Bogor, IMC - Perubahan iklim mengancam sektor pertanian. Kemampuan petani untuk memproduksi tanaman pangan bagi populasi global ikut terancam, terutama di tengah misi ketahanan pangan. Maka dari itu, antisipasi terhadap perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman pangan sangat diperlukan.
Prof Yonny Koesmaryono, Guru Besar IPB University bidang Geofisika dan Meteorologi mengatakan bahwa prediksi anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) sangat penting untuk menentukan musim tanam yang tepat. “Menurut data histori rataan tiga bulan, anomali SPL di Nino 3.4 oleh the Oceanic Nino Index (ONI), sejak 2021 sampai Juni 2022 masih menunjukkan tren negatif. Artinya menunjukkan periode dingin atau La Nina lemah sehingga curah hujan sepanjang tahun 2022 cenderung tinggi,” ujarnya.
Menurutnya, La Nina masih terjadi namun diprediksi terus melemah secara perlahan. Suhu permukaan laut tropis di bagian Barat Samudra Pasifik telah menghangat selama dua minggu terakhir. Hal ini menyebabkan air di bawah permukaan Pasifik Tropis terus mendukung pemanasan permukaan lebih lanjut. Indeks Osilasi Selatan tetap pada tingkat La Nina tetapi kekuatan angina pasat telah melemah selama Mei dibandingkan awal tahun 2022.
“Kita berharap La Nina ini semakin melemah kemudian musim kemarau, walaupun ada beberapa yang terlambat tapi tetap akan masuk musim kemarau. Hal ini yang mesti diwaspadai saat musim tanam padi, jangan sampai tertipu dan padi kekurangan air,” terangnya dalam Webinar Propaktani “Dampak dan Antisipasi Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Pangan” yang digelar oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian RI, (21/06).
Ia melanjutkan, prediksi juga menunjukkan bahwa masih ada peluang terjadinya La Nina lemah sampai netral hingga awal tahun 2023. Kondisi ini menyebabkan musim kemarau di tahun 2022 akan cenderung bersifat basah. Petani harus waspada ketika memanfaatkan kondisi ini saat musim tanam padi.
“Petani harus menggali informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setempat terkait kondisi iklim di masing-masing daerah. Sehingga dapat mengetahui daerah mana saja yang dapat ditanami selama La Nina masih ada. Selama musim kemarau, pembentukan awan masih cukup efektif untuk menjadi hujan. Petani juga harus mewaspadai kondisi ini dan siap mengantisipasi jika terjadi kelebihan air dan bencana,” terangnya.
Menurutnya, musim hujan ini juga diperkuat dengan gerakan angin Monsoon Asia setelah bulan September. Namun, bahkan jika La Nina mereda, prakiraan pola suhu permukaan laut di Pasifik Tropis masih mendukung curah hujan yang terjadi di musim kemarau di atas rata-rata.
“Kondisi ini harus diantisipasi sebagai musim kemarau yang masih ada hujan. Hal ini merupakan anugerah sehingga kita masih bisa menanam di musim kemarau. Tapi kita harus mengantisipasi tanaman apa yang cocok ditanam pada kondisi ini, jangan sampai memilih tanaman yang membutuhkan genangan air yang banyak ,” tambahnya.
Menurutnya, diperlukan rencana strategis nasional untuk mengatasi dampak dan antisipasi perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman pangan. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan mulai dari penguatan sistem prediksi iklim nasional, identifikasi wilayah rentan kekeringan termasuk wilayah potensial pertanaman pangan non padi, pengembangan sistem pertanian hemat air, hingga perluasan implementasi asuransi iklim dan pertanian. “Metode pertanian yang adaptif di tengah perubahan iklim ini juga penting, kita sebagai insan yang membutuhkan makanan harus bisa adaptif terhadap perubahan iklim akibat perbuatan kita sendiri,” tutupnya. (MW/Zul)