Goris Batafor; Bapak Literasi Lembata


Lembata, IMC- Taman Daun saat ini menjadi perbincangkan, terutama oleh orang tua anak usia TKK/PAUD dan Sekolah Dasar. Bahkan, orang sama sekali tak menyangka, kalau taman bacaan yang terletak di kawasan Bluwa, kediaman Kolonel Purnawirawan TNI JM Sidhu Batafor, itu sudah berusia 30 tahun. Usia yang tentu saja tidak singkat, bagi sebuah aktivitas sosial. Apalagi, seluruh aktivitasnya dibiayai sendiri. Swadaya. Kalaupun ada donatur, itupun sifatnya tentatif dan tidak rutin. Pun, seadanya.


Menurut penggagas dan pendiri Taman Daun, Gregorius Batafor menjelaskan bahwa Taman Daun merupakan metamorfora dari komunitas Tenun Ikat Bintang Kejora.

“Tahun 1987, kami membangun komunitas tenun ikat Bintang Kejora, yang terdiri dari 12 kepala keluarga. Ibu-ibu menenun dan anak-anaknya bermain sambil belajar. Sehingga ada dua komunitas yang terbentuk, yaitu kelompok ibu-ibu dan kelompok anak-anak,” jelasnya.

Aktivitas tenun ikat dimotori Gita Bataona dan Lisa Sanga Ina masih terus berlangsung sampai sekarang. Keduanya memproduksi dan membelajarkan tata cara menenun sejak memintal benang, mewarnai hingga membuat motif tertentu. Sedangkan kelompok anak, kini dikembangkan menjadi taman bacaan.

Nama Taman Daun sendiri terinspirasi dari kerindangan berbagai pepohonan di taman tersebut. Ada pohon mangga, angsono, pinang dan aneka jenis pohon buah-buahan lain. Goris berceritera, awalnya, lingkungan itu hanya dipenuhi rumput alang-alang. Ketika pepohonan yang ditanamnya mulai rindang, lingkungan itu mulai dipenuhi oleh dedaunan hijau.

“Ada beberapa anak yang mengusulkan agar daun-daun yang jatuh tidak dibersihkan semuanya. Yang dibersihkan hanya sampah-sampah plastik. Daun-daun yang melindungi anak-anak dari teriknya mentari lalu menjadi sumber inspirasi nama komunitas yang sudah berusia 30 tahun ini,” kisah ayah tiga orang anak ini.

Sejak dua tahun lalu, komunitas ini mulai diangkat ke media sosial melalui beberapa anak-anak yang menjadi generasi awal komunitas tersebut. Ternyata, ekspos itu mendapat respons positif dari beberapa pemerhati pendidikan literasi bagi anak-anak. Beberapa diantaranya bahkan berasal dari luar negeri, seperti Ibu Hana dan Ibu Christine Dewbury dari Inggris. Sumbangan mereka pun beragam. Ada yang mengirimkan buku bacaan, buku tulis, alat menggambar, tas, dsb.

Saat ini, Taman Daun sedang menggerakan sebuah program yang diberi nama Sejuta Buku untuk Lembata. Program ini berupaya menggugah hati siapa saja yang mau menyumbangkan buku untuk anak-anak di Lembata. Nantinya, buku itu akan didistribusikan ke berbagai kelompok-kelompok kecil yang ada di Lembata.

Untuk sementara, kata Goris, sudah ada dua orang relawan yang mau menjadi pengelolah kelompok taman baca. Yang satu dari Riangdua, dan satunya lagi dari Tanatreket. Melalui cara semacam itu, Goris berharap semakin banyak kelompok di pelosok-pelosok Lembata yang bisa menjadi tempat anak-anak menghabiskan waktu senggang mereka untuk membaca atau berkreasi.

Dengan membaca Goris berharap anak-anak selalu merasa kurang dan selalu mau mencari tahu lebih banyak lagi. Karena membaca, terutama dari buku-buku bacaan membuat mereka bisa lebih fokus.

“Kalau membaca melalui smartphone kan biasanya banyak iklan dan mereka tergoda untuk melakukan hal-hal lain misalnya bermain game sehingga tidak berkonsentrasi,” ujarnya.

Karena itu, melalui komunitas ini, Goris ingin membawa anak-anak Lembata menyelami indahnya membaca melalui buku, mendengarkan kisah dongeng, dan berkarya melalui karya-karya kreatif.

Salah satu generasi awal Taman Daun, John S Batafor, kini menjadi penggiat gerakan perpustaakaan alam. Bukan hanya di Lembata, John bahkan sudah melebarkan sayap ke beberapa daerah di NTT, seperti Malaka, Fatuleu, Amarasi, Bolok, dan kawan-kawan.

Tentang kerja sosialnya itu, John pernah menulis dalam salah satu postingan di dinding Facebooknya, “Bukan Persoalan Laut masih bisa menghidupi kalian. Namun, pendidikan merupakan pondasi dalam membangun wawasan masyarakat sehingga terciptalah Sumber Daya Manusia yang akan memajukan dan membangun daerahnya berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi serta iman dan ketakwaan.”

Goris, John, dkk, sudah memulai sebuah usaha yang sedikit banyak telah membantu generasi muda NTT merawat imajinasi dan keingintahuan mereka. Mereka ingin lebih banyak orang terlibat dalam gerakan semacam ini sehingga anak-anak NTT bisa mempunyai bekal yang cukup dalam menggapai cita-cita dan mimpi mereka.

Semoga bukan menjadi eforia sehari namun pemda terus berjuang total membudayakan Literasi bagi masyatakat Lembata.
(Emanuel Bataona

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال