Delapan Jaksa PPA dan Badiklat Mengikuti Comparative Study dengan United States Marshals Service Terkait Perampasan Aset dan Manajemen Pengelolaan Aset.
Jakarta,IMC- Kejaksaan Agung mengirim delapan perwakilan Jaksa dari Pusat Pemulihan Aset dan satu perwakilan dari Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan RI, untuk mengikuti Comparative Study Visit on Asset Forfeiture and Management dengan United States Marshals Service (USMS) yang berlangsung sejak tanggal 7 sampai dengan 11 Agustus 2023 di Kantor Pusat USMS Arlington, Virginia, Amerika Serikat.
Kepala
Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam
keterangannya, Jumat (18/8/2023) di Jakarta menyampaikan delapan Jaksa pilihan
dan satu pejabat dari Badiklat, berpartisipasi dalam kegiatan Comparative
Study Visit on Asset Forfeiture and Management dengan United States
Marshals Service (USMS) yang diselenggarakan oleh USMS dengan difasilitasi oleh
OPDAT (Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training) Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta, Indonesia, pada Senin 7 Agustus s/d 11 Agustus
2023 di Kantor Pusat USMS Arlington, Virginia, Amerika Serikat.
Adapun
USMS adalah lembaga penegak hukum federal di Amerika Serikat (AS), juga sebuah
biro di dalam Departemen Kehakiman AS, yang beroperasi di bawah arahan Jaksa Agung
AS. Selain itu, USMS berfungsi sebagai badan penegak hukum pengadilan Federal
AS untuk memastikan jalannya peradilan yang efektif dan integritas Konstitusi.
Ketut
lanjutnya, USMS merupakan Badan/Lembaga penegak hukum federal tertua di AS,
yang dibentuk oleh Undang-Undang Kehakiman tahun 1789 selama masa kepresidenan
George Washington sebagai "Kantor Marsekal Amerika Serikat". USMS
seperti yang ada saat ini didirikan pada tahun 1969 untuk memberikan panduan
dan bantuan kepada para Marsekal AS di seluruh Distrik Peradilan Federal.
Sedangkan,
kata Ketut Marshals Service bertanggung jawab atas Perlindungan Hakim dan Personel
Peradilan lainnya, Administrasi Operasi Pencarian Buronan, Pengelolaan Aset Kriminal,
pengoperasian Program Perlindungan Saksi Federal Amerika Serikat dan Sistem
Transportasi Tahanan dan Orang Asing, Pelaksanaan Surat Perintah Penangkapan Federal
dan Perlindungan Pejabat Pemerintah Senior melalui Kantor Operasi Perlindungan.
“
Selain itu, Marshals Service juga melaksanakan semua surat, proses dan perintah
yang sah yang dikeluarkan di bawah otoritas peradilan Amerika Serikat dan akan
memerintahkan semua bantuan yang diperlukan untuk mengeksekusi dan melaksanakan
tugasnya,” ujarnya.
Untuk
diketahui, Marshals Service bertanggung jawab untuk menangkap buronan yang
dicari, memberikan perlindungan bagi peradilan federal, mengangkut tahanan
federal, melindungi saksi federal yang terancam keselamatanya dan mengelola
aset yang disita maupun dirampas dalam suatu proses penegakan hukum, serta aset
yang diperoleh dari pelaku kejahatan/perusahaan yang terlibat kasus kriminal.
Adapun
para peserta melakukan studi mengenai penyitaan dan manajemen aset. Dalam
kegiatan tersebut, disampaikan bahwa setiap tahapan yang berkaitan dengan upaya
pemulihan aset, agar diterapkan mekanisme Pre-Seizure Planning
(Perencanaan Pra-Penyitaan) guna memetakan manajemen risiko terhadap aset yang
akan disita sesuai dengan siklus hidup aset. Hal tersebut dibutuhkan untuk
mengidentifikasi layak atau tidaknya penyitaan dilakukan.
“
Tak hanya itu, diperlukan juga peningkatan kerja sama formal dan informal
dengan berkomunikasi kepada central authority tiap negara dapat berupa Mutual
Legal Assistance (MLA) terkait permintaan penyitaan,” jelasnya.
Selain
itu, kata Ketut terkait Asset Sharing, dapat mengadopsi apa yang
dilakukan oleh U.S Marshalls Service yaitu pembagian aset dilakukan apabila
sudah selesai dilaksanakan tahapan Forfeiture atau perampasan maka
negara yang meminta atau diminta dapat membagi aset hasil rampasan yang terkait
dengan tindak pidana. Pembagian tersebut dapat dilakukan dengan proporsional
berdasarkan biaya yang timbul dari upaya pemeliharaan dan pengamanan aset.
Ketut
menjelaskan, di negara Amerika Serikat, berlaku apabila ada korban dari hasil
tindak pidana, maka aset tersebut dapat dikembalikan sepenuhnya kepada korban
yang dirugikan atau kepada negara yang meminta. Namun apabila tidak ada korban,
maka akan dikurangi dengan biaya yang timbul pada saat penyitaan aset tersebut.
Lazimnya, institusi federal yang menangani akan mendapatkan bagian sekitar 20%
dan negara Amerika Serikat menerima tidak lebih dari 40% (bergantung pada
kebijakan pemerintah terhadap pengeluaran yang ada dalam penyitaan).
Terakhir,
diperlukan adanya audit manajemen dalam setiap tahap pemulihan aset yang
berfungsi untuk dapat melakukan evaluasi terhadap hal-hal yang sudah dilakukan
agar sesuai dengan yang dijalankan. Selain itu juga meminimalisir terjadinya
kesalahan dalam pelaksanaan fungsi beberapa tugas pekerjaan.
Studi
ini diikuti oleh Kepala Bidang Pemulihan Aset Transnasional Asnawi Mukti,
Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Pemulihan Aset Abdillah, Kepala Bidang Pemulihan
Aset Nasional Silvia Desty Rosalina, Kepala Bagian Program dan Evaluasi,
Pusdiklat Manajemen dan Kepemimpinan Gregorius H. Krisyanto, Kepala Sub Bidang
Pemulihan Aset Indonesia di Luar Negeri M. Fabian Swantoro, Kepala Sub Bidang
Pemulihan Aset Nasional terkait Tindak Pidana Erick Ludfyansyah, Kepala Sub
Bidang Database pada Bidang Database dan Pertukaran Informasi Danceu, serta Jaksa
Fungsional/ Satuan Pelaksana (SATLAK) pada Pusat Pemulihan Aset Purnama Shanti
dan Gigih Wicaksono. (Muzer)