Oleh : Stevanus Eka Kristiawan (Evan)
(Sekjend PPWI DPC Magetan)
Era Reformasi Membawa Angin Segar
Sejak didengungkannya era Reformasi Tahun 1998, maka konsep demokrasi politik yang ada di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Di era sebelum Rerformasi, atau yang lazim disebut era pemerintahan Orde Baru, konsep demokrasi politik di Indonesia diatur sedemikian rupa (sesuai keinginan penguasa) sehingga mengalami sebuah keadaan yang cukup terbelenggu dalam pusaran absolutisme pemimpin negara. Kemerdekaan bersuara dan mengeluarkan pendapat merupakan hal yang tabu bagi rezim di era itu. Kritikan / oposisi dan penyuaraan ketidakadilan untuk pemimpin negara, cenderung dihadapkan dengan intervensi yang membawa dampak ketakutan untuk rakyat. Pun pola Pemilihan Umum (Pemilu) pada era itu dirancang secara sistemik oleh rezim dengan hanya berorientasi kelanggengan sebuah kekuasaan saja. Kelanggengan rezim pemimpin pada waktu itu ditandai dengan dilantiknya Presiden Soeharto di mulai tahun 1968, kemudian 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998 melalui produk pemilu 5 tahunan yang dikonsep dengan keikutsertaan rakyat yang hanya sekali, yaitu memilih partai saja. Kemudian tampuk kepemimpinan presiden ditentukan dengan sidang umum MPR, yang anggota legislatifnya bisa dipastikan oposisi Presiden Soeharto, sebab anggota legislatif pada masa itu ditetapkan panitia yang dibentuk oleh pemerintah yang mewakili semua unsur golongan, bukan dipilih langsung oleh rakyat. Nampaknya suksesi penerusan kepemimpinan tidak terlintas di saat itu. Sehingga Demokrasi di Era Orde Baru bisa diasumsikan semu.
Paska Era Reformasi membawa angin segar dalam demokrasi politik di Indonesia. Sejak titik kulminasi pergerakan mahasiswa menghasilkan tergulingnya rezim orde baru yang bertahan selama 32 tahun, spontan kebebasan dalam keikutsertaan berdemokrasi ibarat kran yang terbuka. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kuantitas partai peserta pemilu serta pembatasan jabatan Presiden sebanyak 2 periode (10 tahun). Rakyat pun saat ini terlibat yang tidak hanya sekali dalam memilih. Rakyat memiliki hak yang sama untuk dipilh dan memilih. Mulai anggota legislatif DPR, DPD, DPRD dan Presiden dipilih rakyat secara langsung. Bahkan adanyaera Reformasi, dunia mengakui bahwa Indonesia mulai bertransisi menerapkan sistem Demokrasi yang mulai maju.
Demokrasi “Ono Rego Ono Rupo”
Perkembangan saat ini (paska Reformasi), rakyat relatif memiliki peranan yang sangat penting dan fundamental dalam membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagaimana tidak, produk kepemimpinan politik sebenarnya berada di tangan rakyat. Rakyat memiliki keleluasaan dalam memilih anggota legislatif (sebagai wakil rakyat) dan memilih Presiden (sebagai pelaksana kontrak sosial dari rakyat). Sehingga kondisi bangsa Indonesia yang dirasakan oleh rakyat, secara tidak langsung merupakan potret dari kecermatan dan keputusan rakyat sendiri dalam memilih wakil rakyat maupun pemimpinnya.
Memang benar adanya , dengan sistem demokrasi yang terbuka dan memiliki azas parsipatif aktif dari rakyat, merupakan kemajuan tersendiri dalam demokrasi di Indonesia. Namun apabila dalam penerapan proses demokrasi (pemilihan umum) tidak dilakukan secara ideal, maka tak ayal sebuah paradigma “angin segar” reformasi justru menjadi “badai” paska reformasi.
Tidak jarang pula , kita sebagai rakyat Indonesia yang berpartisipasi dalam menyalurkan hak politik (khususunya memilih, red) sering mendengar tentang maraknya pemberitaan konflik akibat “politik uang’ / “money politik” dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Banyak diantara peserta pemilu yang melakukan tindakan pragmatis agar hajatnya terpilih menjadi wakil rakyat/pemimpin rakyat dengan menggunakan kapital mereka (uang/benda) untuk mempengaruhi pilihan politik para konstituen.
Mirisnya, tidak sedikit rakyat justru terlena, terbuai, menikmati proses demokrasi yang tidak sehat ini. Bahkan, tak jarang dari rakyat sendiri “blak-blakan”, bahwa “gak onok duit, gak nyoblos”(tak ada uang / imbalan, maka saya tidak memilih). Tanpa mereka sadari bahwa dampak dari proses demokrasi yang tidak sehat ini, suatu kelak dalam titik puncaknya justru menjadi “badai” yang bisa memporak-porandakan stabilitas nasional, baik dari segi politik, ekonomi dan budaya (jatidiri bangsa). Logikanya, para calon wakil rakyat/pemimpin, dalam usaha menyukseskan hajatnya untuk terpilih, menggunakan ongkos politik yang tidak sedikit. Sehingga setelah menduduki kursi empuk kepemimpinan, tak menutup kemungkinan untuk berusaha minimal mengembalikan modal (kapital) nya, dan yang terburuk adalah mengeksploitasi uang negara untuk memperkaya dirinya, Ya.....ini adalah salah satu sebab yang menjadi niatan dalam tindak pidana korupsi, yang kian hari kian merajalela (extraordinary).
Melihat perkembangan pola demokrasi kurang sehat tersebut, saya tertarik menyebutnya “Demokrasi Ono Rego Ono Rupo” . Dalam konteks barang/jasa sebagai obyek di sebuah perdagangan/penjualan/pelayanan, biasanya apabila harga sebuah barang/jasa itu tinggi maka idealnya kualitasnya pun relatif lebih baik daripada yang harganya di bawahnya. Inilah makna leksikal “Ono Rego Ono Rupo” ditinjau dari barang/jasa yang diperdagangkan. Namun hal tersebut agak berbeda (kontra) dan terbalik dengan konteks dalam hal biaya politik yang implementasinya tidak ideal/ tidak sehat, misalnya “Money Politic”. Fenomena “Money Politic/Politik Uang” yang mulai mewarnai pola Demokrasi di Negara kita, membawa konsekwensi negatif yang sangat berdampak luas.
Dengan “Demokrasi Ono Rego Ono Rupo” berupa “Money Politic/Politik Uang” bisa dipastikan output/keluarannya justru tidak berkualitas baik. Pola Demokrasi yang mengandalkan “Money Politic/Politik Uang” menyebabkan rakyat berlarut-larut dicekoki sistem yang tidak sehat dan sebuah ideologi pembodohan. Rakyat ibarat sebuah pasar yang diperebutkan untuk kepentingan pragmatis saja. Mereka yang melakukan “Money Politic/Politik Uang” hanya mendasarkan kekuasaan adalah simbol kemenangan yang diperoleh dari sistem jual dan beli suara melalui kapitalnya (memakai uang/ imbalan lainnya). Sehingga di benak mereka , setelah menduduki kekuasaan akan menggunakan keweangannya untuk bisa mengembalikan biaya politik (tidak sehat) yang telah mereka keluarkan. Sehingga nilai dari pengabdian rakyat dan tanggung jawab mereka saat menjadi wakil rakyat/pemimpin justru jauh panggang dari api. Maka, muncullah niatan korupsi dari mereka. Inilah salah satu penyebab yang menjadikan bangsa kita dapat menjadi terpuruk dalam hal pembangunan dalam segala bidang. Dan rakyat/pemilih lah yang menjadi korbannya.
Tahun 2018 mendatang tepatnya 27 Juni, kita akan menghadapi tahun demokrasi lagi. Sebanyak 171 daerah di Indonesia diantaranya 17 provinsi, 39 kota, 115 Kabupaten akan menyelenggarakan pesta demokrasi ini. Berkaca dari hal itu, seharusnya kita sudah memulai dari pribadi kita, kemudian memberikan pemahaman terhadap keluarga / orang di sekitar kita tentang bahaya “Money Politic/Politik Uang” dapat menimbulkan keluaran “Demokrasi Ono Rego Ono Rupo”. Semoga kita semakin dewasa dan kritis dalam menentukan pilihan kita secara rasional dan tidak secara pragmatis. Sebab pemimpin lahir adalah buah dari sikap kita. Dan memilih pemimpin yang baik dan benar, sama pentingnya menjadi pemimpin baik dan benar.