Jakarta,IMC- Jaksa harus memiliki perspektif HAM yang utuh dalam
menjalankan fungsinya.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Pendidikan dan
Pelatihan ( Kabadiklat ) Kejaksaan RI, Tony Spontana saat membuka Training
Piloting Jaksa tentang Fair Trial bagi Penyandang Disabilitas yang Berhadapan
Dengan Hukum. Training diselenggarakan oleh Badiklat Kejaksaan bekerjasama dengan
Pusham UII ( Pusat Studi Hak Asasai Manusia- Universitas Islam Indonesia )
Jogjakarta ini diikuti oleh 20 orang jaksa di lingkungan wilayah Kejati DIY dan
Jateng, Selasa (26/10/2021 ) di Hotel The Alana.Turut hadir Plt Kajati DIY
Tanti A Manurung , Kajari Sleman Bambang Marsana dan Direktur Pusham UII Eko Riyadi.
“Jaksa harus memiliki
perspektif HAM yang utuh dalam penanganan perkara terhadap penyandang
disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Baik itu menyangkut penyediaan
akomodasi, sarana dan prasarana, maupun cara berkomunikasi dengan mereka (disabilitas),”
kata Tony Spontana dikutip, Rabu ( 27/10/2021 )
Penyandang disabilitas itu kata mantan Staf Ahli Jaksa Agung,
tidak hanya berupa disabel fisik saja, namun juga disabilitas mental dan
intelektual. Selain itu, dalam penanganan perkara penyandang disabilitas yang
berhadapan dengan hukum, selama ini lebih memandang pada sisi terdakwa saja.
Sedangkan korban, saksi, dan pihak lainnya yang terkait, belum memperoleh
perhatian.
“Jadi kita tidak boleh memandang terdakwa saja. Tapi juga memberikan layanan bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban maupun saksi. Di situlah kita perlu memahami kebutuhan akimodasi bagi mereka, seperti sarana dan prasarana yang aksesabel, maupun cara berkomunikasi dengan menyiapkan petugas bahasa isyarat,” ujar mantan Kajati DIY.
Kabadiklat menyebut, untuk memberikan layanan yang baik bagi
penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, maka pihaknya menyelenggarakan
training bagi jaksa. Harapannya dengan memiliki perspektif HAM secara utuh,
para jaksa akan timbul rasa peduli terhadap hak-hak penyandang disabilitas,
sekaligus guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Dengan memahami perspektif HAM secara utuh, jaksa akan
peduli dan tahu apa yang harus dilakukan terhadap penyandang disabilitas
berhadapan dengan hukum. Sehingga tidak hanya perkaranya saja yang berjalan,
tapi juga memberikan layanan yang baik bagi mereka,” tegas penggagas pembelajaran
dengan metode blended-learning di Badiklat Kejaksaan RI. ( Muzer )