Jakarta, IMC - Berkaitan dengan
pelaksanaan Pilkada 2017 di Aceh yang telah dilaksanakan pada tanggal 14
Februari 2017, menyisakan banyak permasalahan dilapangan, mulai tidak
lengkapnya nama pemilih dalam DPT, kisruh e-KTP, dan tidak akuntabilitas nya
penyelenggara Pilkada. Permasalahan tersebut telah menjadikan pilkada cacat
secara hukum dan demokrasi.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komite I DPD RI, Senator Fachrul
Razi, MIP berkaitan tingginya gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa
kandidat peserta pilkada dari Aceh.
Jauh-jauh
hari sebelum pelaksanaan Pilkada Aceh 2017, Komite I DPD RI telah mengingatkan
Pemerintah berdasarkan kunjungan DPD RI ke Aceh, berdasarkan laporan
Penyelenggara Pilkada dan KIP (Komite Independen Pemilihan) bahwa proses
Pilkada masih belum mengacu pada Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Komite I DPD RI telah menyampaikan bahwa pelaksanaan Pilkada Aceh
tanpa memperhatikan kekhususan Aceh akan mengakibatkan tingginya gugatan Di MK
dan akan muncul Kandidat yang dirugikan oleh proses tahanan Pilkada.
Aceh
yang melaksanakan pilkada dengan Qanun No. 12 Tahun 2016 Tentang Pilkada juga
tidak luput dari permasalahan sehingga berujung pada gugatan ke MK. Tinggi nya
gugatan di Aceh akibat ketidakkonsistensi aturan pilkada di Aceh karena mengesampingkan
UU Kekhususan Aceh sehingga berujung pada banyaknya calon yang dirugikan oleh
mekanisme pilkada tersebut.
Telah terjadinya kecurangan yang terstruktur dan sistematis serta
masif dalam pilkada tersebut, ada beberapa daerah yang jumlah pemilihnya 1.200
pemilih tapi didirikan dalam empat TPS, sedangkan dalam aturan sebenarnya cukup
didirikan dua TPS saja. Mulai dari KPPS, PPS, PPK hingga KIP di Aceh telah
menyelenggarakan pilkada yang cacat hukum karena bertentangan dengan Qanun
No.12 Tahun 2016.
KIP juga tidak menjalankan PKPU No.15 Tahun 2016, dimana pada
pasal 4 poin A jelas disebutkan bahwa pengumuman hasil penghitungan suara dari
seluruh TPS harus ditempelkan di tempat umum dimasing-masing gampong tempat
masing masing TPS.
Pelaksanaan
pilkada serentak yang yang tidak memperhatikan UUPA mengakibatkan banyaknya
kehilangan suara bagi salah satu calon, contoh pemilih harus memiliki e -KTP.
Selama ini proses perekaman e KTP masih menyisakan masalah, dimana masih adanya
proses perekaman yang belum selesai dan kosongnya blanko untuk KTP.
Selain itu untuk pilkada Aceh sempat mencuat masalah hilangnya
hologram untuk kertas suara seperti di Aceh utara. Pihak penyelenggara juga
tidak memberikan hak pilih kepada masyarakat yang memiliki KK serta membatasi
hak pilih masyarakat yang mempunyai KTP. Ironisnya KIP menganggap bahwa angka
2.5 persen surat suara cadangan yang disediakan dimasing masing TPS
merupakan bagian pressntasi masyarakat yang memiliki KTP.
Gugatan yang masuk ke MK hasil pilkada Aceh diharapkan dapat
diputuskan seadil adilnya sesuai dengan kekhususan Aceh dengan membatalkan
beberapa hasil pilkada Aceh, karena ada beberapam tahapan pilkada yang
bertentangan dengan UUPA, putusan MK akan Lebih bijak jika Pilkada di Aceh Di
Ulang dengan menggunakan dasar hukum pilkada dengan UU PA Sebagai Kekhususan Di
Aceh. Sengketa pilkada di Aceh sebenarnya harus diselesaikan dengan
merujuk kepada UU PA, dimana MK harus menerima gugatan karena jika sengketa
diselesaikan dengan UU PA sengketa pilkada tak menggunakan selisih suara, MK
harus menerima gugatan, serta pemenang pilkada Aceh masuk tahap dua,, ini
karena tak satu pun calon gubernur yang memperoleh persentase 50 plus 1.
Jika
sengketa pilkada Aceh menggunakan UU Pilkada, MK harus membatalkan pencalonan
Irwandi Yusuf karena tak memenuhi persyaratan soal 20 persen dukungan di DPR
Aceh. Irwandi hanya maju dengan 15 persen dukungan di DPR Aceh atau 13 kursi.
Sedangan untuk UU pilkada harus 20 persen atau minimal 17 kursi di DPR Aceh. MK
harus benar benar tegas dan adil dalam memberikan keputusan terhadap sengketa
tersebut. Beberapa masalah tersebut harus menjadi perhatian semua pihak
terutama MK, karena putusan yang akan diberikan oleh MK hari ini merupakan
keputusan politik yang mana akan membawa Aceh kepada arah yang lebih baik.
(red)
Sumber
: Fachrul Razi, MIP (Wakil Ketua Komite I Dewan
Perwakilan Daerah RI)