No title

Esensi Kemitraan Antara Insan Pers Dan Polri Yang Sesungguhnya
Oleh: Stevanus Eka Kristiawan, SH.
Masyarakat Kab. Magetan, Pengagum “Profesionalisme” POLRI dan Penikmat karya “Jurnalisti 

Rabu, 07 September 2016


Penulisan opini ini disusun sebagai refleksi pemikiran, setelah secara tidak sengaja membaca pemberitaan di media online pewarta-madiun.com yang berjudul “Oknum Polisi ancam bacok dan tembak wartawan”. (Buka: http://pewarta-madiun.blogspot.co.id/2016/08/oknum-polisi-ancam-bacok-dan-tembak.html)

Sebelum saya masuk ke subtansial isi berita, sekilas membaca judulnya saja, adrenaline ini langsung mengencang, alis mata juga langsung mengerut. Terlepas pemberitaan itu benar atau tidak, bayangan ini mulai ber”eksplorasi”,  seakan – akan memposisikan diri terlibat peran dalam dinamika konflik sosial itu. Pertama, membayangkan seandainya saja saya berperan sebagai “subyek” di judul itu, dalam hal ini sebagai “Oknum Polisi”. Walaupun predikatnya masih bersifat “ancam(an)”, belum sampai tindakan “bacok” ataupun “tembak”, secara subyektif saya menyimpulkan jika pada waktu itu saya seorang polisi yang sungguh “emosi tingkat tinggi”. Saya beranikan memperkuat anggapan bahwa sedang “emosi tingkat tinggi”, sebab apabila berpikir rasional dengan tingkat emosional yang stabil, sebagai seorang polisi seharusnya berusaha mengendalikan diri atas segala tindakan yang akan diperbuat. Pengendalian diri ini semata-mata karena saya memiliki undang-undang yang mengatur profesi saya. Sehingga akibat dari pelanggaran sikap yang dilakukan, akan berdampak pula terhadap kelangsungan profesi saya. Mungkin di sinilah esensi profesionalisme anggota polisi harus diuji ketika berhadapan dengan sisi manusiawinya, yaitu emosi. Emosi adalah manusiawi, namun hakikat memanusiawikan diri sendiri adalah memanusiakan orang lain dengan terlebih dahulu.

Sebagai seorang polisi tentunya harus memahami tugas dan wewenangnya sesuai UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU tersebut, pasal 13 menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum ; dan memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat. Tentu sangat ironis apabila sampai seorang oknum polisi benar – benar melakukan ancaman “bacok” dan “tembak” kepada masyarakat yang seharusnya dilindunginya. Apalagi kepolisian adalah aparat penegak hukum, dimana korps “ seragam coklat” tersebut adalah salah satu tempat masyarakat untuk mengadu tentang segala peristiwa hukum. 

Kedua, saya mencoba membayangkan dan memposisikan diri sebagai obyek dalam judul tersebut,  yaitu “Wartawan”. Namun alangkah baiknya saya mencoba menguraikan apa itu definisi dari wartawan yang sebenarnya. Karena negara kita adalah negara hukum, saya tertarik mencari definisi wartawan dari pendekatan kacamata yuridis. Menurut UU RI No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa “wartawan” adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.Jurnalistik sendiri mengandung arti kegiatan mencari, mendapatkan, menyimpan, mengolah, menyampaikan, mentransfomasikan informasi kepada khalayak / publik melalui media, baik media cetak maupun elektronik, yang berbentuk tulisan, gambar, suara, maupun bentuk suara dan gambar. Pun wartawan adalah sebuah profesi, sehingga profesi juga memiliki kode etik yang harus diperhatikan dan ditaati (code of conduct). Seyogianya sebagai individu yang secara de facto mengakui diri sebagai wartawan, minimal  memenuhi indikator dalam definisi pendekatan yuridis tersebut  dan secara profesionalisme menjalankan kode etik wartawan secara disiplin.

Kembali kepada bayangan saya apabila menjadi wartawan. Dalam hal ini wartawan yang mendapatkan ancaman “bacok(an)” dan “tembak(an)” melalui telepon (bukan bertatap muka) dari oknum Polisi. Pada kondisi ini , secara manusiawi  dalam sepersekian detik, nyali ini agak menciut. Tak hanya menciut saja, namun sepersekian detik pula, rasa keraguan juga muncul bahwa yang saya hadapi ini “The Real Police” atau preman yang menyaru sebagai polisi ? Kalaupun polisi harusnya melindungi masyarakat dan menegakkan hukum, namun kalau yang satu ini justru mengancam, menakut-nakuti masyarakat dan (jelas) melanggar hukum. Jadi asumsi sementara saat ini, yang mengancam saya adalah preman, bukan anggota oknum polisi. 

Namun bayangan serta dugaan – dugaan di atas saya paksa untuk berhenti,  pun segera kembali ke alam nyata dan berpikir secara obyektif. Kemudian saya mulai mencermati isi berita versi pemberitaan oleh media online pewarta madiun tersebut. Ternyata, secara subtansial pemberitaan tersebut menerangkan bahwa seorang oknum polisi bernama IPDA NYOTO, bertugas di Polsek Takeran, Polres Magetan telah melakukan pengancaman verbal kepada SM yang berprofesi sebagai wartawan. Usut punya usut dasar pengancaman tersebut bermula dari SM yang sedang melakukan investigasi dari laporan masyarakat tentang dugaan ketidaktransparan laporan keuangan dari hasil penjualan tebu pada Tahun 2015 di Kelurahan Mranggen, Kecamatan Maospati. Benang merah pengancaman berbuntut karena SM meminta keterangan tentang laporan keuangan kepada istri IPDA NYOTO, yang ternyata berprofesi sebagai perangkat di kelurahan tersebut. 

Kejadian di atas adalah salah satu dari kian banyak pemberitaan media massa tentang kekerasan oknum polisi terhadap kemerdekaan insan pers. Seharusnya keberadaan hubungan antara polisi dan insan pers di Indonesia dapat saling bermitra secara sinergis. Obyek sinergisitas tersebut terletak dalam ranah “informasi”. Wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, yaitu untuk memenuhi hak masyarakat dalam mendapatkan “informasi” yang aktual, membutuhkan polisi untuk menjamin keamanan dalam tugasnya. Sedangkan kepolisian dalam menjalankan tugasnya, yaitu menjaga ketertiban masyarakat, penegakan hukum, penindakan terhadap kasus korupsi, tak jarang pula membutuhkan “informasi” awal yang diperoleh oleh insan pers. Bahkan dalam kegiatan “press release” yang dilakukan oleh kepolisian, terkadang juga memanfaatkan peran media untuk menyampaikan “informasi” kepada publik, sehingga kinerja kepolisian juga dapat diukur melalui pemberitaan yang dilakukan oleh media. Inilah salah satu esensi yang menyebabkan terjadinya “simbiosis mutualisme” antara insan pers dan kepolisian.

Kita sebagai publik yang senantiasa membutuhkan manfaat peran dari polisi dan wartawan, tentunya berharap besar agar keduanya saling sinergis dalam membantu peran masing-masing. Publik sangat membutuhkan peran wartawan sebagai penyedia informasi/berita yang akurat dan aktual kepada publik. Peran Kepolisian pun juga dibutuhkan publik sebagai alat penegak hukum, sehingga peraturan akan memiliki kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum bagi publik. Menjadi sebuah harapan publik, esensi kemitraan antara insan pers dan kepolisian dapat berjalan harmonis dan saling melengkapi dalam menjalankan perannya bagi publik.


Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال