No title



Reformasi Indonesia Membuka Kran Demokrasi


 

KEBEBASAN BERPENDAPAT BERDASAR ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA


Saudaraku yang baik… Hukum perubahan sosial sejak dulu tidak berubah. Kau perlu dedikasikan hidupmu untuk kata yang hingga kini, seperti mantera: lawan…!!!Lawanlah dirimu sendiri yang mudah sekali percaya pada teori perubahan social yang hanya cocok untuk didiskusikan ketimbang dikerjakan. Lawanlah pikiranmu yang kini disibukkan oleh riset dan penelitian yang sepele. Kemiskinan tak usah lagi dicari penyebabnya tapi cari sistem apa yang harus bertanggung jawab. Ajak pikiranmu untuk membaca kembali apa yang dulu kukerjakan dan apa yang sekarang dikerjakan oleh gerakan sosial di berbagai belahan dunia. Gabungkan dirimu bukan dengan LSM, tapi bersama-sama orang miskin untuk bekerja membuat sistem produksi. Tak ada yang bermartabat dari seorang anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan. Hasta la victoria siempre.. (Maju terus menuju kemenangan Patria o muerte.. (Tanah air atau mati) Kupeluk kau dengan sepenuh semangat revolusionerku..
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Upaya membangun demokrasi yang berkeadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai, dan dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini adalah bagaimana prosedur kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum dan pengaturan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum dalam pemenuhan jaminan hak asasi manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yuridis normatif. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh kemudian di pilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya bahan hukum yang diperoleh tersebut akan diolah secara deduktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum belum dapat dikatakan telah melindungi kebebasan menyatakan pendapat yang dimiliki oleh seseorang dalam pemenuhan hak sosial dan politik. Sebagai hak asasi manusia yang juga termasuk dalam hak sipol, kebebasan menyatakan pendapat mutlak harus dilindungi dan tidak dapat dikurangi. Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa ketentuan dalam UU tersebut yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat, namun negara dalam hal ini telah melakukan intervensi atau bersifat aktif. Sedangkan dalam pemenuhan hak sipol seharusnya peran negara bersifat pasif, tak lain sebagai pengiring untuk mempermudah agar masyarakat dapat melakukan pemenuhan hak sosial politik dengan baik.
Dengan diterapkannya ketentuan kebebasan berpendapat yang di atur dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan pendapat di Muka Umum telah banyak menimbulkan polemik dalam masyarakat, terutama dalam hal perijinan serta sanksi yang dikenakan. Beberapa praktisi hukum beserta penulis menganggap UU ini telah mencederai prinsip-prinsip demokrasi, mengintervensi hak sosial politik masyarakat dan belum terpenuhinya jaminan hak asasi manusia. Suatu perundang-undangan haruslah dapat menjamin ditegakkan dan dilindunginya hak asasi manusia dari segala bentuk diskriminatif sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 I ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945.
Sejak tahun 1998 negara Indonesia mengalami sebuah perubahan yang sangat penting dalam kancah perpolitikan nasional. Dengan bergulirnya reformasi mampu membuka kran demokrasi di negara ini.
Kebebasan untuk mengemukakan pendapat yang merupakan inti dari wacana demokrasi diekspresikan dalam beragam bentuk, dintaranya kebebasan informasi.
Masyarakat Indonesia semakin kaya dengan wacana tentunya dengan dukungan informasi yang semakin mudah diperoleh. Wacana politik negeri ini bukan lagi milik segelintir orang, semakin banyak masyarakat yang ‘melek’ politik. Kesemuanya tidak lepas dari dukungan media massa, baik konvensional maupun new media.
Keterlibatan masyarakat dalam berpendapat di bidang politik tentunya membawa angin segar bagi demokrasi politik Indonesia. Seiring dengan semakin banyak masyarakat yang mengerti informasi dunia politik tanah air, diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah dan aktor-aktor politik semakin besar dan berkembang.
Media merupakan alat bantu untuk mentransmisikan informasi dan isi simbolik. Secara intrinsik merujuk pada banyak hal sehingga mau tidak mau bersentuhan dengan dunia politik.
Media massa menangkap fenomena politik dan fakta di masyarakat kemudian mengemasnya dalam bentuk berita, artikel, foto jurnalistik, maupun sindiran-sindiran dari tingkatan ringan hingga berat.
Politik berkaitan dengan kekuasaan, sehingga seringkali bahasan mengenai tema politik ini karena bersinggungan dengan penguasa, maka penyampaiannya lebih memiliki makna tersembunyi.
Media yang digunakan untuk mengekspresikan nasionalisme beragam dari media massa konvensional (televisi, radio dan surat kabar) hingga internet, namun satu yang pasti semuanya dalam bentuk satir, mengekspresikan kejujuran akan apa yang dirasakan sekaligus kemarahan terhadap situasi.
Satire merupakan gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran atau ejekan terhadap suatu keadaan atau seseorang.
Political satire adalah bagian dari satire yang khusus mengambil sisi hiburan dari sebuah fenomena politik. Digunakan pula dalam pidato politik untuk mengungkapkan pesan secara implicit, seperti pada saat ‘menyerang’ lawan politik dengan menggunakan kata-kata sindiran.
Pembuat pesan satir menurut Max Beerbohm (dalam Freedman, Leonard. 2009), ‘‘a fellow laying about him lustily, for the purpose of hurting, of injuring people who, in his opinion, ought to be hurt and injured.”. yang perlu digaris bawahi adalah pesan satir ini memang dimaksudkan untuk menyakiti orang yang dituju, hanya saja dengan simbol-simbol yang lebih abstrak, lebih membebaskan pembacanya untuk menginterpretasi.
Pesan satir ini selalu menggunakan ‘humor’ sebagai senjata menjatuhkan, sangat mengena bagi orang atau sesuatu yang dimaksudkan dalam pesan satir tersebut namun memberikan hiburan bagi orang lain yang membaca pesan (the third person).
Salah satu yang membedakan new media (internet) dengan media massa konvensional lainnya adalah karakteristik audiensnya yang lebih aktif, mereka mencari sendiri dan akan mendapatkan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan atau ketertarikannya.
Pesan satir membutuhkan upaya pemaknaan yang lebih, karena gaya sindiran dan pesan tersembunyi dibalik lelucon-nya.
Sehingga di new media pesan bergaya satir ini lebih berkembang, karena audiens-nya pun memiliki kemampuan, dan lebih aktif.
Disisi lain Dafis (1997) dalam Linda Lee Kaid , 2004 : 511) “the internet structure offer the public an opportunity to recapture the ‘spontaneity and multiplicity“.
Pembuat pesan lebih dibebaskan untuk berkreasi dengan tidak dibatasi oleh aturan yang ketat serta kebijakan-kebijakan perusahaan yang menganut kepentingan tertentu seperti halnya pada media massa konvensional
Perwujudan nyata (aktualisasi)  fungsi dan peran ormas (organisasi masyarakat) sangat dibutuhkan di dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Ormas yang mampu berkontribusi untuk masyarakat artinya ormas tersebut telah menjalankan amanah undang – undang yang mengaturnya. Hal ini diuraikan Ketua DPRD Kab. Magetan, Joko Suyono, di untaian sambutan dalam acara Bhakti Sosial PPWI bertempat di Balai Desa Pelem, Kec. Karangrejo, Magetan, Senin, 25/4/2016.
Hal-hal yang mengatur ormas, secara yuridis dan administratif tertuang  dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pasal 6 UU tersebut menyatakan bahwa fungsi Ormas diantaranya penyalur aspirasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pemenuhan pelayanan sosial. Substansi dari pasal tersebut mengamanahkan agar segenap ormas yang ada di Magetan senantiasa berperan aktif untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. “Organisasi massa harus tertata dan terencana untuk benar-benar bisa berbuat dan  bermanfaat  bagi warga (di) Magetan” tegas JKS, panggilan akrab Joko Suyono.
Keberadaan ormas  juga tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seiring dengan derasnya situasi modernisasi jaman, berbanding lurus pula keanekaragaman keinginan masyarakat Kab. Magetan untuk mendapatkan program dan kebijakan yang tepat dari penyelenggara pemerintahan, di sinilah tuntutan peran dinamis ormas dibutuhkan. Ormas yang ada di Magetan juga harus bisa menjadi penyambung lidah masyarakat. Dengan demikian ormas turut membantu percepatan pembangunan masyarakat secara utuh. “ Sudah seharusnya ormas juga membantu penyelenggara pemerintah dengan menyalurkan aspirasi dan memberikan solusi atas permasalahan masyarakat, sehingga keberadaan ormas tersebut di hadapan masyarakat terkesan ada dan nyatapungkas Joko Suyono.(sat/lak)


Edit : pewarta sat

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال