Ini Jawaban DPP Hanura Atas Berita Hoax Terkait 2 Perkara di Partainya

Jakarta,  IMC - DPP Hanura menggelar Konferensi Pers terkait putusan PTUN Jakarta, tentang permohonan fiktif positif tanggal 17 Mei 2018,  yang menimbulkan "KESALAHAN PAHAMAN & SALAH PERSEPSI MEDIA", 

H.  Adi Warman,  SH.,  MH,. MBA, selaku Kuasa Hukum, memberikan Hak Jawab terkait berita Hoax perkara partai Hanura, yang sangat menyesatkan di beberapa media online dan media cetak.  

"Ada beberapa berita hoax yang harus kita luruskan,  yang pertama bahwa DPP Partai Hanura hasil Munaslub II,  mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebanyak 2 perkara," papar Adi Warman, Jumat (18/05/2018), di Kantor Advokat Adi Warman, Grand Slipi Tower lt. 18 Jakarta.

"Yang pertama adalah gugatan dengan obyek sengketa SK 01 tentang kepengurusan OSO dan Herry Luntung, dengan pihak penggugat DPP partai Hanura yang diketuai oleh pak Daryatmo dan Syarifuddin Sudding, tergugatnya adalah Menteri Hukum dan HAM. Tergugat 2 intervensi adalah OSO dan Herry Luntung. Itu perkara gugatan pembatalan SK Menteri Hukum dan HAM", lanjut dia. 

Adi Warman menjelaskan, saat ini perkara tersebut sedang dalam proses pemeriksaan saksi. Sebanyak 3 saksi yang diajukan oleh tergugat II intervensi telah diperiksa.  

"Selanjutnya sidang tersebut ditunda hingga tanggal 28 Mei 2018, dengan agenda pemeriksaan saksi dari tergugat II intervensi, dan itu adalah terakhir. Setelah itu kesimpulannya tanggal 4 Juni. Berikutnya putusan, yang dilakukan hari pertama setelah cuti bersama Idul Fitri," terang Adi Warman. 

Menurutnya, putusan seharusnya dilakukan sebelum lebaran. Namun pihak tergugat II intervensi meminta persidangan ditunda 2 minggu, sehingga mengakibatkan putusan ditunda setelah Lebaran. Hal ini akan berakibat "Fatal", karena tanggal 3 Juli Partai Politik harus sudah menyerahkan daftar nama Caleg di KPU, sehingga waktu yang tersediapun sedemikian "mepet" untuk mempersiapkan hal tersebut. 

"Hal ini entah disengaja atau tidak,  yang tau adalah pihak tergugat intervensi,  kenapa minta seperti itu, yang dapat mengakibatkan kerugian di kedua belah pihak. Karena yang berhak melakukan pencalegan adalah tanda tangannya OSO dan Syarifuddin Sudding, akhirnya akan seperti itu," tutur Adi Warman.

"Karena di Kemenkumham sangat jelas bahwa SK dari OSO dan Heri Luntung itu ditunda berlakunya. Artinya bisa mengajukan kembali kepada SK yang lama, yaitu SK 22 (OSO dan Syarifuddin Sudding).  Mungkinkah ini terjadi?  Hanya Allah dan beliau berdua yang bisa menjawab, saya sebagai kuasa hukum tidak dalam kapasitas menjawab itu," selorohnya.  

Terkait berita yang digoreng terhadap permohonan fiktif positif, dikaburkan dan dijadikan satu seakan akan dengan gugatan, Adi Warman menjelaskan fiktif positif merupakan objek sengketa yang berbeda. 

"Fiktif positif adalah permohonan DPP partai Hanura hasil Munaslub tanggal 9 Januari 2018, kita kirim surat kepada pak Menteri namun tidak mendapat jawaban," terangnya. 

"Menurut hukum,  berdasarkan UU Administrasi Negara, boleh mengajukan permohonan Fiktif Positif kepada PTUN. Yang mana dikatakan disitu,  harus dengan limit waktu 90 hari diajukan, " tambahnya.

Dalam kasus ini hanya Menteri Hukum dan HAM sebagai termohon,  tidak ada pihak lain termasuk OSO dan Herry Luntung. 

"Jadi kalau ini digoreng oleh pihak ketiga,  sangat luar biasa.  Kemarin dalam hasil putusan, perkara tersebut tidak disebut sebagai gugatan,  tetapi 'permohonan' karena tidak ada sengketa.  Sekali lagi tidak ada sengketa,  sehingga harus sudah diputus dalam waktu 21 hari," papar Adi Warman. 

Putusan Perkara Permohonan Fiktif Positif 

"Ahamdulillah tepat 21 hari dari tanggal pendaftaran permohonan kepada Majeis Hakim, telah dikeluarkan beberapa keputusan," ungkap Adi Warman. 

Proses perkara Permohonan Fiktif Positif dengan Register perkara Nomor 12/P/FP/2018/PTUN-Jkt, Tanggal 17 April 201B, mengeluarkan amar / keputusan sebagai berikut:

1. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, karena obyek perkara Pemohon tidak memenuhi syarat formal, sesuai dengan Pasal 3 ayat (3) huruf b Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2017, Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan, Guna Mendapat Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintah.

2. Membebankan biaya perkara sebesar Rp 362.000 kepada pemohon.

Menurutnya, terhadap bunyi pasal 3 ayat (3) huruf b tidaklah termasuk Obyek Perkara yang dapat diajukan ke Pengadilan, sebab ayat 3 huruf b,  Permohonan terhadap permasalahan hukum yang sudah pernah mengajukan gugatan.

Untuk itu menurut Adi Warman, penjelasan terhadap Putusan PTUN Jakarta terkait dengan perkara Fiktif Positif ini, Majelis Hakim sama sekali tidak memeriksa Pokok Perkara, Subtansi dan Materi Pemohonan Pemohon, sehingga menimbulkan pemberitaan yang beredar sengaja digoreng oleh pihak ketiga terkait dengan putusan perkara a quo, yang merupakan berita sesat dan kebohongan public.

Isu ini sengaja dihembuskan dengan maksud untuk meresahkan para kader dan simpatisan Partai Hanura dan masyarakat,  agar terkecoh dengan fakta hukum yang sebenarnya.

Adi Warman berharap agar masyarakat umum tidak terkecoh terhadap informasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab. 



Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال