Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia


                  Ilustrasi:BAS


Langsa,IMC - Anggota DPR 2019-2024 sudah resmi bertugas sejak mengucapkan sumpah pada 1 Oktober 2019. Salah satu tugas yang mungkin akan mereka emban ke depan adalah memastikan Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan kewenangan sebagaimana regulasi terbaru. DPR dan Pemerintah telah melakukan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika tidak ada Peraturan Pemerintah Pengganti Pengganti Undang-Undang diterbitkan Presiden Joko Widodo untuk menunda pemberlakuan, atau tidak ada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan, maka norma-norma baru dalam revisi akan mengubah wajah KPK di masa mendatang.
Penolakan atas revisi itu sudah dibuktikan lewat demo massif di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia. Aksi demonstrasi bahkan menimbulkan korban jiwa. 

Sebaliknya, partai-partai politik segendang sepenarian dengan pemerintah. Suara yang menganggap hasil revisi justru melemahkan KPK seperti angin lalu. KPK, sebagai lembaga antikorupsi yang akan menjadi aktor utama pelaksanaan UU hasil revisi, tak dilibatkan lagi dalam babak akhir pembahasan di Senayan.
Mereka yang menolak, menganggap revisi itu sebagai langkah segendang sepenarian DPR dan Presiden mereduksi kewenangan KPK. Dengan kata lain, mempreteli satu persatu kewenangan KPK, dan pada akhirnya membuat KPK mati pelan-pelan. Sebaliknya, bagi yang menyetujui revisi, upaya perubahan UU KPK dianggap sebagai langkah penting untuk memastikan KPK akuntabel dan dapat diawasi.

Kerjasama legislatif dan eksekutif untuk melemahkan atau membubarkan suatu lembaga yang ‘mengusik ketenangan’ bukan kali ini saja terjadi. Ketika KPKPN dipercaya publik dan aktif mendorong para penyelenggara negara mengisi formulir laporan harta kekayaan, pelan tapi pasti nyawa Komisi ini dicabut secara legal. 
Caranya, membuat klausula dalam RUU KPK yang mengharuskan KPKPN melebur ke Komisi baru yang akan dibentuk kala itu. KPK resmi berdiri dan KPKPN bubar.
Pengalaman di era KPKPN itu adalah salah satu penggalan sejarah lembaga antikorupsi di Indonesia. Seperti kata-kata Bung Karno yang terkenal: Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Banyak cara yang dilakukan untuk membuat lembaga antikorupsi tak berdaya di hadapan kekuasaan. Mulai dari tak memberikan dukungan politik, staf dan finansial, hingga mempreteli kewenangan yang dimiliki lembaga.

Kini, KPK menghadapi ujian yang nyaris sama. Kewenangan lembaga ini dipreteli, meskipun dalam bahasa anggota DPR dan Pemerintah, KPK ‘dikuatkan’, bukan dilemahkan. Sejumlah elemen masyarakat sudah mengajukan pengujian terhadap UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review merupakan opsi lain di luar penerbitan Perppu atau melakukan legislative review.

Komisi Anti Korupsi
KPK dibentuk pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi ini paling lambat dua tahun setelah UU tersebut diundangkan. Namun baru benar-benar bekerja setelah UU No. 30 tahun 2002 lahir. KPK diberi amanat menjalankan tugas pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Berbeda dari beberapa lembaga antikorupsi sebelumnya, KPK tegas disebut sebagai lembaga negara yang bersifat independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Masalah kedudukan KPK itu juga menjadi salah satu yang dipersoalkan anggota DPR. Bagi parlemen, KPK adalah organ di bawah pemerintah, yang harus tunduk terhadap Presiden. Jika dilihat dari penjelasan Undang-Undang, KPK berperan sebagai trigger mechanism; mendorong lembaga-lembaga lain untuk lebih efisien dan efektif memberantas korupsi. Dua lembaga lain yang punya kewenangan menyidik perkara korupsi adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan peran itu diharapkan KPK melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Undang-Undang juga memberikan tugas kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan, dan melakukan monitoring penyelenggaraan pemerintahan negara. Tanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas tersebut harus disampaikan KPK kepada publik, dan menyampaikan laporan terbuka secara berkala kepada Presidem, DPR, dan BPK.

Jika dihitung berdasarkan kelahiran UU No. 30 Tahun 2002, KPK telah berusia lebih dari 15 tahun; usia yang terbilang lama dibandingkan lembaga-lembaga antikorupsi yang pernah ada. Selama belasan tahun keberadaannya, KPK telah menunjukkan ‘taring’ pemberantasan korupsi, mulai dari kepala daerah hingga pejabat setingkat menteri. Mulai dari jaksa dan hakim di pengadilan tingkat pertama hingga ke Ketua Mahkamah Konstitusi. Dari ambtenaar sampai aparat penegak hukum masuk radar.

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Teguh Kurniawan, berpendapat keberhasilan KPK mengungkap banyak kasus korupsi pasti membuat sejumlah pihak tidak senang atau terganggu. Apalagi jika selama ini menikmati hasil korupsi. “Itu membuat banyak orang tidak suka,” ujarnya.
Dalam pandangan dosen yang menulis disertasi tentang diskresi dalam pemberantasan korupsi ini, KPK mampu bertahan belasan tahun karena banyak faktor. Selain karena independensi lembaga, soliditas dan semangat pemberantasan korupsi sebagian besar pegawai di Komisi ikut berkontribusi. Terutama mendukung kerja-kerja pencegahan dan penindakan.
Hasil-hasil yang dicapai sejauh ini, kata Teguh, menumbuhkan kepercayaan publik, dan berperan besar dalam menaikkan posisi Indonesia dalam indeks pemberantasan korupsi. “Kerja-kerja pemberantasan korupsi selama ini menumbuhkan kepercayaan masyarakat,” ujarnya.

Orang-orang yang terpilih menjadi komisioner selama ini juga orang-orang yang dipercaya mampu mengemban amanah. Pimpinan generasi pertama (2003-2007) adalah Taufiqurrachman Ruki, Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan Panggabean, Amien Sunaryadi, dan Sjahruddin Rasul. Periode 2007-2011, pimpinan KPK diisi oleh Antasari Azhar, Busyro Muqoddas, Bibit Samad Riyanto, Chandra M Hamzah, M. Jasin, dan Haryono Umar.

Pada periode ini, sempat ada pelaksana tugas yakni Tumpak H Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo. Pelaksana tugas ini terkait dengan masalah yang dihadapi pimpinan KPK. Antasari Azhar menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan; sementara Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dibidik kepolisian. Upaya membidik Chandra dan Bibit adalah bagian dari sejarah KPK yang melahirkan gerakan perlawanan dari masyarakat terhadap upaya kriminalisasi kedua komisioner ini.

Langkah senada terjadi lagi pada periode kepemimpinan berikutnya, 2011-2015. Ketua KPK Abraham Samad, dan wakilnya Bambang Widjojanto ditetapkan polisi sebagai tersangka untuk tindak pidana umum yang berbeda. Pimpinan lain adalah Zulkarnain, Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Pradja. Pemerintah kembali mengangkat pelaksana tugas untuk menggantikan Samad dan Bambang. 
Mereka adalah Taufiqurrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP. Sejumlah pegiat masyarakat sipil percaya, penetapan tersangka Samad dan Bambang adalah bagian dari upaya pelemahan KPK. Drama pengepungan gedung KPK oleh aparat kepolisian untuk menangkap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, menghebohkan publik. Dukungan publik ke KPK ditunjukkan dengan berkumpulnya ratusan warga membentengi gedung KPK.
Periode berikutnya (2015-2019) kepemimpinan KPK diisi oleh Agus Rahardjo, Basaria Pandjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif. Pada era mereka, upaya melemahkan KPK terus terjadi dengan beragam cara. Novel Baswedan diserang orang tak dikenal, dan pelaku penyerangannya tak terungkap hingga kini. Intimidasi terhadap penyidik lain juga dilakukan. Upaya pembusukan dari dalam dilakukan dengan beragam cara. Serangan juga datang dari beberapa anggota DPR di Senayan. Puncaknya, adalah kesepakatan DPR dan Pemerintah untuk merevisi UU KPK dengan cara mempreteli sejumlah kewenangan dan status pimpinan dan penyidik KPK.

Kini, nasib KPK akan banyak bergantung pada aktor-aktor pengambil kebijakan, terutama mereka yang sudah dipilih DPR menjadi komisioner KPK periode (2019-2023), yakni Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pamolango, dan Nurul Ghufron.
Mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto, dalam bukunya ‘Berkelahi Melawan Korupsi Tunaikan Janji, Wakafkan Diri’ (2016) menulis begini: “Di negara hukum yang bernama Republik Indonesia telah terjadi proses ‘pembunuhan’ berulangkali yang korbannya adalah lembaga antikorupsi”. Sejarah telah membuktikan ucapan Bambang.

Menurut dia, ada lima pelajaran yang dapat dipetik dari bubarnya lembaga-lembaga terdahulu. Pertama, lembaga antikorupsi dibuat tidak berdaya oleh pihak yang bagian dari unsur kekuasaan itu sendiri. Sikap koruptif sudah berkembang di dalam kekuasaan. Kedua, lembaga antikorupsi tidak diberikan kewenangan yang solid, utuh dan memadai untuk dapat menjalankan tugas secara optimal. Ketiga, tokoh-tokoh baik itu dibiarkan bekerja tanpa ditopang sarana dan prasarana yang memadai. Keempat, lembaga antikorupsi tidak memiliki independensi. Kelima, belum ada pengaturan tentang konflik kepentingan karena pemegang kekuasaannya cenderung melindungi kejahatannya.

Pembubaran lembaga-lembaga antikorupsi diduga karena ada kepentingan kekuasaan yang akan dilindungi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menghubungkan kerja KPK melakukan OTT dengan iklim investasi. Meskipun kemudian ia menarik ucapannya, pernyataan Moeldoko mencerminkan pandangan lain bahwa KPK berpotensi mengganggu kepentingan pemerintahan. Mungkin juga kepentingan anggota legislatif, pengusaha, dan kepala daerah. Sesungguhnya, pertarungan dua pandangan yang saling berseberangan hanya akan menguntungkan pelaku tindak pidana korupsi.



Sumber:Hukum Online
Penyunting:BH

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال