Jakarta, IMC - Terletak di kawasan segitiga terumbu karang atau Coral Triangle Area menjadikan Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas laut yang kaya di dunia, khususnya terumbu karang. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Dr Lisa Becking, seorang pakar biologi laut dari Wageningen University and Research (WUR) saat kunjungannya ke Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, (8/11/2022).
“Wilayah Kepala Burung (Bird’s Head Seascape) Papua Barat, Indonesia merupakan salah satu ekosistem dengan terumbu karang terkaya di dunia,” ujarnya.
Kedatangan Dr Lisa ke FPIK IPB University ini bukan yang pertama kali. Namun spesialnya, selain melakukan kunjungan, kali ini ia turut memberikan kuliah umum terkait resiliensi ekosistem laut di Indonesia.
Dr Lisa dan tim yang tergabung dalam program INREEF, sebuah program interdisipliner untuk membangun resiliensi kawasan lindung laut (MPA) di kawasan pariwisata, telah melakukan serangkaian penelitian telah di kawasan Raja Ampat terkait terumbu karang.
“Ekosistem laut khususnya terumbu karang sudah terdegradasi akibat adanya berbagai stressor yang datang dari alam maupun lingkungannya, salah satunya aktivitas manusia dan kegiatan pariwisata,” ungkap Lisa.
Menurutnya, sebanyak 50 persen terumbu karang dunia telah hilang karena perubahan iklim global dan tekanan lokal akibat penangkapan ikan dan polusi. Aktivitas manusia dan pariwisata pun turut berkontribusi dalam degradasi terumbu karang. Ia menyebutkan bahwa dengan mengurangi stressor lokal yang berasal dari komunitas lokal, resiliensi terumbu karang yang tersisa masih dapat diperkuat.
“Kita bisa me-manage stressor yang datangnya dari komunitas lokal. Hal ini sangat mungkin dilakukan dan ini merupakan sebuah harapan. Tidak mungkin kita me-manage perubahan alam seperti perubahan iklim,” jelasnya.
Berawal dari ketertarikannya dalam mengamati bagaimana spesies komunitas karang mampu beradaptasi dalam menanggapi perubahan lingkungan, membawa Dr Lisa untuk melakukan riset di kawasan Kepala Burung Papua, khususnya di ‘danau laut (marine lakes)’.
Ia pun mencoba memadukan berbagai disiplin ilmu yang berbeda tentang interaksi dan dinamika sistem sosial-ekologi lokal untuk mengidentifikasi cara membangun resiliensi terhadap ancaman saat ini, seperti perubahan iklim dan peningkatan pariwisata.
Bersama dengan tim ilmuwan, konservasionis dan pembuat kebijakan yang beragam, Dr Lisa mengumpulkan pengetahuan lokal dan pengukuran ekologis untuk mewujudkan pengelolaan konservasi yang sehat dan berbasis ilmu pengetahuan.
Sebagai informasi, Wageningen University and Research membuka kesempatan seluas-luasnya bagi mahasiswa dari Indonesia untuk bergabung menjadi bagian dalam program INREEF untuk mengkaji lebih lanjut resiliensi terumbu karang di kawasan Kepala Burung Papua Barat.
“Kami menerima dengan senang hati mahasiswa dari Indonesia, khususnya FPIK IPB University menjadi tim INREEF. Kami siap men-support segala proses hingga diterima,” ucap Lisa dengan semangat saat diskusi.
Hal ini disambut dengan baik oleh Dekan FPIK IPB University, Prof Fredinan Yulianda. Baginya, ini merupakan suatu kesempatan baik bagi staf dan mahasiswa FPIK IPB University mendapat tawaran untuk tergabung dalam program INREEF dari Wageningen University and Research.
“Tentu ini merupakan inisiasi yang baik untuk mempererat kolaborasi antara IPB University, khususnya FPIK dan Wageningen dalam upaya konservasi yang berkelanjutan,” tutur Prof Fredinan yang turut disetujui oleh Prof Mala Nurilmala (Wakil Dekan bidang Sumberdaya, Kerjasama dan Pengembangan), Dr I Wayan Nurjaya (Wakil Dekan bidang Akademik dan Kemahasiswaan) serta representatif dari setiap departemen di FPIK IPB University.
Dr Syamsul Bahri Agus sebagai perwakilan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) yang turut menghadiri pertemuan tersebut bersemangat untuk melakukan diskusi lebih lanjut tentang kerja sama pendidikan dan penelitian yang diadakan oleh Wageningen University and Research.
“Kami di ITK sangat welcome dengan adanya informasi ini. Ini sudah tentu kesempatan yang baik untuk melahirkan pakar-pakar kelautan, salah satunya resiliensi laut di Indonesia,” ucap Dr Syamsul pada diskusi tersebut. (*/Rz/ Rsh)