Debat Kedua Capres; Antara Hoax dan Realitas

Debat Kedua Capres; Antara Hoax dan Realitas

Oleh Akhmad Bumi )*

Debat Kedua Capres telah berlangsung dan berlangsung meriah di hotel Sultan Jakarta pada Minggu 17 Februari 2019. Polri tidak tanggung-tanggung menggerakkan 2.900 personil gabungan untuk mengamankan jalannya debat kedua Capres. Walau Polri menggerakkan 2.900 personil gabungan untuk mengamankan debat kedua Capres, tapi pasukan yang besar tsb masih kecolongan dengan adanya ledakan di dekat area parkir timur Senayan. Para pendukung pasangan capres yang menyaksikan nobar lari kocar kacir, ada yang ke JCC dan ada yang ke stadion Akuatik. Publik bertanya-bertanya, kok bisa orang nekat melakukan bom ditengah banyaknya pasukan penjaga negara? Apa pasukan sebanyak 2.900 personil tidak cukup menjamin rasa aman debat kedua Capres? Padahal negara wajib menjaga dan melindungi rasa aman warga negara. Itu amanat konstitusi.

Isu Debat

Capres Jokowi menyampaikan banyak hal yang tidak sesuai realitas. Capres Jokowi menyatakan ..."kebakaran lahan gambut tidak terjadi lagi dan ini sudah bisa kita atasi dalam tiga tahun ini". Berdasar data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyebutkan Indonesia masih mengalami kebakaran hutan dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2015-2016 luas area hutan yang terbakar sebanyak 261.060 hektar. Pada tahun 2016-2017 luas area hutan terbakar 14.604 hektar, pada tahun 2017-2018 total kebakaran hutan mencapai 11.127 hektar. Pada Januari hingga Juli 2017 Riau mengalami kebakaran hutan seluas 1.052 hektar. Kebakaran hutan di Rokan Hilir seluas 281 hektar, di Meranti 200 hektar. Kalimantan Tengah kebakaran hutan seluas 11.127,49 hektar. Pada tahun 2018 Riau mengalami kebakaran hutan seluas 1.962 hektar di sepuluh kabupaten dan kota. Tahun 2018 kebakaran hutan juga terjadi di Sumatra Selatan seluas 37.362 hektar (kompas.com, 17 Februari 2019).

Capres Jokowi mengatakan; "...tahun 2018 impor jagung sudah jauh berkurang. Tahun 2014 kita impor 3,5 juta ton jagung, tapi tahun 2018 kita hanya impor 180.000 ton jagung". Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasinya berjudul Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor November 2018, pada tahun 2014 Indonesia mengimpor 3.253,62 juta ton, pada tahun 2015 Indonesia mengimpor 3.267,69 juta ton, pada tahun 2016 Indonesia mengimpor 1.139,69 juta ton, pada tahun 2017 Indonesia mengimpor 517,50 ribu ton, pada tahun 2018 Indonesia mengimpor 587, 26 ribu ton (CNCB, 18 Februari 2019). 

Capres Jokowi menyampaikan total produksi beras tahun 2018 sebesar 33 juta ton dan total konsumsi 29 juta ton. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengimpor beras secara bertahap selama 12 bulan sepanjang tahun 2018. Impor Januari sebesar 13, 17 ribu ton, Februari sebesar 272,89 ribu ton, Maret sebesar 97,63 ribu ton, April sebesar 165,34 ribu ton, Mei sebesar 346, 97 ton, Juni sebesar 223,76 ribu ton, Juli sebesar 333,17 ribu ton, Agustus sebesar 326, 83 ribu ton, September sebesar 236, 25 ribu ton, Oktober sebesar 123, 65 ribu ton, November sebesar 62, 99 ribu ton, Desember sebesar 51, 10 ribu ton. Total 2, 25 juta ton impor beras (detikfinance, 16 Januari 2019).

Beberapa waktu lalu terjadi polemik antar kementrian kabinet Jokowi terkait impor beras. Mentri perdagangan mengeluarkan ijin impor beras sebanyak 500 ribu ton periode Mei-Juni 2018. Padahal stok beras digudang bulog masih 2,4 juta ton. Bulog melalui Budi Waseso dan Kementrian Pertanian menolak ijin mentri perdagangan soal impor beras. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan stok beras pada Mei-Juni surplus. Agung menyatakan kita sekarang di food state bisa produksi sekitar 40 ribu ton per hari. Ini menunjukan kita surplus. Agung menyatakan kebutuhan beras Mei-Juni 2018 mencapai 5,3 juta ton. Sedangkan produksi 8, 1 juta ton. Sehingga terjadi surplus beras sebanyak 2,8 juta ton. Kalau surplus kenapa harus impor. Kalau mau impor mau dikemanakan beras produksi petani? Hal ini merugikan petani secara luas, kata Capres Prabowo menanggapi pernyataan Jokowi pada sesi debat kedua Capres. Jika beras kita surplus tapi masih mau impor itu berarti ada "rent seeker", dilakukan pada tahun politik, terlibat mafia dan kartel yang merugikan petani dan bangsa Indonesia.

Capres Jokowi menyatakan telah membangun lebih dari 191.000 KM jalan desa, padahal itu adalah total jalan desa yang dibangun sejak Indonesia merdeka. Dahnil Anzar Simajutak menyebtukan pernyataan Capres Jokowi tsb sebagai produsen kebohongan. Menurut Dahnil Anzar  Simanjuntak 191 km itu sama dengan 4,8 keliling bumi atau 15 kali diameter bumi (TribunJakarta.com, 18 Februari 2019). Pihak lain mengkritisi bahwa panjang jalan 191.000 km itu dibangun sejak jaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. Capres Jokowi menyatakan pemerintah memenangkan gugatan 18-19 triliun akibat kerusakan lahan, tapi LSM Greenpeace Indonesia membuat cuit melalui akun twitter menyebutkan bahwa belum ada satu perusahaan yang membayar ganti rugi pada negara sepersenpun. Capres Jokowi gagal dalam mengorganisasikan kekuasaanya sehingga perusahaan yang merusak lingkungan enggan melakukan ganti rugi kepada negara. PT MPL dan PT Kalista Alam sudah dipanggil secara patut tapi tidak mengindahkan, padahal putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap. Apa yang disampaikan Capres Jokowi tidak sesuai realitas. Sesuatu yang disampaikan seseorang tapi tidak sesuai kenyataan disebut hoax. Hoax itu informasi yang sesungguhnya tidak benar (bohong), tapi dibuat seolah-olah benar adanya. Apakah penguasa adalah pembuat hoax (pembohong) terbaik nasional? Entah...

Bohong itu Pencabulan

Berbohong itu bukan sesuatu yang menggairahkan (erotic) dalam dunia politik,  berbohong dengan mengorbankan sebuah esensi politik dan demokrasi yang lebih besar disebut pencabulan (obscenity). Melacurkan diri tanpa berfikir masa depan sebuah tatanan, sebagai sisi lain dalam dinamika kehidupan manusia beradab. Antara erotik dan obscenity memiliki perbedaan substansi.

Erotik (gairah), itu hal lumrah dalam dunia politik, menggairahkan pendukung, pemilih atau simpatisan dengan pesan-pesan politik, slogan. Dalam spektrum lain, dunia film misalnya, erotik biasanya terkontaminasi dalam thema-thema semisal; tragedi, komedi, satiris, absurd. Atau dalam bentuk ekspresi seni lain, seperti terlihat dalam karya Vatsayana (Kama Sutra), Alexander Pushkin (Gabrilliard), George Bataille (Story of the Eye), Mark Twain (1601), atau Marquis de Sade (Justine, or the Misfortunes of  Virtue), menggairah bagi penonton. Erotik adalah salah satu unsur estetik dalam politik.

