Dr. Eko Budisusanto: Mas Wedana dari Kraton, Penjaga Hukum Negeri

 

Dr. Eko Budisusanto: Mas Wedana dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat


Jakarta, IMC — Di balik toga jaksa yang selalu rapi dikenakannya, tersimpan jati diri seorang abdi budaya yang tak pernah lepas dari akar leluhurnya. Dr. Eko Budisusanto, SH, MH, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, kini memikul amanah baru dari tanah kelahirannya: sebagai Mas Wedana Nitisandiraharjo, jabatan kehormatan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam upacara sakral yang digelar di lingkungan Kraton, Dr. Eko resmi diangkat menjadi Wedana Reh Keprajan, sebuah gelar adat yang diberikan kepada individu dengan dedikasi tinggi terhadap pengabdian dan nilai-nilai luhur masyarakat. Gelar ini bukan sekadar simbol, melainkan bentuk pengakuan terhadap keteladanan dan kontribusi nyata bagi bangsa.

Saya ini orang desa yang hanya ingin terus memberi manfaat. Kalau budaya itu akar, maka hukum adalah batangnya. Kita harus menjaga keduanya agar tetap tegak,” ujarnya kepada media ini, usai prosesi penobatan.

Dari Sawah ke Ruang Sidang

Dr. Eko tumbuh dari keluarga petani padi di Yogyakarta, dibesarkan dalam kesederhanaan yang sarat nilai kerja keras dan kejujuran. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, ia membantu ayahnya mencangkul ladang dan menyiangi gulma. Dari sanalah ia belajar makna tanggung jawab.

Bapak saya selalu bilang, tangan kotor karena lumpur adalah tanda orang jujur. Kalau mau hidup terhormat, ya harus kerja keras,” kenangnya.

Lulusan strata satu dan dua ilmu hukum ini akhirnya meraih gelar doktor, dan memulai kariernya sebagai jaksa dengan berbagai penugasan: dari Malang, Cirebon, Surabaya, hingga kini di Jakarta Selatan. Ia dikenal tegas namun humanis, dengan prinsip bahwa penegakan hukum harus berpihak pada keadilan yang hidup dalam nurani rakyat.

Menyatukan Rasa dalam Hukum

Sebagai Mas Wedana, Dr. Eko kini memiliki peran tambahan: menjembatani dunia modern dengan nilai-nilai budaya adiluhung. Ia meyakini, hukum yang baik bukan hanya tegas, tetapi juga berempati.

Hukum itu ibarat pisau, tajamnya harus adil. Tapi pisau juga harus digenggam dengan rasa. Rasa itu kita pelajari dari budaya, dari nilai hidup orang-orang tua kita,” tuturnya.

Dalam setiap langkahnya, ia berusaha menjadikan hukum bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan cermin keadaban.

Simbol Keteladanan

Penobatan sebagai Wedana bukan sekadar penghargaan adat, tetapi refleksi dari pribadi yang teguh memegang prinsip di tengah arus zaman. Sosok Dr. Eko menjadi pengingat bahwa kemajuan tak berarti meninggalkan akar, dan jabatan sejatinya adalah jalan pengabdian.

Dari ruang sidang hingga pelataran Kraton, dari toga hingga surjan lurik, Dr. Eko membuktikan bahwa seseorang bisa menjunjung tinggi dua dunia: hukum dan budaya—dan menjadikannya satu dalam pengabdian. (Muzer)

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال