Media sosial, pada awalnya, dihadirkan sebagai ruang demokratis yang memungkinkan setiap individu menyampaikan gagasan, berbagi informasi, bahkan membangun jaringan sosial tanpa sekat. Namun, seiring berjalannya waktu, ruang yang seharusnya produktif itu justru dipenuhi dengan "sampah serapah" yang menyesakkan. Bukan hanya dalam bentuk hoaks dan ujaran kebencian, tetapi juga komentar dangkal, fitnah, serta konten tak bermutu yang menggerus kualitas literasi publik.
Fenomena ini lahir karena rendahnya kesadaran digital masyarakat. Media sosial digunakan bukan sebagai alat pemberdayaan, melainkan tempat pelampiasan emosi sesaat. Ruang maya berubah menjadi “tong sampah digital” di mana apapun bisa dilemparkan tanpa saringan akal sehat dan etika. Sayangnya, yang paling berbahaya bukan hanya isi serapah itu sendiri, tetapi dampaknya: memecah belah persaudaraan, memicu konflik, dan membentuk opini publik yang salah kaprah.
Di sisi lain, algoritma media sosial kerap memperkuat sampah tersebut. Konten penuh sensasi, provokasi, dan kebisingan emosional justru mendapat panggung lebih besar dibandingkan gagasan murni dan narasi positif. Akibatnya, masyarakat lebih sering dijejali isu-isu remeh, gosip murahan, hingga pertengkaran maya yang tidak mendidik. Padahal, potensi media sosial begitu besar bila dikelola untuk mencerdaskan, memperkuat solidaritas, serta membangun budaya dialog yang sehat.
Sudah saatnya kita menata ulang sikap terhadap media sosial. Literasi digital tidak boleh berhenti hanya sebatas “cek fakta” terhadap hoaks, melainkan juga mengasah etika komunikasi, kemampuan menyaring informasi, dan tanggung jawab moral dalam berkomentar. Publik harus sadar bahwa apa yang mereka tulis, sebarkan, atau komentari, akan membentuk ekosistem informasi yang berdampak luas. Jika terus dibiarkan, sampah serapah ini bukan hanya merusak ruang digital, tetapi juga merusak wajah peradaban bangsa.
Media sosial seharusnya menjadi wadah gagasan dan solusi, bukan lahan caci maki dan fitnah. Oleh karena itu, mari berhenti menambah sampah, dan mulai menyumbang karya, gagasan, serta diskusi sehat. Sebab, kualitas media sosial hari ini mencerminkan kualitas masyarakat penggunanya. Oleh : Rachman Salihul Hadi