prinsip peradilan yang memberi waktu cukup bagi pihak berperkara untuk menyusun jawaban dan pembelaan.

 

Hak Ekonomi dan Nafkah

Secara hukum, istri berhak atas pembagian harta bersama (gono-gini) dan nafkah pascacerai. Kompensasi berupa uang, aset, atau jaminan nafkah harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika ada klausul yang dinilai memberatkan, tidak masuk akal, atau berpotensi menghilangkan hak hukum istri, maka akta semacam itu bisa dipertanyakan keabsahannya di hadapan pengadilan.

 

Dalam praktiknya, tidak jarang perempuan berada di posisi lemah akibat keterbatasan pengetahuan hukum, kondisi ekonomi, atau tekanan psikologis. Karena itu, lembaga peradilan berkewajiban memastikan proses perceraian berjalan adil tanpa ada pihak yang dirugikan.

Perselingkuhan sebagai Faktor Perceraian

Jika dugaan perselingkuhan terbukti, maka hal itu bisa menjadi alasan sah untuk perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975. Perselingkuhan termasuk kategori “perbuatan buruk” yang membuat hubungan rumah tangga tidak dapat dipertahankan.

 

Namun, pembuktian di pengadilan tetap diperlukan. Tanpa bukti kuat, perselingkuhan hanya menjadi asumsi yang sulit dijadikan dasar hukum.

 

Pesan untuk Kaum Perempuan

Kasus Maya menjadi gambaran bahwa perempuan sering berada pada posisi rawan dalam perceraian, apalagi jika tidak memahami aspek hukum yang berlaku. Untuk itu, penting bagi perempuan memiliki literasi hukum, akses pada bantuan hukum, serta dukungan sosial agar tidak terjebak dalam situasi merugikan.

 

Maya berharap, kisah yang menimpanya menjadi pelajaran bersama. “Saya ingin wanita Indonesia sadar bahwa hukum itu ada untuk melindungi kita. Jangan sampai buta hukum, karena bisa jadi kita yang akan dikorbankan,” ujarnya.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال