Jakarta,IMC-Rapat Koordinasi Pos Pendidikan di
LPMP Sulawesi Tengah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan
gambaran tentang pembagian tenda sekolah darurat yang berasal dari UNICEF hanya diperuntukkan
bagi sekolah-sekolah di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) RI sesuai MoU antara UNICEF
dengan pihak Kemdikbud. Kebutuhan tenda sekolah darurat untuk sekolah-sekolah
di bawah kewenangan Kemdikbud mencapai 1654 kelas darurat.
Hal tersebut disampaikan oleh perwakilan UNICEF ,Yusran dalam suatu rapat koordinasi di pos
Pendidikan yang dihadiri oleh KPAI, KPPPA, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi Tengah, Kadisdik Palu, Kadisdik Sigi, Kadisdik Donggala, perwakilan
Kantor Wilayah Kemenag Sulawesi Tengah, KERLIP dan UNICEF. Sementara banyak
sekolah (baca: madrasah) di bawah Kementerian Agama (Kemenag) yang juga
membutuhkan tenda untuk sekolah darurat.
Pihak Kemenag RI sudah mengajukan permohonan bantuan tenda
untuk madrasah-madrasah di Sulawesi Tengah
sebanyak 50 tenda kelas darurat dari total 450 tenda yang merupakan
bantuan UNICEF kepada pemerintah Indonesia. Artinya, pihak Kemenag hanya
meminta 50 tenda kelas darurat dari total kebutuhan sebanyak 700an tenda kelas
darurat yang dibutuhkan madrasah.
Sedangkan 400 tenda kelas darurat lainnya dari UNICEF untuk
sekolah-sekolah di bawah kewenangan kemendikbud, yang memang kebutuhannya
mencapai lebih dari 1500 tenda kelas darurat.
Sejatinya, dalam memberikan bantuan kemanusian termasuk
fasilitas tenda untuk sekolah darurat semestinya berprinsip non diskriminasi.
Anak-anak yang bersekolah di sekolah umum di bawah kewenangan Kemdikbud maupun
anak-anak yang bersekolah di madrasah-madrasah, semuanya adalah warga Negara
Indonesia yang memiliki hak yang sama.
. “Pemenuhan hak-hak anak termasuk hak atas pendidikan harus
tetap dijamin meski dalam situasi
darurat. Seluruh anak-anak usia sekolah yang selamat dari bencana tersebut
harus segera bersekolah tanpa memandang suku, agama, ras, dan bersekolah
dimana,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang pendidikan dalam
keterangan tertulis yang diterima Redaksi,Senin( 22/10/18 )
Retno menambahkan bahwa,”Urusan seperti ini sebenarnya
sangat mudah diselesaikan, tinggal komunikasi aatara kedua kementerian. Menteri
Agama perlu proaktif melobby dan
menelepon Mendikbud agar 50 tenda kelas darurat yang diminta Kemenag dapat
disetujui agar keberlangsungan pendidikan dan kepentingan terbaik bagi
anak-anak Indonesia dapat diwujudkan”.ujarnya.
Ditegaskan,KPAI telah mendapatkan informasi dari Pos
Pendidikan bahwa total tenda yang sudah diterima pos pendidikan Sulawesi Tengah
dari UNICEF adalah sebanyak 250 unit tenda, masing-masing tenda termasuk besi
penyangga beratnya total mencapai 100 kg. Adapun tenda-tenda yang diterima
sudah didistribusikan ke sekolah-sekolah sebanyak 246 tenda, termasuk 5 tenda
kelas darurat yang didistribusi ke madrasah. Sekolah-sekolah di bawah
kewenangan Kemdikbud memperoleh 241 unit tenda. Rincian distribusi tenda kelas
darurat adalah : 104 unit tenda di Palu, 65 unit tenda di Donggala, 76 unit
tenda di Sigi dan 1 unit tenda di Parimo.
KPAI PENGAWASAN
LANGSUNG KE SEKOLAH TERDAMPAK
KPAI mengunjungi salah satu sekolah darurat di Balaroa,
Palu, Sulawesi Tengah, pada 22 Oktober 2018, yautu SDN Balaroa. Sekolah darurat ini menempati tanah lapang diantara pemukiman penduduk, .
Bangunan SD Negeri ini hancur akibat likuifaksi atau tanah bergerak, karena
sekolah ini terletak di atas (daerahnya berbukit) dan saat likuifaksi
terjadinya, tanahnya bergerak dan SDN ini terbawa lumpur dan jatuh ke daerah di
bawahnya yang merupakan komplek Perumnas. Hampir seluruh rumah di komplek
tersebut tertimpa benda dan rumah di atasnya. SDN Balaroa ini ikut terseret
lumpur dan menimpa rumah-rumah di kompek Perumnas, sekolah ini pun hancur 100
persen dan harus relokasi untuk bisa dibangun kembali.
Sekolah darurat SDN ini posisinya sekitar 2-3 KM dari lokasi
asalnya, bentuk sekolah daruratnya berupa satu tenda besar yang didirikan oleh
Kemdikbud. Sekolah ini memiliki siswa
sebanyak 400 orang, berdasarkan data sekolah, dari jumlah 400 tersebut ada 41
siswanya menjadi korban tewas dalam musibah ini. Sekolah belum berjalan normal,
namun sudah mulai berkegiatan sejak minggu lalu. Banyak anak tidak menggunakan
seragam sekolah karena rumah mereka hancur akibat bencana likuifaksi dan yang
tersisa hanya pakaian yang melekat di badan.
Di SDN Balaroa, KPAI bersama KERLIP berkesempatan melakukan
psikososial dan pendididkan mitigasi gempa dengan bernyayi bersama sejumlah
siswa yang sudah hadir. Sebagian besar siswa memang belum masuk sekolah secara
normal. Pasca bencana gempa dan tsunami,
pembelajaran masih didominasi psiko sosial, selain itu jam masuk sekolah pun
dimundurkan yang semula pukul 07.00 wita diubah menjadi pukul 09.00 wita.
KPAI juga mengunjungi sekolah di kabupaten Donggala,
Sulawesi Tengah. Perjalanan dari Palu menuju Donggala membutuhkan waktu sekitar
1 jam dengan menyusuri pinggiran pantai. “Sepanjang pinggir pantai Talise dari
Palu ke Donggala, kami menyaksikan rumah-rumah, restoran/kafe, hotel dan
fasilitas umum yang hancur oleh gempa dan disapu tsunami, termasuk satu PAUD
yang lokasinya dekat dengan pantai hancur
dan rata dengan tanah, sehingga tidak mungkin dapat digunakan kembali,”
ujar Retno Listyarti.
Didampingi kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA) kabupaten Donggala,
KPAI mengunjungi SDN 2 yang terletak di Dusun Loli, kecamatan Banawa. Sekolah
ini sudah aktif berkegiatan minggu lalu, dimulai dengan mendata jumlah siswa
dan guru yang selamat. Meski 5 ruang
kelas yang rusak berat, hingga lantai kelas dan tembok terbelah, namun seluruh
siswa dan guru selamat.
Saat ini, di SDN 2 Banawa sudah berdiri 2 (dua) tenda
darurat besar berwarna putih yang merupakan sumbangan dari NGO Save The
Children sebanyak 2 buah yang digunakan oleh kelas 1, 2 dan 3 untuk proses
pembelajaran. Sementara kelas 4-6 belajar di ruangan kelas awal yang juga
mengalami kerusakan ringan/sedang. Jumlah siswa di sekolah ini hampir 200
siswa. Kepala Sekolah berharap bantuan 3 tenda darurat lagi agar para siswa
dapat belajar dengan tenang, mengingat banyak dinding kelas yang mengalmi
keratakan di beberapa bagian.
Musrifah, Kepala sekolah menceritakan bahwa pada saat
peristiwa tsunami terjadi, di masjid sekolah para siswa sedang berkumpul untuk
kegiatan rutin sholat berjamaah dan mengaji. Menjelang adzan maghrib --karena
sekolah ini berada sangat dekat dengan pantai--, salah satu guru ngajinya
berteriak “Tsunami, ayo semuanya naik ke
bukit!”, karena sang guru menyaksikan
air laut mendidih setelah terdengar
ledakan yang sangat keras dari arah laut. Dengan bergandengan tangan, para siswa dan
guru beserta warga sekitar segera menaiki bukit yang berada di belakang pemukiman
penduduk. Semuanya selamat. ( Rls / Zer
)
Tags
KPAI