Opini oleh Hersubeno Point
Situasi fiskal Indonesia kian rapuh. Pemerintah sudah tidak mampu menutup
kebutuhan belanja negara, terutama untuk transfer ke daerah. Desa menjadi pihak
pertama yang terkena imbas: anggaran dipangkas, dan pemerintah desa didorong
mencari sumber pendapatan sendiri. Salah satu jalan pintas yang ditempuh adalah
menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara drastis.
Kenaikan itu memicu kemarahan warga desa, karena besarnya melonjak di luar
kewajaran: ada yang naik 250%, 400%, bahkan sampai 1000%. Banyak yang menilai
ini seperti skenario yang sengaja dibuat untuk membangkitkan amarah publik.
Kondisi ini dipandang sebagai kombinasi antara krisis fiskal, ketidakpuasan rakyat,
serta situasi politik yang sedang tidak stabil—dan diduga ada pihak-pihak yang
menungganginya untuk memicu krisis lebih besar.
Dalam forum dialog Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, sejumlah ekonom dan
aktivis menyoroti masalah ini dari berbagai aspek. Dari sisi fiskal, penerimaan
pajak hanya sekitar 8,5% dari PDB, jauh turun dibanding 19,8% pada 2008.
Sementara beban bunga utang melonjak drastis hingga menyedot 25% dari
penerimaan pajak. Akibatnya, ruang fiskal yang bisa digunakan pemerintah untuk belanja
publik kini hanya tersisa sekitar 6,35% PDB—angka yang sangat kecil.
Dampaknya nyata: desa-desa kehilangan alokasi dana, rakyat dipaksa
menanggung beban lewat pajak, dan gejolak sosial mulai bermunculan. Protes
masyarakat desa berujung pada aksi demonstrasi, bahkan menuntut bupati mundur.
Jika dibiarkan, ketidakpuasan lokal ini bisa melebar ke level nasional.
Ekonom lain menambahkan bahwa kesenjangan sosial adalah faktor pemicu lain.
Daerah dengan tingkat ketimpangan tinggi—seperti Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur—lebih mudah tersulut kerusuhan. Sementara indeks gini nasional yang sudah
mencapai 0,38 menunjukkan jurang kaya-miskin makin lebar.
Masalah lain adalah struktur kredit perbankan yang timpang: dari total
Rp7.000 triliun kredit, 83% mengalir ke korporasi besar, sementara UMKM yang
jumlahnya jutaan hanya kebagian 17%. Ditambah fenomena crowding out effect, di mana dana bank lebih banyak dipakai
membeli surat utang negara ketimbang membiayai sektor produktif. Alhasil,
pertumbuhan kredit hanya 7%, namun anehnya ekonomi diklaim tetap tumbuh
5%—sebuah anomali yang menimbulkan tanda tanya besar.
Di lapangan, rakyat kecil semakin tertekan. Banyak buruh, pekerja informal,
dan terutama pengemudi ojek online hidup dalam jerat pinjol dengan bunga mencekik.
Pendapatan mereka yang dulu bisa Rp10 juta sebulan sebelum 2018, kini hanya
sekitar Rp5 juta dengan jam kerja panjang. Situasi ini mempertegas bahwa
pertumbuhan ekonomi yang sering dibanggakan pemerintah hanyalah angka di atas
kertas, sementara di bawah rakyat makin sulit bertahan hidup. Lebih lengkap
bisa klik https://youtu.be/h9Fo8FW6S-M?si=pHwmpBMBYAVZzdRB