Litbang Kampus WK Pertajam Daya Kritis Mahasiswa Katolik Lewat Film Soe Hok Gie

Malang, IMC - SIAPA bilang Soe Hok Gie sudah mati? Tidak! Buktinya, Soe Hok Gie masih hidup dan ada di Malang.

Adalah Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Universitas Katolik Widya Karya (WK) Malang, mengadakan acara nonton bersama (nobar) film Soe Hok Gie guna mempertajam daya kritis mahasiswa-mahasiswi Katolik untuk melihat segala persoalan yang makin marak terjadi belakangan ini di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sabtu (17/6/2017) kemarin, sekitar pukul 18.30 WIB di halaman tengah kampus WK.

Rektor Universitas Katolik Widya Karya (WK) Malang, Romo Albertus Herwanta, O.Carm, mengatakan, film Soe Hok Gie ini diangkat dari catatan-catatan harian Soe Hok Gie atas kejadian-kejadian yang terjadi di tanah air waktu itu. Sehingga film ini sangat layak untuk ditonton oleh semua mahasiswa-mahasiswi Indonesia khususnya mahasiswa-mahasiswi Katolik, agar dapat meningkatkan daya kritisnya.


“Di dalam film Soe Hok Gie ini, ada idealisme yang bernyala-nyala yang harus disambut dan dilanjutkan oleh seluruh mahasiswa-mahasiswi Katolik Indonesia. Dengan kehadiran sosok Soe Hok Gie yang ditayangkan lewat film ini, kita semua akan masing-masing refleksi, melihat diri sendiri. Apakah masing-masing kita sudah berpikir kritis atau belum. Apakah kita sudah berani menentang yang salah dengan idealism yang kritis atau belum. Ataukah kita takut bersuara secara kritis dan berani akan segala sesuatu yang tidak benar?” tantang Romo Albert, demikian dipanggil.

“Visi-misi politik mahasiswa Katolik pada zaman Soe Hok Gie dengan mahasiswa Katolik zaman ini, sungguh-sungguh jauh berbeda. Ada jarak yang besar diantara kedua zaman ini. Zaman Soe Hok Gie itu merupakan zaman yang sangat berat. Sedangkan zaman saat ini, dibuat biasa-biasa saja karena yang benar dibilang salah, dan yang salah dibilang benar. Dan lebih parahnya lagi mahasiswa-mahasiswi Katolik zaman ini lebih terlena diam. Tidak berani berpikir kritis dan bersuara atas ketidak-benaran itu. Masing-masing ikut “bermain” aman dan nyaman. Mereka takut berpikir kritis, dan takut bersuara secara kritis pula,” tambah Romo Albert, imam asal Ordo Karmelit ini.

Soe Hok Gie, lanjut Romo Albert yang juga menjabat sebagai Rektor Widya Karya, merupakan sosok yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan Gereja Katolik. Dan juga, sosok Soe Hok Gie ini, tidak jauh berbeda dengan sosok Santa Theresia dari Lisiuex.


“Baik itu Santa Theresia dari Lisiuex dan Soe Hok Gie, kedua sosok ini sama-sama memiliki daya kritis dan keberanian yang sama. Santa Theresia dari Lisiuex mengejar atau menghayati kekudusan dalam biara. Sedangkan Soe Hok Gie menentang ketidak-adilan yang terjadi. Antara Santa Theresia dari Lisiuex dan Soe Hok Gie, mereka berdua sama-sama mati muda dan menorehkan hidup yang cemerlang," ungkap Romo Albert kepada peserta nobar dengan ekspresi serius. Peserta nobar hanya diam membisu.

Lesly Sitohang dari Divisi Litbang Universitas Katolik Widya Karya (WK) Malang, kepada media ini menuturkan, dengan menonton bersama film tentang Soe Hok Gie, sekiranya dapat mendorong mahasiswa-mahasiswi Katolik Indonesia di mana saja berada untuk tidak takut bersuara atas ketidak-benaran dan ketidak-adilan serta mampu berpikir kritis dengan melihat situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang makin runyam belakangan ini. Sehingga bisa disikapi bersama dan bersama-sama mencarikan solusi yang terbaik dengan tidak menjatuhkan korban jiwa.

“Forum kecil ini akan sangat berpengaruh untuk melahirkan sosok Soe Hok Gie yang baru dengan keberanian dan kekritisan yang baru pula. Tentunya, dengan menonton film ini, akan melahirkan mahasiswa-mahasiswi Katolik yang berpikir kritis untuk bisa berwawasan luas dengan banyak membaca dan menulis,” kata Lesly, panggilan akrabnya.


Sedangkan Ignatius Arga, dosen pengampu mata kuliah Hukum pada Universitas Katolik Widya Karya Malang, mengatakan, dengan melalui menonton bersama film Soe Hok Goe, untuk mendorong dan mengajak semua mahasiswa-mahasiswi katolik di kampus WK untuk terlibat aktif dalam diskusi dan penulisan, agar lebih meningkatkan daya kritisnya. Karena sesungguhnya, daya kritis mahasiswa-mahasiswi itu diperoleh dengan banyak membaca.

“Ini proses alamiah yang sedang berlangsung. Saya dan teman-teman dosen serta beberapa mahasiswa dari Unit Kreatifitas Mahasiswa (UKM), kami sungguh mengalami kegelisahan tersendiri. Kenapa begitu? Karena bagi kami, belum ditemukan kegelisahan yang sungguh “berisi”. Nah, dengan cara alamiah seperti ini, kami sangat yakin akan kami temukan sosok-sosok yang sungguh-sungguh berisi dengan banyak hal. Kami sedang bergiat dengan sungguh-sungguh untuk mencari dan melahirkan mahasiswa-mahasiswi yang berpikir kritis dan berani karena rutin membaca buku,” tandasnya dengan penuh optimisme.

Dan Andre Kukun, salah satu mahasiswa WK program studi Hukum, yang kini berada di semester 6, menyatakan, untuk mahasiswa-mahasiswi Katolik yang kini masih menempuh perkuliahan, seharusnya mengikuti contoh dan teladan yang telah ditunjukkan Soe Hok Gie. Sehingga dengan itu, Gereja Katolik dan juga kampus serta lingkungan masyarakat, bangsa dan negara, akan memiliki dan mempunyai sosok-sosok yang berpikir kritis dan berani karena memiliki semangat yang sama yakni rutin membaca dan menulis.



“Tidak ada kata lain selain membaca dan menulis. Karena lewat literasi yang baik (membaca dan menulis), kita semua yang mengaku sebagai mahasiswa-mahasiswi akan lebih berani lagi untuk melawan ketidak-adilan. Di dalam literasi, kita menemukan kekuatan yang sesungguhnya. Jangan sia-siakan kekuatan membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis, kita sesungguhnya telah membunuh ribuan manusia di dunia,” tegasnya dengan ekspresi serius yang disertai tarikan napas. (Felix/ Andre Kukun) 



Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال