Gonjang-Ganjing
Ijazah Palsu Presiden ke-7 Indonesia
Oleh: Rachman Salihul Hadi
Pengajar, Penulis Buku dan Praktisi Komunikasi dan Humas
Sejak beberapa waktu terakhir, ruang publik kita kembali diguncang isu lama yang belum sepenuhnya reda: dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo. Isu ini bukan hanya menyeret ranah pribadi atau administratif, tetapi sudah meluas menjadi soal kepercayaan publik, integritas institusi pendidikan, dan kualitas demokrasi kita.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi meritokrasi dan etika
dalam kepemimpinan, tudingan ini tentu tidak bisa dianggap sepele. Meski
Presiden Joko Widodo telah menjabat dua periode dan mendapatkan legitimasi
konstitusional melalui pemilu yang sah, pertanyaan publik soal keabsahan ijazahnya
tak bisa diabaikan begitu saja, apalagi jika diangkat oleh akademisi dan
aktivis hukum.
Namun, alih-alih menyelesaikan isu ini dengan pendekatan
terbuka dan transparan, pemerintah terkesan defensif. Upaya klarifikasi yang
dilakukan pun terkesan normatif, tidak menjawab pertanyaan pokok secara
meyakinkan. Publik tidak cukup diyakinkan hanya dengan pernyataan resmi atau
dokumen yang muncul di media, tanpa ada mekanisme audit independen yang
benar-benar objektif.
Di sinilah pentingnya kehadiran lembaga negara seperti
Mahkamah Konstitusi, Ombudsman, atau bahkan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung
dan perguruan tinggi yang kredibel untuk memastikan kebenaran secara jernih,
tidak tendensius. Jika memang tudingan itu tidak berdasar, maka harus
dibuktikan dengan cara yang berwibawa. Sebaliknya, jika ada kejanggalan, maka
kita sebagai bangsa harus berani memperbaiki dengan kepala tegak.
Tentu, kita tidak boleh melupakan aspek komunikasi publik.
Pemerintah sebagai institusi demokratis harus memahami bahwa kepercayaan tidak
bisa dibangun lewat pembungkaman kritik atau pembelahan opini. Dalam era
disrupsi informasi saat ini, narasi yang tidak dijelaskan dengan transparan
akan terus bergulir liar dan bisa menjadi ancaman serius bagi legitimasi
negara.
Publik hanya butuh satu hal: kejujuran. Bukan sekadar
pembelaan.
Isu ini adalah ujian, bukan hanya bagi seorang kepala negara,
tetapi juga bagi kedewasaan demokrasi kita. Kita membutuhkan pemimpin dan
institusi yang bersedia membuka diri terhadap kritik, dan siap diuji secara
etis dan moral, bukan hanya administratif.
Jika dugaan itu keliru, maka ini adalah peluang untuk
menegaskan kembali kredibilitas pemimpin kita. Namun jika ada celah kebenaran,
maka inilah saatnya kita memperbaiki fondasi demokrasi tanpa rasa takut.
Sebab sejarah tidak menilai siapa yang paling lama berkuasa,
tapi siapa yang paling jujur kepada rakyatnya.