Lamafa Sebuah Novel Simbol Perlawanan Mempertahankan Tradisi Leva



Lembata, IMC- Puisi ‘Kembalikan Lamalera-ku!' karya anak Lamalera di Nagoya, Jepang, Yoseph Bruno Ulanaga Dasion, SVD, mengawali Testimoni dan lonching serta bedah Novel Lamafa, yang menghentak sekaligus mengharu biru seluruh peserta bedah dan launching buku “Lamafa Sebuah Novel”, karya Fince Bataona. Puisi yang menggambarkan kegundahan seorang Bruno Dasion akan kampungnya ini, dibawahkan dengan sangat emosional oleh kolaborasi sastrawan asal Sabu Dr Lanny Koroh dan putra Lamalera, Alfian Lamaberaf. Semua hanyut dan tanpa sadar harus meneteskan air mata terhadap derita yang dialami Nelayan Lamalera.

Situasi di Kampung Lamalera sungguh dihadirkan penulis di panggung launching dan bedah “Lamafa sebuah Novel”, Aula Kopdit Ankara 22/8/2017.

Ada blapa (tempat orang Lamalera meletakan ikan hasil tangkapan), dan ada pelita dari minyak ikan paus, juga atribut dan asesoris khas Lamalera, dengan fokus utama pada peran sakral seorang Lamafa dan Pnete Alep; kaum ibu yang menjual hasil tangkapan ke gunung dengan cara barter.

Karena Lamafa tema pokok, maka penulis menghdirkan dua Lamafa, Alo Geneser Tapoona dan Goris Dengekae Krova, untuk memberikan testimoni nyata tentang filosofi seesungguhnya seorang Lamafa dalam seluruh prosesi kehidupan di Lamalera, baik di laut maupun di darat. Pun, dua Pnete Alep, janda Maria Ero Keraf (64), dan Agnes Beto (65).

Menariknya, hampir semua aspek dibedah, mulai dari mata pencaharian, sakralitas budaya, sosiologis (bfene; relasi dengan orang lain), antropologis, sampai pada religiositas seorang Lamafa, yang menjadi pusat perhatian. Karena ia melakukan tugas yang sakral. Artinya, ketika seorang Lamafa menggenggam tempuling, maka ia memikul harapan, tidak hanya untuk keluarganya tapi kehidupan seluruh kampung.

“Ikan itu punya badan di laut, tapi jiwanya di darat. Jiwa ikan akan jinak pada Lamafa yang hidup baik sesuai budaya tradisi dan iman. Moral menjadi tanggung jawab Lamafa untuk menjinakan ikan sejak dari darat. Sebab, ikan adalah titipan leluhur yang diambil oleh orang yang pantas, sebab Lamafa adalah kehidupan,” begitu testimoni Alo Gneser.

Aloysius mengaku, sejak berabad-abad yang lalu, seluruh kehidupan warga Lamalera sangat bergantung pada hasil perburuan ikan paus, termasuk untuk menyekolahkan anak. “Saya ini Lamafa. Bagi kami, laut itu ibu kami. Ibu yang memberi makan kepada anaknya. Alam semesta juga tahu kalau kami hidup dari laut,” tutur Aloysius.

Menurut dia, hasil perburuan ikan paus selalu diutamakan bagi kaum janda dan fakir miskin yang ada di Lamalera. “Sejak turun temurun kami hidup dari laut. Karena itu jangan ganggu kami,” pintanya.

Kegalauan ini berawal dari upaya pemerintah memberlakukan Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus).

Testimoni senada diungkapkan Goris Dengekae Krova. Bagi dia, Lamafa adalah jalan yang menghubungkan suara dan harapan kideknuke dengan ikan di laut. Dan, harapan itu bisa menjadi nyata dan punya hasil kalau Lamafa itu siap mental dan iman.

Menurut Goris, konservasi laut sebenarnya telah dijalankan oleh para nelayan Lamalera sejak zaman nenek moyang. Artinya, batas konservasi sudah dilakukan sejak dahulu kala. “Batas kami adalah Gereja, jika melaut dan kami tidak bisa lagi melihat gereja, maka kami harus pulang. Sejak zaman nenek moyang kami, kami juga di larang menikam ikan paus biru, karena menurut kepercayaan kami, itu adalah nenek moyang kami. Kami juga tidak boleh membunuh ikan paus yang lagi bunting atau anak ikan paus,” tegas Goris.

Goris percaya, ikan paus tidak akan punah. “Siapa yang bilang ikan akan habis. Kecuali dunia kiamat. Peneliti jangan hanya meneliti di laut saja, ayo ke darat juga. Biar tahu sepenuhnya tentang kehidupan orang Lamalera,” ujarnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال