Reuni 212 : Moralitas Militansi Umat Islam




Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, APT, M,Sc. 
(Dewan Pakar KAHMI)



Sebelum  acara reuni 212,  yang jatuh pada 2 Desember 2018,  berbagai situasi yang terkait dengan  perjalanan dinamika politik menjelang Pilpres 17 April 2018 telah menunjukkan eskalasi yang meningkat.

Berbagai peristiwa politik dan dinamika sosial dimasyarakat berlangsung. Gesekan itu terjadi juga bukan saja antar kelompok masyarakat yang berbeda pilihan politiknya, tetapi juga rajinnya media-media elektronik mainsteam menghadirkan acara-acara yang mengedepankan pertentangan, perbedaan, peseteruan, dari pada  yang sifatnya persamaan persepsi, kekompakan, kearifan, saling memuji, yang disajikan sebagai konsumsi masyarakat.

Bahkan dalam event-event tertentu, seperi Gerakan #2019 Ganti Presiden, diberbagai tempat mengalami persekusi oleh sekelompok organisasi masyarakat dadakan, dan dibarengi dengan "pembiaran" oleh aparat keamanan.

Saya mengamati Reuni 212, 2 Desember 2018 kemaren,  "tidak" menjadi luar biasa bahkan ada yang merasakan lebih dahsyat jumlah yang hadir diandingkan Pertemuan Akbar  Aksi Bela Islam  2012 : 2 Desember 2016. Jika tidak adanya prakondisi yang terjadi, yang sebetulnya dapat dihindari, jika Pemimpin bangsa ini cerdas dalam melihat situasi, kultur, dan pola ikatan ukhuwah Islamiyah  yang sangat kuat  dimasyarakat muslim Indonesia. 

Pra kondisi itu sangat kasat mata dirasakan masyarakat, baik yang diasakan langsung, maupun melalui berbagai media sosial, dan media-media lainnya yang mereka peroleh. Walaupun tidak banyak terungkap dalam media cetak, elektronik mainstriem (TV), karena sudah terkoptasi dengan kepentingan pemilik media.

Kita lihat jejak digital peristiwa persekusi terhadap Ustazd Tengku Zulkarnain yang hendak ke suatu daerah (Kalimantan), Ulama yang hendak berdakwa di Sulut, UAS di Jawa Tengah, Neno Warisman di Pekan baru, dan peristiwa-peristiwa lainnya. 

Peristiwa yang sangat sensitif, dan semula tidak dianggap serius oleh pihak kepolisian, adalah pembakaran  bendera Tauhid di Garut oleh oknum Banser. Dengan dalih bendera HTI, padahal tidak ada tertulis HTI dari hasil investigasi MUI. 

Peristiwa itu menjadi "bara" dikalangan ummat Islam yang sudah muak dan bosan melihat organisasi yang rajin memakai simbol "Islam",  menentang eksistensi dan menzolimi ke-Esaan Allah SWT dan bahkan membela dan memahami mereka yang membakar bendera Tauhid tersebut. 

Pihak Kepolisian  juga setali tiga uang, dengan menyatakan tidak ada niat jahat atas pembakaran bendera Tauhid tersebut, lantas dibebaskan. Bahkan yang diburu yang membawa bendera. 

Reaksi ummat spontan, bersama PA 212, memprotes dan beramai-ramai membawa bendera Tauhid di berbagai gerakan protes yang dilakukan. Isyu sensitif ini menjadi gerakan masif, dan negara-negara Islam bereaksi. 

Sampai situasi diatas, Pemerintah tersadar dan khawatir akan mendegradasi Pemerintah, dengan ikut turunnya Wakil Presiden JK mendinginkan suasana, dan dilanjutkan Rakor di Menko Polhukam mengundang semua ormas Islam untuk kosolidasi dan pendinginan suasana. Keputusan strategis yang disepakati Pemerintah, Ormas Islam boleh mengibarkan Bendera Tauhid.

Proses Pengadilan terhadap pembakar bendera Tauhid  dan pembawa bendera dilakukan, dan masing-masing di vonis 10 hari  penjara. Ini juga untuk menenangkan masyarakat , proses pengadilan telah berjalan. Walapun belum memberikan rasa keadilan Ummat dengan 10 hari masa tahanan. 

Setelah peristiwa pembakaran bendera Tauhid,  rupanya ada saja gerakan lain yang memancing PA 212, dengan memasang poster Kalimat Tauhid di bagian belakang rumah Habieb Rizieq Sihab di Makkah. Akibatnya HRS berurusan dengan Polisi Arab Saudi. Dubes Indonesia di Riyard langsung membuat maklumat kejadian tersebut, dan menyatakan HRS dibebaskan dengan jaminan. 

Terungkap kemudian kejadian tidak seperti yang di sampaikan Dubes. Blunder yang memalukan Pemerintah Indonesia  terhadap Pemerintah Arab Saudi. 

*Gerakan Militansi Ummat Islam*
Bicara politik Islam, saat ini tidak lagi menjadi  "mainannya" partai politik Islam. Partai politik Islam sibuk dengan kavling kekuasaan yang didapat  untuk menjadi anggota legislatif dengan berbagai kenikmatan yang mengikutinya. Partai Politik Islam yang beramai-ramai menikmati kue kekuasaan saat ini, tidak akan berani berjihad, berkorban, dan tahan menderita.  Sebab atas nama Islam mereka sudah lebih mencintai dunia dari pada Pencipta Dunia. 

Gerakan Militansi Ummat  Islam, sudah diambil perannya oleh para Habib, habaib, Ustadz, Ulama, Kyai,  melalui majelis-majelis taklim, media sosial, Youtube, dan itu semua ada dalam genggaman para jamaah, yang setiap saat mereka dengar dalam berbagai  kesempatan.  Mereka menjadi lebih cerdas, lebih banyak mendapatkan informasi, konfirmasi,  cek ulang berbagai isyu. Dan saat ini juga  kecenderugan kelompok menengah kebawah dan keatas, punyai spirit keagamaan yang bergerak naik. 

Mereka inilah yang menjadi EO dengan sukarela, ikhlas, dan umumnya kelompok milenial, yang menggerakkan militansi  Islam dengan komando Ulama. Saya punya pengalaman, dibawah para kelompok muda yang militan ini dengan semangat dan kegigihannya merancang renovasi total masjid dengan design yang menarik   terbangun asri  dengan biaya Rp. 5 milyr, tanpa dana sepeserpun dari pemerintah atau partai politik Islam. 

Gerakan  moralitas militansi  ummat Islam non partai , saat ini bergerak sebagai gerakan moral sosial politik  yang mencoba memberikan kesadaran kepada Ummat Islam sebagai penduduk yang terbesar atas berbagai kebijakan pemerintah yang dirasakan semakin jauh dari cita-cita Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para Ulama, dan pemimpin bangsa.  

Sederet indikasi – indikasi hampir setiap hari sudah diungkapkan. Tetapi Pemerintah bergeming dan bahkan  menegaskan apa yang dilakukan sudah benar untuk kepentingan  bangsa. 

Falsafah Pemerintah saat  ini, Kerja, Kerja, Kerja,  menjadi kurang pendengarannya. Ibarat disuatu pabrik yang sedang berproduksi, tentu yang didengar suara mesin menderu,  dan tidak akan mendengar suara jeritan pekerja yang jarinya terputus kejepit mesin.  Sebaiknya dalam slogan  "kerja" sebanyak 3 kali, harus dibarengi dengan slogan "mendengar" sebanyak 6 kali. 

Akibat kurangnya frequensi mendengar oleh  pemerintah terhadap suara  ummat yang mungkin hanya terdengar  sayup-sayup sampai,  mereka menggunakan Ulama sebagai speaker ummat. 

Untuk menjawab para "speaker"  ini yang sudah bising ditelinga Presiden, maka dilakukan strategy komunikasi "homophily" dengan  menggandeng KH Ma'ruf Amin  seorang Ulama, Tokoh NU, Ketua MUI, sebagai Calon Wakil Presiden dalam Pilpres 2019.  Ternyata fungsinya sebagai speaker tidak berjalan lancar karena  speakernya sudah terbatuk-batuk, bahkan menimbulkan miskomunikasi dan sepertinya sudah kehilangan energy. 

Kehadiran MA sebagai Cawapres, dan menyandera MUI dengan tidak ingin melepaskan jabatan Ketum MUI, tentu menimbulkan gesekan- gesekan antara Ulama yang merapat ke Pemerintah, dan Uama yang konsisten dengan menyuarakan suara ummat dan berhimpun dalam PA 212. 

Situasi ummat dirasakan semakin tertekan, dengan berbagai media yang berpihak pada kekuasaan, padahal mereka itu adalah media publik.  Ummat  diam, dan tetap diam. Pelan-pelan kesadaran politik timbul dan semakin menebal. NKRI milik Ummat  Islam. Ummat Islam bukan tamu dan anak kost dinegerinya sendiri. Saat itulah militansi ummat itu muncul dan terus bergerak dengan bimbingan Allah SWT. 

Umat Islam bersama umat lainnya bangsa Indonesia harus menikmati kesejahteraan, ketenangan beribadah, berdakwah, dan  tidak perlu ditakuti dengan teror: intoleransi, ekstrimis, radikalis dalam menjalankan ajaran agamanya. Ummat Islam Indonesia tidak perlu lagi diberikan  label-label menyesatkan Islam liberal, islam moderat, Islam Nusantara yang  semuanya itu dapat merusak aqidah Islamyah.

Dalam diam, kesadaran ummat semakin tinggi, semakin militan. Puncaknya  mereka berkumpul dengan dimotori oleh PA 212, membuat Reuni dan Mujahidin 212, 2 Desember 2018,  di Monas dan sekitarnya, ummat Islam menyemut, berdoa, mendengarkan berbagai  tausyiah  Ulama yang menguatkan kembali atas tekad yang sudah terbangun dalam menentukan pilihan politik mereka dalam rangka pertanggungjawaban mereka kepada Allah SWT, atas pilhannya tersebut. 

Saya meyakini, bahwa "menyemutnya" manusia yang hadir yang jumlahnya ada menyebut 7 juta, bahkan 8 juta itu sebagai tanda bahwa Allah berkenan dan berpihak pada kaumnnya yang ikhlas menjaga, mengawal, dan mengumandangkan kalimat Tauhid. Dan Allah SWT, menunjukkan kasih sayangNya, menjaga ummatNya, bahwa acara tersebut berjalan  lancar, damai, tanpa suatu insiden apapun. 

Soal acara tersebut terkesan kampanye terselubung, berpihak pada Paslon tertentu, kenapa Capres Nomor  1 tidak  jadi diundang semula diundang, Capres nomor  2 diundang, itu hal yang tidak substantif untuk dibahas. Sebab jika dibahas akan melebar kemana-kemana.

Jujur saja, apakah yang dilakukan Paslon 1 yang juga sedang menjabat sebagai Presiden, tidak melakukan kampanye terselubung. Dengan dua peran sebagai Capres dan sekaligus Presiden sangat leluasa untuk  berkampanye dengan proses pembangunan yang sedang dilakukan. 10 – 15 KM ruas jalan Tol yang selesai diresmikan Presiden. Pemasangan PLN ke rumah penduduk juga diresmikan Presiden. Ini semua dilihat dan di tonton masyarakat. 

Biarlah ummat Islam itu berkumpul, bersilaturrahmi, bereuni dengan caranya sendiri sambil menyebut asma Allah, dan saling mengingat diantara ummat untuk mendapatkan pemimpin yang siap pasang badan melindungi ummat Islam dan seluruh rakyat Indonesia  dan mensejahterakannya. 

Berhentilah para pengamat yang bernada mencibir, underestimate, dengan menyebut "lah yang datang paling sekitar 20.000 orang".  Tolong lembaga survey, berani ngak menyebutkan jumlah yang hadir 20 ribu, 50 ribu atau 75 ribu. Pesawat Drone akan mentertawakan anda para ahli survey. 

Yang perlu dibahas oleh para politisi dan mereka yang sedang mempertahankan kekuasaan,  bagaimana bisa jutaan manusia  berkumpul di satu titik, dan momentum yang sama,  dengan biaya sendiri, dari seluruh pelosok tanah air. Bahkan ada yang jalan kaki, dan mengalami rintangan dan hambatan, tetapi mereka tetap bergerak. Belajarlah dengan Panitia Reuni 212, dalam  menghimpun masa  untuk kampanye , semoga menemukan kiatnya.

Bagi Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi,  momentum Reuni 212, 2 Desember 2018, dapat dijadikan bahan evaluasi untuk melihat hubungan dan komunikasi dengan Ummat Islam secara komprehensif ( bukan segementit), melalui para Ulama yang kredibel, istiqamah, konsisten dan  tawaduk. Tidak cukup dengan Ormas Islam formal, tetapi yang lebih berakar lagi mereka diluar berbagai Ormas Islam tersebut.  

Pemerintah dan Bawaslu  harus panggil  para pemilik media cetak dan elektronik  (TV mainstream), ingatkan mereka para toke-toke tersebut untuk bersikap adil, independen, dan berita yang berimbang. Bayangkan sangat memalukan  dan sungguh naif dalam Reuni 212 kemarin, tidak ada satu media TV yang menyiarkannya secara langsung kecuali TV One.  Kita angkat topi untuk TV One, walaupun pemiliknya pendukung Paslon 1, tetapi medianya masih dapat berlaku profesional. 

Sudah saatnya menghilangkan dikotomi antara Pemerintah dengan Ummat Islam, yang disebabkan oleh persaingan antara Presiden yang mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dalam Pilpres 2019 dengan kompetitornya Calon Presiden lainnya.  Sebagai negarawan, kepentingan keutuhan  sebagai bangsa dalam bingkai NKRI harus lebih dikedepankan. Jika terpilih, terpilihlah dengan terhormat, jujur, dan adil. Dan jika tidak terpilih bersikaplah dengan  jiwa besar.

Cibubur, 3 desember 2018

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال