Mengenal Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), Pemberi Suara Dalam Pileg dan Pilpres 2019


Oleh: T. Iskandar Faisal, S.Kp., M.Kes*

A. Pendahuluan
KPU mengakomodasi pemilih dengan masalah kejiwaan dalam pemilihan umum, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilan Presiden 2019. Keputusan ini telah menimbulkan kehebohan ditanah air dalam beberapa saat ini.

Menurut Ketua KPU Arief Budiman,  berpedoman pada Undang-Undang Pemilu, disebutkan bahwa warga yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah, bukan TNI dan Polri serta tak dicabut hak politiknya, wajib masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan memiliki hak suara. Penyandang disabilitas juga memiliki hak suara. Gangguan jiwa termasuk dalam penyandang disabilitas

Terkait dengan pro dan kontra ODGJ mempunyai hak memilih, Saya akan mengajak Anda untuk mengenali ODGJ dan pada akhirnya Anda akan menyimpulkan bahwa ODGJ layak atau tidak untuk menjadi pemilih dalam Pileg dan Pilpres 2019.

B. Pengertian Gangguan Jiwa dan ODGJ

Gangguan jiwa menurut pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat.

Menurut UU Kesehatan Jiwa No.18 tahun 2014, ODGJ adalah: "orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia."

C. Prevalensi Penderita Gangguan Jiwa di Indonesia

Menurut Riskesdas 2013, prevalensi penderita gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia sebanyak  1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang, sedangkan prevalensi gangguan mental emosional/depresi sebanyak 6 persen atau sekitar 14 juta orang. 

D. Stigma bahwa ODGJ adalah orang gila

Saat ini masih ada stigma di kalangan masyarakat bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa berarti sama dengan "gila". Padahal gangguan jiwa dapat muncul dalam bentuk yang ringan dan mungkin hanya berupa ansietas dan rasa sedih. 

Stigma ini juga berkaitan karena anggapan bahwa gangguan jiwa yang dialaminya tidak akan bisa sembuh dengan berobat. Padahal gangguan jiwa memungkinkan sembuh dengan pengobatan dan perawatan yang baik.

E. Gejala Gangguan Jiwa

Gejala gangguan jiwa sangat bervariasi, gejala ini biasanya muncul karena adanya perubahan pada emosi, pikiran ataupun perilaku. 

Berikut ini tanda dan gejala orang mengalami gangguan jiwa:

1) Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn). Tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).

2) Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar, dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.

3) Delusi atau waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal).

4) Halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan, misalnya penderita mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya.

5) Merasa depresi dan sedih secara terus-menerus.

6) Kesulitan untuk melakukan tugas sehari-hari.

7) Paranoid pada hal-hal biasa yang bagi orang normal tidak perlu ditakuti atau dicemaskan.

8) Memiliki pemikiran untuk bunuh diri.

9) Kekacauan alam pikir, misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.

10) Membuat gaduh, gelisah, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.

F. Klasifikasi Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa secara umum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 
1) Gangguan jiwa berat/kelompok psikosa termasuk juga Skizofrenia, dimana penderitanya tidak mampu untuk berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari; 
2) Gangguan jiwa ringan (neurosa) dimana penderitnya dalam keadaan sadar, dengan melalui ketidakberesan tingkah laku yang disebabkan oleh adanya tekanan yang terus menerus seperti konflik yang ditandai dengan gejala-gejala seperti: reaksi kecemasan, kerusakan aspek-aspek kepribadian, phobia, histeris. 

G. Hak-hak ODGJ
Menurut UU Kesehatan Jiwa Tahun 2014 ODGJ berhak: a) mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar; b) mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka; c) memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya; d) mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa; e) mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi; f) mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan g) mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.

H. Upaya Kementerian Kesehatan dalam menangani ODGJ
Kemenkes RI sejak tahun 2014 telah menyampaikan 4 Seruan Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ, yaitu: 1) Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan; 2) Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGJ; 3) Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial; serta 4) Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial.

Untuk menyikapi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, Pemerintah dan masyarakat telah melakukan upaya-upaya, antara lain: 1) Menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan di masyarakat; 2) Menyediakan sarana, prasarana, dan sumberdaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk obat, alat kesehatan, dan tenaga kesehatan dan non-kesehatan terlatih; 3) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan promotif serta deteksi dini gangguan jiwa dan melakukan upaya rehabilitasi serta reintegrasi OGDJ ke masyarakat.

Disamping itu, upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah Pemberdayaan ODGJ, yang bertujuan agar dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah masyarakat, bebas dari stigma, diskriminasi atau rasa takut, malu serta ragu-ragu. Upaya ini sangat ditentukan oleh kepedulian keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

I. Mungkinkan ODGJ Sehat Kembali?
Sampai saat ini memang belum ditemukan metode pengobatan yang dapat mengobati penderita gangguan jiwa secara total. Namun dengan metode pengobatan dan perawatan yang teratur gangguan jiwa dapat dikontrol, sehingga penderitanya dapat menjalani kehidupan seperti orang normal.

Penderita gangguan jiwa, baik skizofrenia maupun psikosis sebenarnya masih dapat ditolong. Syaratnya pengobatannya baik dan tidak terlambat. Kalau syarat itu dipenuhi 25 persen penderita skizofrenia bisa disembuhkan.

Memang bukan berarti sembuh total, karena kepekaan untuk terganggu lagi pada penderita skizofrenia lebih besar daripada orang normal. Tetapi, gangguan psikosis yang disebabkan oleh kelainan anatomi otak sembuh total karena sebagian besar bersifat sementara.

J. Layakkah ODGJ menjadi Pemilih dalam Pileg dan Pilpres 2019?
ODGJ sangat layak untuk menjadi pemilih dalam pesta demokrasi 17 April 2019 yang akan datang, karena dalam pengobatan dan perawatan yang teratur maka ODGJ dapat menjalani kehidupan seperti orang normal.

Artinya ODGJ yang boleh menggunakan hak pilih adalah ODGJ yang berada dalam keadaan sehat pikiran. 

Kondisi mental ODGJ itu fluktuatif, ada saatnya normal dan ada saatnya berada dalam kekacauan mental berat. Jika dalam keadaan gangguan sehingga ODGJ tidak dapat membedakan antara alam nyata dengan alam khayalnya, maka ODGJ tidak layak untuk memberikan hak suaranya dan ini menjadi kewenangan dokter yang mengobatinya untuk memastikan ODGJ boleh atau tidak menggunakan hak suaranya.

K. Kesimpulan

ODGJ yang berada dalam keadaan mental yang stabil dan mempunyai kemampuan membedakan antara alam nyata dan alam khayal maka ODGJ layak untuk menjadi pemilih dalam Pileg dan Pilpres yang akan diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019.

Keikutsertaan ODGJ sebagai pemilih telah dikuatkan oleh keputusan KPU dimana KPU akan memasukkan para pemilih dari kalangan ODGJ dalam kategori disabilitas, yakni disabilitas mental, sehingga  seluruh pemilih ODGJ bisa memperoleh hak pilih selama tidak ada surat dokter yang menyatakan pemilih tersebut tidak mampu secara mental. 

Keputusan KPU ini harus diberikan apresiasi positif, karena telah mendukung upaya Kementerian Kesehatan RI untuk menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap ODGJ di Indonesia.

*Penulis adalah Pemerhati Kesehatan Jiwa, Dosen Poltekkes Kemenkes Aceh

Sumber Bacaan:
Kemenkes RI. 2014. UU RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal (26 November 2018)

Kemenkes RI, 2014, Stop Stigma dan Diskriminasi Terhadap Orang   Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), http://www.depkes.go.id/article, diakses tanggal (26 November 2018)

Kemenkes RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal (26 November 2018)

Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya

Penjelasan Ketua KPU Soal Orang Gangguan Jiwa Punya Hak Pilih di Pemilu 2019. www.merdeka.com. Diakses tanggal (27 November 2018) 

Penanganan Gangguan Jiwa. https://www.google.co.id/amp/s/doktersehat.com. Diakses tanggal (28 November 2018)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال