Rumah Pejuang Indonesia Desak TNI/Polri Menangkap Pelaku Gerakan Separatis Bersenjata di Papua



Jakarta, IMC - Wakil Ketua Umum Rumah Pejuang Indonesia (RPI) mendesak TNI/Polri segera menangkap pelaku gerakan separatis bersenjata di Papua. Demi kedaulatan negara mereka OPM di Papua harus ditangkap. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Umum RPI H. Deani T. Sudjana, SH, MM kepada IMC pada Sabtu (8/12/2018) di Jakarta.

"Demi Negara pelaku separatis bersenjata di Papua harus ditangkap. Kami dari Rumah Pejuang Indonesia (RPI) yang mengkaji bidang kedaulatan dan pertahanan Negara berharap Polri dan TNI menangkap kelompok OPM pimpinan Egianus Kogoya dan anak buahnya dalam keadaan hidup. Mereka harus ditangkap dalam keadaan hidup, maksudnya agar kita dapat memperoleh dan menggali informasi detail tentang jumlah anggota OPM yang tersisa dan yang menyebar diberbagai wilayah pegunungan dan hutan di Papua. Mereka ditangkap hidup agar kita dapat mengetahui asal senjata yang mereka OPM peroleh, didapat dari siapa dan darimana?" kata Deani.

Peristiwa penembakan, lanjut Deany, tanggal 2 Desember 2018 itu memalukan Indonesia di mata internasional dan kedaulatan Negara seakan terkoyak. Itu penembakan yang sifatnya provokatif. Mengundang perang terbuka dengan Indonesia.

Deany yang alumni Lemhanas ini melontarkan kritik kepada pendukung Jokowi yang selalu berkoar-koar tentang "saya NKRI, saya Indonesia". Perlu ada rasa nasionalisme dengan peristiwa ini, tidak sekedar slogan kosong atau slogan yang mengelabui publik, jangan-jangan dibalik slogan itu ada hidden agenda.

"Perlu ada gerakan nyata Presiden Jokowi. HTI yang bukan kelompok gerakan separatis bersenjata dibubarkan, padahal HTI itu gerakan dakwa yang dilakukan dengan santun dan beradab tapi dibubarkan. Kenapa tidak deteksi dini dengan gerakan kelompok separatis bersenjata semacam OPM di Papua dan membubarkan mereka. Apa saja kerja BIN selama ini? BIN jangan saja deteksi politik praktis, tapi perlu melakukan deteksi terhadap ancaman terhadap Negara. Ini Negara perlu dijaga dengan baik, jangan main-main.

Pilihan politik publik pada Pilpres 2019 dipimpin kalangan militer itu tepat. Prabowo Subianto yang mantan Danjen Kopasus cukup strategis dan hal ini terkait pertimbangan ancaman eksistensi Negara yang kian nyata. Penembakan di Papua salah satu contoh. Presiden sipil lemah, dan belum teruji dalam mengelolah Negara. Era Jokowi inu justru lebih membahayakan kedaulatan Negara, ini indikator sipil belum siap. Apalagi sipil yang belum teruji. Hanya sebagai robot dan dikendalikan orang lain.

Bukan saja perang senjata tapi perang ekonomi kian meruntuhkan negara. Kami dari RPI sejak awal-awal sudah mengkaji semuanya. IMF dan Tiongkok sekecil apapun yang mereka berikan pada Indonesia, itu hadiah beracun. 

Indonesia akan menjadi pasien rawat jalan oleh IMF dan Tiongkok suatu saat. Sesudah itu Indonesia akan jadi pasien rawat inap, seluruh kebijakan Negara pada akhirnya harus atas restu IMF dan Tiongkok. Hati-hati gejolak di Papua, bisa saja insiden itu hidden agenda yang sangat membahayakan Negara. Olehnya kami RPI jauh-jauh hari sejak September 2017 sudah melontar nama mantan militer salah satunya pak Prabowo untuk dijual ke pasar politik, untuk dipertimbangkan agar Prabowo maju dan bertarung kembali pada Pilpres 2019," papar Deani.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Papua menjawab tuduhan kelompok tentara Papua merdeka (TPM) dengan menegaskan, apa yang dilakukan sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan melakukan pembunuhan adalah tindakan yang tak beradab.

"Saya rasa publik bisa melihat, mana yang binatang, mana yang tidak. Kalau ada orang membantai orang tanpa alasan siapa yang binatang?" kata Muhammad Aidi, juru bicara Komando Daerah Militer Papua seperti dikutip BBC News Indonesia, hari Kamis (06/12).

"Keberadaan TNI di sini legal berdasarkan institusi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), keberadaan KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata) legalnya dari mana?" kata Aidi.

"Siapa yang melegalkan? Dasar hukumnya mana ada? Jadi, sekelompok orang mengangkat senjata secara ilegal, tanpa izin, itu adalah pelanggaran hukum," kata Aidi.

Sebelumnya, dalam wawancara melalui telepon, juru bicara Organisasi Papua Merdeka (OPM), Sebby Sambom seperti yang dikutip BBC News Indonesia Kamis (6/12/2018) mengatakan bahwa pihaknya membunuh para pekerja konstruksi proyek jalan di Nduga karena bagi OPM, sebagian besar pekerja adalah anggota TNI, yang dianggap musuh oleh OPM.

"Kami melawan Indonesia, yang kami lawan itu bukan manusia. Mereka adalah manusia yang berwatak binatang. Oleh karena itu, kami menempuh jalan perang. Itu prinsip TPM," kata Sebby.

Sebby mengatakan pihaknya tidak memerlukan pembangunan infrastruktur dan ini sudah ia peringatkan kepada TNI dan pemerintah Indonesia. Ia juga mengatakan tidak khawatir pembunuhan pekerja proyek akan membuat keamanan di Papua memburuk.

'Perang total pada 2021'
"Kami sudah siap melancarkan revolusi di seluruh tanah Papua melawan TNI dan Polri. Ini kesalahan juga pihak PBB, Amerika Serikat, dan Belanda yang memberikan Papua kepada Indonesia. Selama 50 tahun kami menderita, itu sudah cukup," kata Sebby.

"Generasi lama sudah meninggal. Kami generasi baru sudah menetapkan memilih jalan revolusi, akan ada krisis di Papua, pada 2021 kami akan melancarkan perang revolusi total melawan TNI/Polri. Kami minta masyarakat sipil Indonesia untuk meninggalkan Papua Barat," kata Sebby.

Menanggapi pernyataan ini, juru bicara Kodam di Papua, Muhammad Aidi, menyatakan TNI siap berhadapan dengan tentara Papua merdeka.

"Kita selalu siap kapan saja. Saya berharap mereka bukan pecundang. Artinya hanya sekadar bicara. Mari berhadapan secara jantan, kita siap menghadapi, TNI siap menghadapi demi menjaga kedaulatan Negara ini, kami siap," kata Aidi.

Papua diintegrasikan ke wilayah Indonesia melalui apa yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, yang hasilnya diakui oleh PBB.

Separatisme adalah salah satu masalah yang terjadi di pulau tersebut.Pemerintah Indonesia antara lain mengalokasi dana khusus triliunan rupiah sejak 2001 untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, melalui skema dana otonomi khusus.Sejumlah pihak mengatakan dana otonomi khusus "tidak tepat sasaran dan harus segera dievaluasi".(tim/red).

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال