Meradangnya Media Massa dan Tanda Bahaya Demokrasi Digital

 

Oleh: Rachman Salihul Hadi



Kabar mengejutkan kembali mengguncang industri media massa Indonesia. Kompas TV melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 150 karyawannya, disusul oleh TV One dengan 75 orang, CNN Indonesia TV lebih drastis dengan 200 karyawan dirumahkan. Viva.co.id dikabarkan akan menutup kantornya di Pulogadung bulan depan. Emtek juga mencoret 100 nama dari daftar karyawannya. Sementara itu, MNC memutuskan untuk menyatukan 10 pemimpin redaksi (pemred) menjadi hanya 3. Semua ini terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Satu kata: neraka kecil bagi pekerja media, dan neraka besar bagi ekosistem demokrasi.

Fenomena ini bukan sekadar masalah bisnis. Ini adalah gejala dari krisis sistemik yang lebih dalam: runtuhnya model media massa konvensional dalam menghadapi tekanan era digital, perubahan konsumsi informasi publik, dan lemahnya ketahanan industri media terhadap disrupsi teknologi serta kompetisi dari platform digital global.

Jika kita menyimak lebih dalam, penyebab utamanya berlapis. Pertama, menurunnya pendapatan iklan yang selama ini menjadi tulang punggung media konvensional. Pengiklan kini lebih memilih platform digital seperti Google, Facebook, dan TikTok yang lebih terukur dan murah. Kedua, perubahan perilaku audiens. Generasi muda lebih memilih konten cepat, visual, dan instan. Tayangan TV dianggap membosankan dan lambat. Ketiga, banyak media tidak mampu beradaptasi, tetap berorientasi pada pendekatan "top-down", bukan "engaging" seperti yang dibutuhkan era digital. Dan terakhir, manajemen media yang gagal melakukan transformasi digital secara serius.

Tapi lebih dari itu, yang paling mencemaskan adalah dampaknya terhadap kualitas demokrasi. Media adalah penjaga gerbang informasi publik. Ketika media-media besar kolaps atau terpaksa menyusut, ruang jurnalisme berkualitas ikut tergerus. Ruang redaksi yang kosong akan digantikan oleh konten algoritma dan informasi viral yang tidak selalu mengedepankan fakta dan etika. Kita menghadapi risiko: makin miskinnya ruang kritis dan makin dominannya narasi yang dikendalikan oleh kekuatan politik atau ekonomi tertentu.

Kita juga harus jujur: negara seolah tutup mata. Tidak ada kebijakan konkret untuk menyelamatkan industri media dari kepunahan. Padahal, seperti sektor pertanian atau manufaktur, media juga merupakan infrastruktur publik. Ia adalah pilar demokrasi yang layak mendapat insentif, pelindungan, dan perhatian serius dari negara. Sayangnya, yang terdengar justru sunyi. Bahkan, tidak sedikit yang melihat ini sebagai keuntungan: semakin lemahnya media, semakin longgar pengawasan terhadap kekuasaan.

Kini, kita benar-benar memasuki era jobless, yang tidak hanya dalam artian kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan arah dan harapan. Para jurnalis, kamerawan, produser, teknisi, dan staf kreatif adalah para profesional yang selama ini menjadi tulang punggung informasi publik. Ketika mereka kehilangan pekerjaan, bukan hanya individu yang terdampak, tetapi kita semua. Kita kehilangan jendela untuk memahami realitas secara objektif.

Sudah waktunya kita bicara jujur: jika negara ingin menjaga demokrasi, maka media harus dilindungi. Bukan dengan sensor, tapi dengan dukungan kebijakan: insentif fiskal, pelatihan transformasi digital, kemitraan dengan platform digital asing, dan reformasi sistemik dalam industri komunikasi.

Jika tidak, maka selamat datang di negara jobless, jobless bukan hanya dari pekerjaan, tapi dari harapan dan informasi yang sehat.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال