Membangun Bangsa Dengan Etika, Moral dan Pendidikan Agama
(Tanggapan Atas Pernyataan kemedikbud, Untuk Meniadakan Pendidikan Agama Di Kelas)
(Tanggapan Atas Pernyataan kemedikbud, Untuk Meniadakan Pendidikan Agama Di Kelas)
IMC - Eksistensi
sebuah bangsa dapat diukur dari sejauh mana bangsa itu mampu memberikan
kontribusi yang nyata bagi kemajuan peradaban dunia. Peradaban yang maju adalah
produk dari bangsa yang maju, yang didalamnya terdapat masyarakat yang memiliki
pola pikir dan perilaku yang maju pula.
Setiap bangsa
pasti memiliki adat istiadat, kebudayaan, bahasa, serta sistem kepercayaan yang
berbeda-beda antar satu dan lainnya. Meskipun berbeda, nilai-nilai dasar yang
dijadikan pedoman bagi setiap bangsa pada umumnya adalah nilai-nilai yang
hampir sama. Yaitu: sebuah nilai luhur yang berimplikasi positif bagi kemajuan
umat manusia. Tak ada satupun bangsa di dunia ini yang berpedoman pada sebuah
nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian (nilai Universal).
Sebuah bangsa
bisa disebut sebagai bangsa yang maju dan kuat apabila nilai-nilai dasar yang
menjadi pedomannya benar-benar termanifestasi dalam perilaku sehari-hari.
Sehingga dalam kehidupan berbangsa tidak ada lagi perilaku penyimpangan,
penyelewengan, penjajahan, diskriminasi dan perilaku-perilaku negatif lainnya.
Namun, dewasa
ini bangsa Indonesia seolah sedang berada pada posisi yang sangat rapuh.
Berbagai permasalahan kian menjamur mengotori bangsa ini. Hampir disetiap lini
dan sektor kehidupan tidak luput dari permasalahan. Yang kesemuanya itu sudah
berada pada kondisi yang sangat kronis.
Krisis
Moral, Etika dan Nilai Keagamaan
Berbagai
persoalan dan kerusakan yang ada saat ini sesungguhnya disebabkan oleh kondisi
moral dan etika masyarakat yang sudah mengalami kemerosotan. Kerapuhan moral
dan etika bangsa ini makin terlihat jelas tatkala persoalan demi persoalan
bangsa semakin hari bukan semakin hilang, tapi justru semakin meningkat tajam.
Mulai dari kasus kekerasan antar kelompok, ketidakadilan sosial dan hukum,
hingga budaya korup penguasa yang makin menggurita.
Kerapuhan ini
telah menjalar kesemua lapisan masyarakat. Pelajar yang seharusnya
dipersiapkan guna menjadi insan dan calon pemimpin masa depan ternyata lebih
suka tawuran daripada belajar di bangku sekolah. Mahasiswa yang semestinya
bertindak sebagai penjaga nilai-nilai moral dan etika bangsa, ternyata terjebak
dalam budaya hedonis dan westernism yang tak jarang terjerumus dalam
pergaulan bebas. Guru-guru dan pengajar yang seharusnya menjadi suri tauladan
bagi anak didiknya, ternyata sibuk mengejar sertifikasi yang akhirnya berujung
pada gaya hidup yang materialistis.
Para
penyelenggara negara pun tak kalah lebih parah. Korupsi makin hari makin
menggurita, penegakan hukum makin tak terarah. Kasus demi kasus bertumpuk
seperti sampah yang sangat menjijikkan. Masyarakat setiap hari harus dihadapkan
pada tontonan ketidakjujuran para penyelenggara negara.
Jika harus
mengurai masalah kemerosotan bangsa ini satu demi satu, sungguh terlalu rumit
dan panjang. Bahkan lebih rumit daripada harus mengurai benang kusut.
Moral,
Etika dan Agama
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyatakan akan meniadakan pelajaran
agama di kelas dan menggantinya dengan pendidikan agama di luar kelas, termasuk
di tempat-tempat ibadah.
"Sekolah
lima hari tidak sepenuhnya berada di sekolah. Siswa hanya beberapa jam di dalam
kelas dan sisanya di luar kelas," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta.
Sekolah,
menurut dia, bisa memberikan pendidikan agama dengan mengajak siswa ke rumah
ibadah atau mendatangkan guru madrasah ke sekolah. Kalau murid sudah mendapat
pendidikan agama di luar kelas, menurut dia, maka pelajaran agama di dalam
kelas tidak diperlukan lagi.
Kemendikbud
akan mengatur teknis pelaksanaan pendidikan agama di luar kelas atau sekolah
dan menyelaraskannya dengan kurikulum, (Antara News, Selasa, 13/7/2017)
Bagaimanapun
kondisi kerapuhan bangsa ini harus segera dicarikan solusi dan dihentikan. Oleh
karenanya, diperlukan upaya serius untuk mengembalikan etika dan moral bangsa
agar bisa kembali pada nilai-nilai yang luhur. Dan untuk itu, diperlukan sebuah
patokan nilai yang bisa diterima oleh seluruh elemen bangsa yang majemuk ini.
Sebuah nilai yang tidak bias dan ambigu, melainkan nilai yang mampu
mengakomodir seluruh ide-ide masyarakat.
Mengembalikan
moral dan etika ditengah-tengah kondisi bangsa mejemuk yang sudah rapuh memang
bukan perkara mudah. Butuh perjuangan keras untuk mewujudkannya.
Dewasa ini,
agama disebut-sebut sebagai alat yang ampuh untuk mengembalikan moral dan etika
masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini Agama
(Pendidikan Agama) tentunya harus menjadi garda depan pelurus moral dan etika
yang menyimpang.
Akan tetapi,
jika melihat kondisi bangsa indonesia yang majemuk dan multi etnis, menjadikan
agama sebagai satu-satunya alat kendali bukanlah solusi final. Sebab, antara
ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang lain secara praktis memiliki
banyak perbedaan. Untuk itu, diperlukan upaya lanjutan untuk menginterpresikan
nilai-nilai agama dalam sebuah kodifikasi nilai-nilai dasar yang bersumber dari
ajaran-ajaran agama-agama. Yang nantinya nilai-nilai itu dapat diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat dengan tanpa paksaan.
Dalam konteks
ke-Indonesiaan, sebenarnya kodifikasi nilai-nilai itu sudah ada, yakni
“Pancasila”. Pancasila adalah sebuah ideologi khas ke-Indonesiaan yang
nilai-nilai didalamnya adalah intisari ajaran semua kepercayaan. Selain itu,
spirit-spirit yang terkandung didalamnya adalah spirit kemanusian yang luhur.
Untuk itulah, pengamalan etika dan moral pancasila dalam konteks ini menjadi
penting.
Pancasila
merupakan sebuah rumusan yang diambil dari nilai-nilai kebaikan serta
kemanusiaan universal. Pancasila tidak memihak pada salah satu agama atau suku
tertentu. Didalamnya terdapat nilai-nilai yang mampu diterima oleh semua
lapisan masyarakat.
Moral dan
etika adalah hal yang sangat krusial. Keberadaannya menjadi penentu baik atau
buruk sebuah bangsa. Jika moral dan etika masyarakatnya rusak, maka rusak pula
kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Begitu juga sebaliknya.Peran moral dan
etika dalam pembangunan bangsa bagaikan peran hati bagi diri manusia. Jika hati
rusak maka rusak seluruhnya.
Untuk itu,
agar bangsa ini terlepas dari belenggu-belenggu ketidakadilan, korupsi, dan
perilaku tidak terpuji lainnya. Maka pembanguan moral dan etika pancasila harus
selalu dioptimalkan. Karena tidak mungkin mampu mewujudkan bangsa yang beradab
jika moral dan etika masyarakatnya rusak. (red)
Tags
Kolom