Rachman Salihul Hadi |
Oleh: Rachman Salihul Hadi Direktur Utama IMC
Politik yang sehat di Indonesia adalah impian kita semua. Hakikat politik yang sehat adalah upaya mewujudkan masyarakat sejahtera. Dengan kata lain, seluruh energi dalam politik harus dikerahkan untuk kepentingan rakyat. Politik di negeri ini perlu dikembalikan pada hakikatnya, yakni sebagai jalan menuju kebaikan bersama.
Sebenarnya mimpi ini tidak terlalu muluk-muluk, seperti khayalan tentang negara utopis. Pasalnya, Indonesia sendiri punya sejarah menerapkan politik sehat, khususnya pada pemilu 1955. Banyak pakar sejarah politik Indonesia yang mengatakan bahwa pemilu 1955 merupakan pemilu yang dipuji dan dikenang sebagai kontestasi politik paling demokratis oleh semua kalangan. Hal ini terjadi karena pemilu tahun 1955 diselenggarakan secara bebas, jujur, adil dan terbuka.
Terhambatnya sistem politik yang sehat disebabkan oleh ketidaksadaran banyak kelompok yang terlibat. Ketidaksadaran politik melemahkan banyak pihak, mulai dari politisi, oligarki, penyelenggara pemilu, hingga masyarakat sendiri. Kadang-kadang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh yang mempunyai kekuasaan, sehingga menimbulkan keengganan yang tidak semestinya dan ketakutan yang tidak perlu di pihak panitia pengawas pemilu.
Untuk mencapai politik yang sehat di Indonesia, penyelenggaraan pemilu harus segera diperbaiki. Sejumlah kendala dalam pelaksanaan seperti politik uang, intimidasi dan kolusi antara penyelenggara pemilu dan peserta pemilu harus dihindari.
Sudah saatnya sistem politik di negara kita yang bersifat demokrasi berjalan secara demokratis. Sebagaimana kita ketahui bersama, demokrasi mempunyai arti: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi, masyarakat harus mengambil bagian dan menjalankan peran penting ini dengan sungguh-sungguh.
Lahirnya politik yang sehat tidak hanya ditentukan oleh politisi yang bersih, namun yang terpenting adalah masyarakat sebagai pemilih juga harus bersih. Menurut para filsuf Yunani Kuno; Plato, sistem demokrasi ditentukan oleh rakyat. Jika masyarakatnya berkualitas, maka lahirlah politik yang berkualitas pula. Dan dengan lahirnya politik yang berkualitas maka secara otomatis akan lahir pemimpin yang berkualitas dan sistematis.
Jadi, jika kita memilih pemimpin berdasarkan uang yang kita peroleh, maka akan lahir pula pemimpin-pemimpin yang berorientasi pada uang. Sebab, dalam sistem politik suatu negara, rakyat seharusnya menjadi subjek, bukan objek.
Kesadaran Politik
Ketika masyarakat mempunyai kesadaran politik, maka akan lebih mudah untuk menghasilkan politisi yang mempunyai integritas. Untuk meningkatkan kesadaran politik pada politisi di Indonesia, sebenarnya tidaklah sulit, meski tidak bisa dikatakan mudah. Dengan terlahir di negara yang saleh, para politisi hanya perlu menyadari bahwa segala tindakannya dalam berpolitik kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.
Para kontestan politik harus menanamkan prinsip-prinsip politik yang baik, sehat, dan melakukan segalanya demi kepentingan rakyat. Mereka tidak boleh menggunakan cara apapun untuk memperoleh kedudukan dan kekuasaan berdasarkan kepentingannya sendiri.
Dan mereka perlu menyadari bahwa bermain politik secara tidak jujur dan tidak adil merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi negara. Politisi harus bertarung dengan ide, kinerja, prestasi dan pengalaman, bukan dengan ancaman seperti intervensi media dalam menyajikan berita dan represi terhadap pendukung lawan.
Kami sangat merindukan politik yang sehat. Dan untuk mengobati kerinduan tersebut, semua kalangan harus bahu-membahu menumbuhkan jiwa kenegarawanan dalam diri mereka.
Kita semua harus menyadari tanggung jawab kita untuk menciptakan politik yang sehat. Harus ada upaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan pesta demokrasi yang jujur dan adil serta mencegah terjadinya kecurangan berupa suap, penindasan, dan membiarkan ketidakadilan dalam suatu kontestasi politik.
Partai demokrasi adalah pesta rakyat, bukan pejabat. Partai ini harus benar-benar kita kawal agar berjalan lancar sesuai amanat undang-undang dan berusaha mencegah segala hambatan seperti kecurangan yang dapat merusak dan menghilangkan eksistensi pesta demokrasi itu sendiri. (Rachman Salihul Hadi/Red/IMC).