Tapi jika itu pencabulan politik (berbohong), maka maknanya menjadi beda. Pencabulan berhubungan dengan insting purba yang dieksploitasi untuk kepuasan hewani, nir-refleksi, dan sama sekali tidak politis apalagi artistik. Berbohong, sama dengan menelanjangi diri atas bawah, karena sikap berbohong hanya menampakkan sisi lain yang terbuka, merusak imajinasi, tatanan, sistem maupun peradaban.

Berbohong itu pencabulan. Pencabulan dalam pandangan agama-agama difahami sebagai perbuatan dosa, maka pencabulan dalam dunia politk kita sebut mewariskan dosa sejarah, karena telah mencemari sebuah tata nilai, peradaban yang tengah diperjuangkan. Seorang calon pemimpin tidak etis berbohong kepada publik secara luas. Obscenity (pencabulan) oleh Plato disebut serba telanjang dan tidak memberi pemahaman yang melampaui pengalaman. Olehnya, orang selalu menghindari pencabulan itu agar tidak terlihat di ruang publik. Pencabulan itu membunuh, merusak dan menistakan kehidupan, berbeda dengan erotik yang menggairahkan kehidupan (spirit of life). Pencabulan adalah perilaku aib yang mengubur peradaban. Olehnya, pencabulan politik adalah hal merusak dan menjadi aib untuk public. Lebih tragis jika kebohongan itu mampu menghipnotis lembaga negara dan publik untuk melegalkannya dengan mengorbankan masa depan sebuah peradaban bangsa dan negara.
 
Merampok Kedaulatan Warga

Untuk demokrasi, substansinya adalah menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Kebijakan yang tidak pro-rakyat selalu berujung pada hilangnya hak rakyat untuk tidak memilih. Hak rakyat yang tidak memilih pemimpin yang tidak pro rakyat dalam setiap kebijakan karena lebih didorong adanya tuntutan warga yang merasa dibohongi pemimpin. Pemimpin selalu keluarkan pernyataan yang tidak sesuai kenyataan. Warga mayoritas menghendaki perlu ada perubahan politik. Yang ditandai dengan tanda pagar #2019GantiPresiden. Warga menghendaki ada perubahan ke arah yang lebih baik. Warga menghendaki pemimpin jujur dan amanah. Bukan pemimpin yang hari ini berkata tidak impor jika berkuasa, tapi setelah berkuasa malah gila-gilaan impor, ekspor merosot. Warga dikibuli.

Sebuah proses demokratisasi yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi politik warga yang otonom. Yang tidak dikehendaki jika dalam hajatan politik melalui pemilu ini, hak suara warga politik dirampok para mafia pemilu (curang). Curang bisa saja dilakukan dengan banyak cara para mafia yang rata-rata cerdik. Misalnya pertukaran kotak suara diwilayah teritori operasi kabupaten/kota, sistem IT KPU dihack, suara dimanipulasi, DPT fiktif, TPS fiktif dll. Suara mayoritas warga politik memilih Prabowo-Sandi, justru yang dilantik Jokowi-Ma'ruf, atau sebaliknya. Inilah yang disebut kejahatan politik yang melampaui batas normal karena telah merampok esensi kedaulatan rakyat.

Untuk menumbuhkan dan atau meningkatkan partisipasi politik yang otonom dari warga politik, maka hajatan 2019 perlu dilakukan kewaspadaan nasional, kewaspadaan akan adanya curang. Dan ini menjadi tanggungjawab semua pihak. Karena rakyat menghendaki pemilu  berjalan langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber). Semoga agenda ini dapat ditunaikan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa, agar tidak mencederai hajatan politik ini dan demokrasi Indonesia semakin berkualitas.

)* Penulis, Ketua Harian Rumah Pejuang Indonesia (RPI)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال