Pancasila adalah Harga Mati

Oleh: Imam Yudhianto Soetopo
Koordinator Barisan Merah Putih (BMP)Madiun dan Pendiri Jama’ah Islam Mustadz’afin Madiun (JIMM)


Magetan, (pewarta) - Kematian Ideologi paska runtuhnya perang dingin Komunis-Kapitalis pada awal 1990-an telah diramalkan oleh seorang pemikir Francis Fukuyama. Ideologi dianggap bukan sesuatu yang penting bagi bangsa-bangsa didunia seiring kemenangan rezim liberal-kapitalis. Ramalan diatas seolah menemukan titik kebenarannya ketika beberapa negara yang “kekeuh” dengan ideologi orthodoksnya mengalami keruntuhan secara politik dan konstitusi.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga juga dilanda gelombang politik yakni demokratisasi pada era 1990-an yang salah satu konsekuensi politik paling radikalnya adalah terabaikannya kesadaran ber-ideologi kebangsaan. Pancasila yang diera rezim Orde Baru mengalami mitologi dan seolah menjadi doktrin kebenaran mutlak diabaikan dan tidak dianggap sebagai ikatan pemersatu Negara-bangsa.

Pancasila bahkan selama 13 tahun terakhir tergerus oleh infiltrasi ideologi impor yang mulai dikembangkan menjadi ideologi kelompok yang bercita-cita membangun konstruksi negara dengan wajah ideologi baru dimasa depan, apabila mereka memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan.

Di ranah masyarakat politik berkembang pula paham ideologi beragam, yang didesain untuk bisa menggantikan Pancasila sebagai ideologi nasional. Paham-paham ideologi tersebut antara lain; transnasionalisme agama yang diyakini oleh beberapa ormas agama yang memiliki cita-cita mendirikan negara teokratis. Tersebut kelompok pengikut Taqiqudin Nabhani, Hizbut Tahrir dengan ide Daulah Khalifah Islamiyah. Kelompok NII yang konsistensi gagasan Negara Islam Kartosuwiryo, Ichwanul Muslimin (PKS) dengan Negara beradab Islam ala piagam Madinah, dsb.

Di lain pihak, kekuatan berhaluan “kiri” yang memakai jubah gerakan demokrasi-radikal juga mengusung konsep negara “tanpa kelas” dengan cita-cita negara sosialis dengan manifesto sosialis sebagai basis ideologinya. Diakui atau tidak, kelompok berhaluan “kiri” meski masih minoritas sebenarnya masih memiliki basis sejarah yang pernah menjadi kekuatan politik signifikan dinegeri ini.

Tekanan dari masyarakat politik terhadap eksistensi Pancasila, ternyata dibiarkan oleh negara. Negara (kekuasaan), cenderung membiarkan ideologi “perongrong” Pancasila hidup dan diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat. Pancasila tidak dianggap sebagai pandangan
hidup masyarakat dan pemerintah. Justru dianggap sekadar sebagai “dasar” negara yang tidak memiliki  kekuatan falsafati mempengaruhi pandangan hidup bangsa.

Pancasila tidak lagi ditempatkan sebagai prinsip hidup bernegara. Didalam atmosfer politik, Pancasila yang masih digunakan, sebagai asas partai politik justru pengamalannya dikhianati oleh para pelaku politik yang duduk disinggasana kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif.

Perilaku para pemegang kursi singgasana politik banyak yang tidak mencerminkan pengamalan nilai dasar dan etik Pancasila. Terlibat dalam korupsi yang megalomania, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan yang fatal, merusak kultur sehat birokrasi dan sebagainya.
Hal inilah yang sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan. Jika Pancasila diabaikan nantinya akan meruntuhan sendi dasar konstruksi kenegaraan. Republik yang dibangun diatas kebhinekaan, dengan landasan Pancasila akan runtuh. hal tersebut terjadi seperti tragedi runtuhnya`negara bangsa USSR, Republik Balkan paska ikatan sosialisme sebagai ideologi negara runtuh.

Untuk itulah sesungguhnya Pancasila adalah harga mati dan perlu direaktualisasikan. Reaktualisasi nilai-nilai Pancasila harus dilakukan dengan mengedepankan beberapa prinsip pokok atau elemen yang harus dijadikan landasan bergerak dari manifestasi nilai Pancasila:

Pertama, Prinsip Universalitas, karena sebagi unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsure kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity) dan karena itu sangat besar peluangnya untuk diterima sebagai unsure yang dapat memperkaya dan menstimulan perkembangan kebudayaan.

Kedua, Prinsip Relevansi. Hal ini dapat diasumsikan bahwa Nilai Pancasila  harus mempunyai kegunaan praktis (utility) dalam masyarakat majemuk yang memerlukan kerangka acuan maupun media social untuk memperlancar interaksi sosial lintas lingkungan atau ranah kebudayaan secara tertib.

Ketiga, Prinsip Distingtif (distinctiviness). Ini dapat diartikan sebagai unsure yang menunjukkan kekhususan sebagai unsur budaya yang diidolakan sebagai unsure jati-diri bangsa yang membedakan dari bangsa lain. Hal ini jika dimasyarakatkan secara insentif akan dapat membentuk kepribadian bangsa yang diharapkan, seperti nilai-nilai budaya dalam menghargai musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam tataran demokrasi.

Keempat, Prinsip Kemajuan (adab). Ini juga diartikan sebagai unsur yang membuka peluang atau memperlancar kreativitas masyarakat untuk mengembangkan penemuan menuju adab sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Karena itu, puncak tidak menutup kemungkinan dapat mengadopsi budaya asing, dengan catatan tidak menghilangkan alur budaya kita sendiri.

Kelima, Prinsip Kesetaraan (equality), UUD 1945 juga telah menekankan arti semangat kesetaraan disamping keaneka-ragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimana tercermin tentang arah kemajuan yang harus ditempuh, yaitu menuju keadaban yang maju, budaya dan persatuan bangsa. Karena peleburan masyarakat majemuk menjadi satu bangsa yang baradab tidak mungkin terlaksana tanpa pengakuan dan penghormatan kesetaraan dalam keanekaragaman atau Bhineka Tunggl Ika.

Dengan reaktualisasi Pancasila inilah bangsa ini kiranya akan kembali memperolwh kekuatan ideologis yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kebangsaan. Dan masyarakat dan segenap komponen bangsa harus dalam satu komitmen bahwa: Pancasila adalah harga mati, yang harus dilanggengkan dan diamalkan untuk kemajuan bangsa![]

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال