Oleh: Rachman
Salihul Hadi
Akademisi dan
Praktisi Komunikasi
Di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, rakyat Kabupaten
Pati dihadapkan pada kebijakan yang mengejutkan: kenaikan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) hingga 250%. Tak hanya berat di angka, kebijakan ini diperparah
oleh pernyataan arogan sang Bupati:
"Jangankan 5.000 orang pendemo, 50.000
pun saya tidak gentar."
Sebuah ucapan yang bukan hanya mencerminkan kekosongan empati, tetapi
juga memperlihatkan wajah kekuasaan yang telah kehilangan arah: arogansi tanpa
hati nurani.
Ketika Kekuasaan Tak Lagi
Mendengar
Dalam sistem demokrasi, pemimpin seharusnya menjadi penyambung lidah
rakyat, bukan memutus dialog dengan kesombongan. PBB, sebagai instrumen fiskal,
memang sah dinaikkan, jika memang ada kejelasan tujuan, transparansi anggaran,
dan keterlibatan publik. Namun, ketika kenaikan ini tidak disertai penjelasan
yang masuk akal, dan justru dibalas dengan tantangan terhadap rakyat yang
menolak, maka jelas ada yang salah dengan cara berpikir sang penguasa.
Rakyat bukan musuh. Demonstrasi bukan ancaman. Itu adalah suara yang
perlu didengar. Dan ketika seorang Bupati mengatakan “tak gentar” terhadap
puluhan ribu warganya sendiri, itu bukan keberanian, itu kesombongan kekuasaan.
Pemimpin
Tanpa Nurani adalah Ancaman Demokrasi
Pemimpin yang bersandar pada jabatan tetapi
menindas suara rakyat adalah simbol kegagalan moral dalam politik. Kenaikan
pajak 250% bukan hanya beban ekonomi, tapi cerminan pengabaian terhadap
penderitaan warga. Bayangkan seorang petani tua yang hanya hidup dari hasil
panen musiman, kini harus membayar pajak tanahnya tiga kali lipat. Di mana
letak keadilan sosial yang selama ini didengungkan?
Sikap seperti ini menunjukkan bahwa kekuasaan telah membuat sebagian
politisi kehilangan nurani. Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan
panggung kesombongan.
Bangkitkan Kesadaran Politik: Rakyat Bukan Objek Kebijakan
Kita sebagai rakyat tidak boleh diam. Ini bukan hanya soal pajak, ini
soal bagaimana kekuasaan memperlakukan rakyatnya. Kita perlu bangkit,
menyuarakan kepedulian, dan menuntut akuntabilitas. Demokrasi tidak bisa hidup
jika rakyatnya bungkam dan penguasanya merasa tak tersentuh.
Kita butuh pemimpin yang bersedia mendengar, bukan yang menantang. Kita
butuh pemimpin yang hadir bersama rakyat, bukan memusuhi rakyat. Dan kita butuh
sistem yang mampu mengingatkan setiap pejabat publik bahwa tanpa rakyat, mereka
bukan siapa-siapa.
Jangan Lupakan Pesan Reformasi
Reformasi 1998 bukan hanya menggulingkan rezim, tapi membangun harapan
akan pemimpin yang lebih manusiawi dan bermoral. Ketika hari ini ada pemimpin
yang kembali memperlihatkan wajah kekuasaan yang congkak, maka kita sedang
mundur ke belakang.
Bupati Pati, dan siapa pun yang menjabat di negeri ini, harus ingat:
Menjadi pemimpin bukan soal tak gentar menghadapi rakyat, tapi soal
berani mengakui kesalahan dan kembali pada nurani.