Jakarta, IMC- Sistem pemilihan umum khususnya pemilihan anggota legislatif (Pileg) yang sesuai dengan dinamika dan sistem demokrasi di Indonesia saat ini adalah sistem pemilihan umum proporsional terbuka. Sistem ini melibatkan partisipasi aktif rakyat di berbagai daerah khususnya daerah pemilihan (Dapil). Menuntut setiap Caleg lebih dekat dengan konstituen dan Dapilnya. Selain itu rakyat dapat berperan aktif dalam menentukan siapa wakil wakilnya yang pantas mewakili dan menyuarakan aspirasi mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik daerah maupun pusat.
Karena itu para tokoh masyarakat dan cendekiawan bidang hukum yang saat ini duduk dan
mengemban amanah sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan lebih banyak
menggunakan hati nuraninya sekaligus memperhatikan betul aspirasi yang
berkembang di masyarakat. Sebagian besar masyarakat menginginkan agar Pemilu
tahun 2024 tetap menggunakan sistem
proporsional terbuka.
Hal tersebut disampaikan pengamat kebijakan
Publik dari Universitas Indonesia (UI) yang juga alumni Program Pendidikan
Kepemimpinan Strategis Tingkat Nasional/ Program Pendidikan Reguler Angkatan
(PPRA) 64 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Eman
Sulaeman Nasim, kepada pers di Jakarta. Pernyataan tersebut disampaikan
menanggapi sidang lanjutan pengujian
Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum di ruang Sidang MK, apakah tetap menggunakan sistem proporsional
terbuka atau tidak.
“Sistem Pemilihan Proporsional Terbuka, adalah sisten pemilhan
yang benar benar menghargai aspirasi rakyat. Rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan siapa
wakil yang pantas mewakili mereka di Parlemen. Sistem ini sudah terbukti
melibatkan peran aktif warga atau rakyat. Lewat sistem ini pula, setiap calon
anggota DPRD maupun DPR RI dituntut untuk lebih dekat dan mendengarkan aspirasi
dan keluh kesah warga atau rakyat yang akan memilih para calon anggota DPR RI
ataupun DPRD. Jadi sudah sepantasnya wakil rakyat itu harus popular, dikenal
oleh masyarakat yang memilihnya dan
mengenal Dapilnya,” jelas Eman Sulaeman Nasim.
Lebih lanjut mantan Ketua umum Senat Mahasiswa
UI (Sekarang BEM UI) ini menyampaikan, sistem proporsional terbuka tidak
melanggar dan tidak bertentangan dengan undang-undang manapun. Karena dalam
pemilu yang menggunakan sistem ini tetap mengedepankan peran penting Parpol.
Parpol yang menyeleksi siapa saja kader yang pantas menjadi bakal calon anggota
legislatif (Bacaleg). Nomor urut pun ditentukan oleh Parpol khususnya elit
Parpol. .
“Jika sistem proporsional tertutup yang
diputuskan, otomatis hanya elite elit Partai yang sedang berkuasa yang
memutuskan. Rakyat hanya dijadikan obyek penderita, Karena rakyat tidak
diberikan kesempatan untuk memilih siapa Caleg yang pantas mewakili mereka.
Semua ditentukan oleh elite elit Parpol. Dalam hal ini para pimpinan Parpol
baik di pusat maupun daerah. Jika sistem
proporsional tertutup yang dipakai, dapat dipastikan partisipasi politik rakyat
akan kembali rendah. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde
Baru. Kita akan kembali mengalami kemunduran. Kembali ke zaman kegelapan demokrasi,
“ tegas Eman Sulaeman Nasim
Lebih lanjut, anggota penasehat presidium Bogor
Timur (Botim) yang juga putra asli Kabupaten Bogor ini menegaskan, hanya orang
orang malas baik yang duduk di Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun pengurus
Partai yang ingin sistem pemilihan anggota legislatif dikembalikan ke zaman orde
baru. Yakni sistem Pemilihan Proporsional tertutup. Dimana, yang paling
berwenang dan sangat menentukan hanyalah para elit Parpol. Partisipasi aktif
rakyat yang akan memilihnya benar benar tidak dihargai. Selain itu, KPU nya
juga tidak terlalu repot melakukan penghitungan suara. Padahal anggota KPU baik
pusat maupun daerah sudah dibayar mahal oleh rakyat lewat pajak untuk repot
repot mengurusi Pemilu yang jujur, aman, tertib dan adil.
“Politisi dan aktifis sejati tidak akan pernah
takut untuk memperoleh kursi DPRD maupun DPR RI dengan cara berjuang sekuat
tenaga dan turun langsung menemui anggota masyarakat, mendengarkan aspirasi dan
keluh kesahnya yang kelak dijadikan prioritas program bila terpilih menjadi
anggota DPR RI apabila menggunakan sistem proporsional terbuka. Politisi malas
hanya akan memanfaatkan jabatan yang mereka miliki di struktur Parpolnya
sehingga mereka bisa ditempatkan di nomor urut 1-3. Otomatis kalau sistem
Pemilu yang dipakai proporsional tertutup, meski tidak berjuang dan tidak
terjun ke masyarakat atau Dapilnya, mereka akan tetap mulus memperoeh kursi DPRD ataupun
DPR RI. Hal ini akan semakin mengecewakan rakyat. Rakyat semakin tidak kenal
dengan wakilnya Sehingga kelak rakyatpun akan malas ikut berpratisipasi dalam
Pemilihan Umum atau pesta demokrasi,” tegas pendiri lembaga konsultan strategic
komunikasi, Indonesiachannel ini.
Money Politik & Pelanggaran
Lebih lanjut Eman Sulaeman Nasim menegaskan,
money politik akan semakin nyata terjadi jika sistem pemilu menggunakan
proporsional tertutup. Elit politik di berbagai Parpol baik di pusat maupun daerah akan
melakukan tawar menawar uang dengan
Caleg-caleg yang ingin berpartisipasi dalam Pemilu. Mereka yang memiliki uang
besar akan sanggup membayar nomor urut jadi dalam hal ini nomor urut 1-3.
Otomatis, nomor urut 1-3 ini akan diisi oleh mereka yang memiliki modal uang
dan kekuasaan di Parpol besar.
“Pelanggaran Pemilu juga jangan dianggap tidak
ada bila kita menggunakan sistem proporsional tertutup. Lihat saja Pemilu yang
dilakukan di masa Orde Baru atau sesudahnya yang menggunakan sistem
proporsional tertutup. Hanya tidak diekspose.” Papar Eman Sulaeman Nasim.
Sementara jika proporsional terbuka, para elit
Parpol dengan Bacaleg nya tidak akan
berani main money politic, karena berhasil tidaknya mereka merebut kursi DPRD atau DPR RI ditentukan langsung oleh
para pemilih di Dapilnya masing-masing. Warga atau rakyat benar benar pegang
kendali.
“Jika sistem proporsional tertutup yang
diterapkan, otomatis yang akan menjadi
anggota DPRD atau DPR RI adalah mereka yang punya kekuasaan besar di Parpol kalau tidak incumbent para pengurus inti
Parpol dan mereka yang punya uang banyak meski minim gagasan dan integritas.
Sementara orang baru atau caleg yang memiliki program yang bagus, integritas
dan kualitas serta dikenal masyarakat,
tidak akan ditempatkan di nomor urut jadi. Biasanya hanya ditempatkan sebagai vote
geter, sebagai penggembira saja untuk mendulang suara, namun gagal mendapatkan
kursi ke DPRD atau DPR RI, karena ditempatkan di nomor akhir” tegas Sekretaris
Jenderal SOLUSI UI , Eman Sulaeman Nasim.
Karena itu, Eman Sulaeman Nasim berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) ini lebih
memperhatikan kepentingan rakyat banyak dan jangka Panjang dibandingkan segelintir orang malas yang ngotot minta
Pemilu dikembalikan ke sistem Proporsional tertutup. Karena itu, permintaan
agar sistem pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup sebaiknya
ditolak. MK harus berani dan konsisten mempertahankan keputusan yang telah
diambilnya, yakni menggunakan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu tahun
2024 yang tinggal menghitung hari ini ( RSH/Rls)