#2019GantiPresiden, RPI Bentuk Posko Pengaduan Korban Persekusi


Jakarta, IMC - Maraknya tindakan persekusi kepada para aktivis gerakan #2019GantiPresiden oleh orang atau kelompok yang tidak bertanggungjawab belakangan ini membuat Rumah Pejuang Indonesia (RPI) membentuk posko pengaduan korban persekusi. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Umum Rumah Pejuang Indonesia (RPI) H. Deani T. Sudjana, SH., MM., MBA kepada media di Jakarta (23/9/2018). 

"Kami RPI membentuk posko pengaduan korban persekusi. RPI prihatin tindakan pelanggaran hukum yang sewenang-wenang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tidak bertanggungjawab. Tindakan mereka itu melanggar hukum.

Posko pengaduan korban persekusi RPI beralamat di Jl. Kebembem Raya No. 3 Jakarta Selatan. RPI memiliki banyak Lawyer handal dan berpengalaman dalam advokasi. Perlu dilakukan advokasi kepada korban persekusi. Mereka itu korban, jika tidak di advokasi, publik mengira kelompok yang melakukan kejahatan persekusi seolah-olah benar perbuatannya, tidak melanggar hukum. Padahal mereka itu penjahat. Masa sih Polisi bersekongkol dengan penjahat, tidak menindak mereka? 

Aparat Polisi yang membiarkan atau menonton penjahat persekusi melakukan adegannya itu melanggar hukum, melanggar hak asasi manusia. Membiarkan itu melanggar hukum," beber Wakil Ketua Umum Rumah Pejuang Indonesia (RPI) H. Deani T. Sudjana, SH., MM., MBA.

Menurut alumnus Lemhanas ini, Gerakan tanda pagar #2019GantiPresiden atau gerakan #2019TetapJokowi tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum itu orang yang mempersekusi. 

"Jika ada pihak atau kelompok yang mempersekusi gerakan 2019 ganti presiden, Polisi wajib memprosesnya. Kalau Polisi tidak memproses, Polisi dianggap melanggar hukum karena membiarkan pelanggaran hukum terjadi.

Polisi tugasnya mengamankan Undang-undang, menjamin ketertiban masyarakat dan negara perlu menjamin rasa aman warga negara.

Polisi tidak boleh takut dengan penjahat persekusi. Kelompok atau orang yang melakukan persekusi itu  "penjahat". 

Penjahat artinya mereka melanggar norma, Undang-undang. Jangan disatu pihak Polisi menegakkan hukum, disisi lain justru melanggar hukum, urainya.

Penegakan hukum jangan dicampur aduk dengan politik. Nanti Polisi disebut tidak profesional dalam tugas. Atau Polisi bisa dicurigai digunakan sebagai alat politik oleh salah satu calon. Karena tebang pilih dan tidak adil dalam menegakkan hukum. Kalau Polisi membiarkan persekusi berjalan atau "takut dengan penjahat persekusi".

Cara berhukum kita harus benar dan adil, tidak melahirkan ketidakadilan hukum. Banyak Undang-undang diciptakan tapi cara berhukum tidak profesional akan membuat hukum menjadi tidak berguna bagi manusia," jelasnya.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Umum Rumah Pejuang Indonesia (RPI) H. Deani T. Sudjana, SH., MM., MBA mengatakan bahwasanya jika dalam acara deklarasi #2019GantiPresiden ada pihak-pihak yang melakukan fitnah atau pelanggaran hukum lain, ya diproses sesuai ketentuan hukum berlaku. Tapi dalam acara deklarasi #2019GantiPresiden orang-orang hanya menyampaikan pendapat ganti presiden ya itu hak warga negara dalam berpendapat dimuka umum, dilindungi konstitusi dan UU. Tidak melanggar hukum. 

"Artinya tagar #2019GantiPresiden itu konstitusional. Tidak melanggar hukum. Esensi demokrasi adalah berbeda dalam pendapat maupun sikap. Kalau berbeda pendapat lalu disalahkan, itu namanya diktator. Diktator tidak dikenal dalam sistem demokrasi. Dan tidak dikenal dalam nilai-nilai Pancasila,"tegasnya.

Belakangan terjadi banyak tindakan persekusi kepada para aktivis gerakan yang menggelar deklarasi #2019GantiPresiden. Persekusi dilakukan kepada Ahmad Dani di Surabaya, kepada Neno Warisman di Riau, Ratna Serumpaet di Batam. Begitu juga di Kalimantan Barat. Hari ini Minggu, 23 September 2018 terjadi lagi persekusi di Tangerang Selatan, Banten. Prof. Dr. Mahfud MD kepada banyak media mengatakan gerakan 2019 ganti Presiden tidak melanggar hukum, tidak makar dan itu gerakan konstitusional. (red)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال