Jakarta, IMC - Bareskrim Polri telah mengamankan barang bukti berupa rekaman suara yang beredar melalui media sosial dan pesan instan mengenai adanya informasi palsu atau hoax perihal tujuh kontainer berisi surat suara tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok.
Kabareskrim Polri, Komisaris Jenderal Polisi Arief Sulistyanto seperti dikutip viva.co.id tanggal 3 Januari 2019 mengungkapkan rekaman suara tersebut sejak tadi malam sudah diamankan pihak Kepolisian untuk jadi barang bukti.
Menurutnya, tim penyidik berencana memanggil semua nama yang disebutkan di dalam rekaman suara itu dalam waktu dekat untuk dimintai keterangannya sebagai saksi.
Wakil Ketua Umum Rumah Pejuang Indonesia (RPI) H. Deani T. Sudjana, SH, MM, MBA kepada IMC di Jakarta (5/1/2019) mengatakan Polri perlu menyelidiki siapa pemilik suara dalam rekaman tersebut yang menyatakan ada 7 kontainer memuat surat suara yang sudah dicoblos di tanjung priok. Biar publik mengetahui pemilik suara itu siapa dan apa motifnya jika tidak benar informasi yang disebarkan, agar tidak terjadi spekulasi negatif dipublik. Polri perlu deteksi suara yang beredar dan menyelidikinya. Karena Polri belum menyelidik untuk memastikan hoax apa bukan suara yang beredar, KPU sudah mendahului menyatakan informasi tersebut hoax setelah KPU dan tim mendapat keterangan dari pihak bea cukai malam itu. Setelah dinyatakan hoax oleh KPU kemudian Polri melakukan penyelidikan atas laporan atau pengaduan yang masuk.
Saat ditanya tuit Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arif melalui akun twiternya, Deani menjelaskan dari redaksi tuit Andi Arif yang dibaca, Andi Arif meminta KPU untuk mengecek suara 7 kontainer yang beredar. "Andi Arif dalam tuitnya tidak bersifat menuduh. Tuit Andi Arif justru mengingatkan KPU untuk memastikan suara yang beredar benar atau tidak. Itu informasi positif. Andi Arif sepertinya mendorong kualitas pemilu dan demokrasi menjadi lebih baik. Jika tuit Andi Arif dipersoalkan, kualitas demokrasi telah mengalami degradasi baik moral dan politik. Ada semacam jurang yang cukup dalam," jelas Deani.
Menurut KPU, surat suara belum dicetak, belum ditender. Kalau ada berita ada surat suara 7 kontainer, itu hoax. Deani menyatakan KPU belum cetak kertas suara tapi kertas suara telah beredar luas dan telah digunakan oleh para timses dimana-mana untuk sosialisasi. "Kita tidak tahu master kertas suara yang beredar darimana. Apa dibuat sendiri oleh timses? Kalau surat suara buat sendiri oleh para calon baik legislatif maupun Capres dan Cawapres kok seragam ya satu Indonesia?," tanya Deani.
Logistik pemilu 2019 seperti bilik suara dan kotak suara seperti dikutip Tribun Jambi 28 November 2018 sudah di distribusikan KPU pusat ke KPU propinsi/kabupaten/kota per November 2018. Biasanya pada Pemilu sebelumnya kertas suara di distribusikan bersamaan dengan kotak suara. Tapi 2019 ini di distribusikan secara terpisah. Kan kotak suara dan bilik suara juga ditender. Bukan asal cetak dan kirim. KPU perlu konsisten dengan tahapan pemilu yang sudah ditetapkan, karena kepastian hukum dibutuhkan untuk mengatur jalannya demokrasi menjadi lebih baik, misalnya tahapan penetapan DPT, tahapan distribusi logistik pemilu dan lain-lain, jelasnya.
Deani mengatakan selain masalah 7 kontainer surat suara tsb, kita juga masih polemik dengan DPT. Jumlah DPT 2019 hasil validasi tahap II sekitar 192.828.520 pemilih. Tidak berbeda jauh dengan pemilu 2014 dengan DPT sebesar 190.307.134. Selisih hanya 2.521.386.
DPT 2019 sebesar itu dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia kurang lebih sekitar 269 juta maka rasio pemilih Indonesia terbilang paling tinggi di dunia, rasionya diatas 70%. Pemilu era Orde Baru rasio pemilih sekitar 53-57%, di era pak Habibi rasio pemilih dan jumlah penduduk 53%. Rasio pemilih dengan jumlah penduduk Indonesia tidak sampai diatas 70% seperti sekarang.
Sebagai perbandingan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 326 juta, DPT AS hanya 160 juta atau sekitar 53%. Atau Negara Malaysia dengan jumlah penduduknya 32 juta, DPT (daftar pemilih tetap) Malaysia 15 juta atau rasionya dibawah 50%," jelasnya.
"Kali lalu dari berita media disebutkan Depdagri menyerahkan data pemilih tambahan 31 juta setelah validasi DPT. Karena ada data pemilih tambahan maka KPU membuka validasi DPT tahap II.
Belum lagi dengan perdebatan orang gila yang memiliki hak pilih. Orang gila kalau membunuh orang tidak dihukum. Karena dipandang tidak cakap. Menurut hukum, orang yang tidak cakap tidak dapat dihukum. Kalau sekarang orang gila yang tidak cakap diperkenankan memilih ya paradoks. Artinya prinsip dan asas hukum tidak lagi digunakan oleh KPU.
Seharusnya yang memiliki hak pilih adalah mereka yang terdata dalam DPT, bukan berdasar E-KTP. DPT (daftar pemilih tetap) itu data asal dari pemerintah berupa DP4. Betapa kacaunya data kependudukan, padahal waktu begitu panjang diberikan sesuai regulasi untuk mendata penduduk Indonesia, penduduk yang memiliki hak pilih berdasar E-KTP. KPU dalam menyelanggarakan Pemilu berdasar UU Pemilu. Peraturan KPU yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan UU Pemilu," jelas Deani.(tim/red).