Efisiensi Anggaran yang Ambigu: Antara Instruksi Presiden dan Kenyataan di Lapangan

Efisiensi Anggaran yang Ambigu: Antara Instruksi Presiden dan Kenyataan di Lapangan
Oleh : Rachman Salihul Hadi
Pemerintah Indonesia belakangan ini menggaungkan efisiensi anggaran sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas keuangan negara.

Presiden telah menginstruksikan berbagai kementerian dan lembaga untuk melakukan penghematan serta memprioritaskan belanja yang benar-benar berdampak bagi rakyat.

Namun, di sisi lain, kebijakan yang diambil justru menunjukkan adanya kontradiksi, terutama dengan bertambahnya jumlah kementerian, lembaga, serta posisi-posisi seperti utusan khusus yang dinilai tidak memiliki urgensi nyata terhadap kepentingan negara.

Instruksi Efisiensi vs. Kenyataan di Lapangan
Pada 22 Januari 2025, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Inpres ini menginstruksikan kepada para menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati, dan wali kota untuk melakukan reviu anggaran belanja guna mencapai efisiensi yang signifikan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya peningkatan jumlah kementerian dan lembaga dalam pemerintahan saat ini. 

Kabinet Merah Putih periode 2024-2029 terdiri atas 48 kementerian, termasuk penambahan Kementerian Koordinator dari empat menjadi tujuh. 

Kemenko baru tersebut antara lain Kemenko Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan; Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan; Kemenko Bidang Pemberdayaan Masyarakat; dan Kemenko Bidang Pangan.

Selain itu, terdapat penambahan posisi seperti utusan khusus dan penasihat khusus. Pemerintahan Prabowo-Gibran mencatat sejarah dengan memiliki tujuh utusan khusus dan tujuh penasihat khusus, sehingga totalnya ada 14 orang yang bertugas untuk memperlancar tugas presiden. 

Kehadiran posisi utusan dan penasihat khusus ini diperkenalkan melalui Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024.

Utusan Khusus dan Beban Anggaran yang Tidak Perlu Penunjukan berbagai utusan khusus oleh Presiden telah menuai kritik dari berbagai pihak. Banyak yang mempertanyakan urgensi dari posisi-posisi tersebut, terutama jika dikaitkan dengan tugas yang seharusnya sudah bisa dijalankan oleh kementerian atau lembaga yang ada. Misalnya, jika seorang utusan khusus ditugaskan untuk menangani hubungan luar negeri, maka fungsi tersebut seharusnya sudah menjadi ranah Kementerian Luar Negeri.

Keberadaan utusan khusus ini tentu bukan sekadar penambahan personel, tetapi juga berdampak pada anggaran negara yang harus dialokasikan untuk gaji, fasilitas, serta operasional mereka. Padahal, di saat yang sama, banyak sektor lain yang lebih membutuhkan perhatian dan anggaran, seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur yang masih belum merata di berbagai daerah.

Kontradiksi yang Harus Disikapi dengan Bijak
Kebijakan efisiensi anggaran harusnya tidak hanya menjadi sekadar wacana, tetapi benar-benar diterapkan dalam setiap aspek pemerintahan. Jika pemerintah menginginkan efisiensi, maka seharusnya kebijakan yang diambil juga mencerminkan prinsip tersebut.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi kontradiksi ini antara lain:

1. Evaluasi Struktur Kementerian dan Lembaga Pemerintah perlu melakukan audit terhadap efektivitas kementerian dan lembaga yang ada. Jika ada fungsi yang tumpang tindih, sebaiknya dilakukan penggabungan atau bahkan penghapusan lembaga yang kurang relevan.

2. Penghapusan Posisi yang Tidak Urgen Utusan khusus dan jabatan-jabatan yang tidak memiliki urgensi sebaiknya ditiadakan, atau setidaknya dikaji ulang agar tidak menjadi beban anggaran negara.

3. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Pemerintah perlu lebih transparan dalam menyusun anggaran negara agar masyarakat dapat memahami dengan jelas bagaimana uang rakyat digunakan.

4. Peningkatan Efektivitas Program Prioritas Jika efisiensi anggaran benar-benar ingin diterapkan, maka program-program yang memiliki dampak langsung kepada masyarakat harus menjadi prioritas utama dibandingkan pemborosan untuk hal-hal yang tidak substansial.

Kesimpulan
Efisiensi anggaran tidak boleh hanya menjadi retorika politik semata, tetapi harus dibuktikan dengan kebijakan yang konsisten dan tindakan nyata. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah dalam APBN benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar mengakomodasi kepentingan politik atau memperbanyak birokrasi yang tidak efektif.

Jika tidak ada perubahan dalam cara pemerintah mengelola anggaran, maka masyarakat akan semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip efisiensi yang sebenarnya. Transparansi, efektivitas, dan kepentingan rakyat harus menjadi fokus utama dalam setiap pengambilan kebijakan.(Rachman Salihul Hadi)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال