Dosen IPB University Soroti Integrasi Pengelolaan Perikanan dan Kawasan Konservasi Laut



Dr Budy Wiryawan, dosen IPB University dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK

Bogor, IMC
- Dr Budy Wiryawan, dosen IPB University dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) menyoroti integrasi pengelolaan perikanan dan kawasan konservasi laut. Ia mengatakan, pemerintah dan agenda internasional telah mengaitkan sejak lama antara pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP).


Bahkan, ia menyebut, arah pembangunan kelautan perikanan 2020-2024 di Indonesia telah selaras dengan target Aichi dan Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-14, yakni target luas kawasan konservasi sebesar 10 persen dari luas perairan Indonesia. Luas kawasan konservasi hingga tahun 2020 berjumlah 196 kawasan atau 23,14 juta hektar dan terus mengalami pertumbuhan.

“Hal ini berkaitan dengan pemetaan KKP dan fungsional seascape segitiga terumbu karang. Kawasan perairan dengan prioritas tinggi tentu memiliki jumlah kawasan konservasi lebih banyak,” jelasnya dalam webinar Program Magister Perikanan Universitas Terbuka dengan tema ‘Integrasi Pengelolaan Perikanan dan Kawasan Konservasi Laut’, Senin (31/10/2022).

Menurutnya, urgensi kawasan konservasi sudah diakui menjadi salah satu alat perbaikan pengelolaan perikanan. Tujuan pengelolaan KKP ini demi mengarahkan kegiatan pengelolaan berdasarkan proses dan keluarannya.

Adapun capaian tujuan biofisik KKP untuk menunjukkan efektivitas pengelolaan, misalnya kondisi ekologi. Capaian ini juga sudah sejalan dengan tujuan pengelolaan perikanan untuk menunjukkan efektivitas pengelolaan sesuai dengan implementasi strategi harvesting.

“Kedua capaian ini berhubungan dengan pencapaian tujuan sosio-ekonomi KKP atau perikanan untuk mendemonstrasikan dampak sosio ekonomi positif dari pengelolaan efektif KKP dan perikanan menjadi tantangan bagi ilmuwan untuk mengukur kesuksesan kawasan konservasi dan memberikan dampak sosial ekonomi,” katanya.

Namun demikian, lanjutnya, pengelolaan KKP masih memiliki beberapa akar masalah dan tantangan. Misalnya kemiskinan dan pendidikan sumber daya manusia (SDM) yang berujung pada pewajaran praktik overfishing. Sejumlah komoditas bernilai ekonomis penting telah dieksploitasi berlebihan di beberapa tempat. Kualitas hasil tangkapan yang rendah juga menjadi penghambat terhadap harga jual yang tinggi.

Ia turut menyoroti Marine Protected Area (MPA) Vision 2030, yakni dokumen panduan pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia selama 10 tahun. Disusunnya buku ini salah satunya dikarenakan kurangnya koordinasi dan rekognisi antara lembaga pemerintahan di KKP.

“KKP seharusnya dibarengi dengan infrastruktur dan fasilitas yang mampu mendukung kegiatan pemanfaatan berkelanjutan. Semua kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di KKP harus memenuhi kriteria berkelanjutan dan SDM yang mumpuni harus ditingkatkan demi mendukung transisi pemanfaatan KKP yang lebih berkelanjutan,” lanjutnya.

Ia memberi contoh kesuksesan pengelolaan perikanan di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Pengelolaan perikanan kakap dan kerapu didasarkan pada aturan main yang dibangun bersama. Dengan target yang disepakati yakni Spawning Potential Ratio (SPR) sebesar 30 persen. Hal ini dicapai melalui mekanisme pengendalian pemanfaatan dan penangkapan.

“Contohnya aturan pembatasan ukuran tangkapan ikan, membangun kesepakatan bersama dengan pengepul, penggunaan ukuran mata pancing, pengawasan dan penegakan aturan dalam KKP, pelarangan penggunaan karang untuk pemberat,” sebut Dr Budy.

Ia menekankan, indikator kesuksesan pengelolaan KKP harus jelas dan terukur. Integrasi indikator kinerja pengelolaan perikanan ke dalam indikator capaian pengelolaan kawasan konservasi perlu menjadi sebuah kesatuan. Selain itu, perlu pengembangan kawasan konservasi di perairan provinsi yang terintegrasi dengan pengelolaan perikanan. (MW/Rz/ RSH)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال