Catatan Demokrasi Indonesia


Catatan Demokrasi Indonesia
Oleh Akhmad Bumi*

Indonesia Negara hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat berfungsinya Negara.

Asas legalitas menandaskan Negara memakai hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya. Untuk mendapat legitimasi dilakukan dengan cara demokrasi.

Menurut faham demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Olehnya diselenggarakan Pemilihan Umum. Pemilu adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Pemilu berkualitas dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis, tapi Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim. Pemilu bahagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen) menyebutkan; “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar.” 

Rumusan ini mensyaratkan Indonesia negara berkedaulatan rakyat, bukan berkedaulatan negara.
Prinsip diatas berbeda dengan rumusan lama Pasal 1 ayat (2) UUD 45 : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Rumusan lama itu rumusan tentang paham kedaulatan negara. Paham kedaulatan negara itu menghilangkan kedaulatan rakyat dan mensubordinasikan orang-perseorangan kebawah kepentingan bersama yang diwakili oleh negara.

Dengan kata “sepenuhnya” dalam rumusan lama, maka rakyat pada hakekatnya tidak lagi berdaulat. Diciptakan pengertian bahwa presiden adalah “mandataris” MPR, olehnya presidenlah yang berdaulat.

Pasca amandemen pasal 1 ayat (2), kedaulatan telah berada ditangan rakyat, bukan lagi kedaulatan negara. Tetapi secara faktual, justru semakin tidak demokratis yang dialami oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan. Demokrasi diorbitkan dengan sumbuh terbalik, rakyat seolah tidak berdaulat. Demokrasi hanya diukur dari suksesnya Pemilu. Setelah pemilu, nilai-nilai demokrasi dilepas, negara dan rakyat bertemu di dua titik yang berlawanan. Lepas pemilu, demokrasipun selesai.

Demokrasi prosedural

Demokrasi prosedural hanya terbatas melihat mekanisme memilih wakil rakyat, memilih presiden/gubernur/walikota/bupati. Kualitas demokrasi hanya diukur dari suksesnya penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Demokrasi prosedural semakin menjauhkan rakyat selaku pemilik kedaulatan.

Demokrasi prosedural di adopsi dari teori demokrasi Joseph Schumpeter dan Samuel P. Huntington yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui Pemilu yang kompetitif dan adil. Oleh Samuel P. Huntington menyebutkan kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu.

Suara rakyat dibutuhkan hanya ketika datangnya momentum pemilu. Setelah itu, rakyat tidak lagi dihiraukan, rakyat ditangkap, diadu, dipenjara, kebijakan negara tidak lagi berpihak pada rakyat. 

Pulau dilepas, SDA menjadi barang dagangan, harga melambung tinggi, kampus dipolitisasi, rakyat kritis dianggap radikal, kemiskinan dan pengangguran dimana-mana, pengemis menunggu disimpang-simpang jalan, dan bahkan semua itu hampir absolut dinegeri ini. Jika demikian, maka demokrasi dalam cita-cita perlahan-lahan akan mati, dan itulah kelemahan dalam praktik demokrasi Indonesia.

Kelemahan lain yang menambah sisi buram demokrasi prosedural terletak pada absennya ideologi partai dalam berdemokrasi. Parpol yang tidak tegas ber-ideologi, bukan hanya berdampak pada tidak jelasnya arah perjalanan bangsa tapi berimbas pula pada kader-kader partai yang kelak menjadi pemimpin bangsa, akan terjebak oleh sikap pragmatisme politik, karena arah gerak pemimpin bangsa menjadi tidak terukur.

Parpol yang tidak tegas berideologi indikatornya pada figur yang lebih memainkan peran dominan ketimbang parpol, akibatnya berlaku sistem pasar dimana figur sebagai barang dagangan dalam sistem politik. Dengan itu, maka berlaku sistem transaksi, figur sebagai investasi. Figur yang semestinya sebagai panutan, tolak ukur bagi bangsa dan negara hanya bisa dihadirkan sebagai barang dagangan. Trend ini menunjukkan bahwa figur yang sudah populer lebih laris jual dibanding platform ideologis parpol. Figur bisa seenaknya berbuat apa saja terhadap bangsa ini sesuai seleranya.

Fakta ini menunjukkan parpol gagal dalam mendorong demokratisasi dibidang politik yang menjadi salah satu agenda penting bangsa, gagal mendorong figur untuk mengikuti fungsi ideologis partai untuk menjawab persoalan rakyat dan bangsa yang dihadapi. Kondisi ini mestinya disadari karena parpol bukan sekedar kendaraan politik, tapi parpol adalah alat untuk mencapai cita-cita demokrasi Indonesia. Kondisi ini, mendorong politik instan menjadi jalan pintas untuk merebut kekuasaan karena partai politik lebih suka menjual figur yang lebih laris daripada menawarkan ideologi partai yang kurang laku di pasar politik.

Demokrasi substansial

Demokrasi tidak sebatas dilihat dari sisi prosedural yang hanya mengatur kekuasaan negara, demokrasi tidak sebatas ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Tapi demokrasi berkaitan dengan pemenuhan hak hidup setiap warga negara, memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak, menjamin kepastian dan keadilan hukum. Artinya demokrasi itu tidak terletak pada apa, tapi untuk apa kekuasaan itu.

Demokrasi adalah jalan pemenuhan hak warga negara. Demokrasi dalam UUD 1945 adalah alat untuk menjalankan negara oleh rakyat.

Negara harus mewujudkan kesejahteraan. Sejahtera berarti membentuk manusia berkualitas. Manusia berkualitas adalah ciri masyarakat bangsa yang mandiri. Masyarakat yang mandiri disegala bidang adalah cita-cita demokrasi Indonesia.

Adalah paradoks, tahun 2010 Indonesia menjadi negara yang mendapat prestasi sebagai negara demokrasi terbaik di Asia Tenggara, tapi disparitas dibidang ekonomi, reproduksi sosial dan demokratisasi dibidang politik meninggalkan pekerjaan yang besar buat bangsa ini. Kita sukses Pemilu, sukses secara prosedural  tapi secara substansial demokrasi Indonesia gagal.

Diantara sistem-sistem pemerintahan yang ada, sistem demokrasi oleh banyak negara dianggap paling baik. Pandangan kita, bukan soal demokrasi atau monarki atau apa, melainkan terletak pada prinsip musyawarah dalam setiap urusan pengambilan keputusan.

Pandangan ini berangkat dari rapuhnya kepemimpinan negara yang gagal dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Demokrasi Indonesia justru mengarah pada otoritarianisme karena terlalu liberalnya demokrasi Indonesia, hal inilah membuat keputusan sulit diambil secara musyawarah mufakat untuk menentukan yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada.

Konsep demokrasi Indonesia lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas (suara terbanyak), berbeda dengan demokrasi teistis yang secara implisit tertera pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demokrasi teistis lebih menitikberatkan pada pendekatan nilai melalui musyawarah.
Ditengah carut marutnya demokrasi Indonesia, demokrasi teistis adalah upaya mencari keterkaitan antara demokrasi berketuhanan dan konsep demokrasi secara luas.

Demokrasi itu sistem, mekanisme, cara, wahana, dia bukan tujuan. Karena itu, dia memerlukan sesuatu diluar dirinya untuk mengarahkan/membimbing. Demokrasi membutuhkan sistem nilai yang tidak bisa ditarik begitu saja dari dirinya sendiri, tapi harus ditambahkan dari sumber lain, agar tujuan bernegara bisa dicapai.

Ada beberapa dimensi penting dalam demokrasi teistis, salah satu adalah dimensi Akhlak. Pasal 29 UUD 1945 pada hakekatnya mendukung keberadaan dimensi Akhlak (bukan sembarang akhlak tapi akhlak yang mulia).

Dengan Akhlak mulia akan menjadi the man behind the gun, adalah orang-orang yang menjalankan pembangunan. Manusia-manusia berakhlak mulia adalah manusia potensial yang diperlukan untuk melakukan perubahan, manusia-manusia yang berhasil menyerap sifat-sifat Tuhan didalam dirinya.
Olehnya, dengan carut marutnya demokrasi Indonesia, demokrasi teistis dengan pendekatan nilai-nilai ada baiknya mendapat tempat dalam diskursus demokrasi Indonesia sesuai tuntutan dan perkembangan zaman, agar tidak menjadi liberal sekaligus membatasi demokrasi anti Tuhan bersemayam dalam demokrasi Indonesia.#

)* Penulis, Wakil Ketua DPN Brinus

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال