H. Deani T. Sudjana, terkait Tenaga Honorer, Jokowi tidak Sensitif dengan Penderitaan Rakyat


Jakarta, IMC - Wakil Ketua Rumah Pejuang Indonesia (RPI) H. Deani T. Sudjana, SH, MM kepada IMC di Jakarta pada Kamis (22/11) mengatakan sungguh mengenaskan nasib 439 ribu, guru dan tenaga honorer, nasibnya terombang ambing tidak tentu arah, Pemerintah lebih mengedepankan tenaga kerja asing asal Tiongkok ketimbang mengangkat para tenaga honorer sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ratusan putra putri bangsa yang punya keahlian jelas.

Sungguh mengherankan jutaan imigran Tiongkok didatangkan, konon terus berdatangan sampai kini, kurangnya pengawasan dari Dirjen Imigrasi begitu mudahnya mereka masuk Indonesia. Artinya Pemerintahan Jokowi sudah kebablasan tidak melihat dan merasakan penderitaan yang dirasakan ratusan ribu tenaga honorer Indonesia.      

Lanjut Deani, dapat dibayangkan mereka selama bertahun-tahun bahkan ada yang sudah belasan tahun menjadi tenaga honorer, dibayar berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) lebih menyedihkan nasib Guru Honorer hanya menerina honor sebesar ratusan ribu rupiah, bagaimana mereka dapat menghidupkan anak dan keluarganya, sedangkan honor yg diterima setiap bulannya cukup hanya untuk 3 (tiga) hari. Pemerintah Jokowi tidak berniat memanusiakan manusia Indonesia.

Yang mengherankan Anggota DPR tidak becus mengurusi persoalan 439 ribu tenaga honorer yang mereka keluhkan dan tidak serius melakukan fungsi pengawasan legislatif. Anggota DPR tidak sadar gaji yang besar sebagai Anggota Legislatif itu uang rakyat yang setiap bulan diterima, terkesan DPR telah bersekutu dengan pihak yang salah. 

Seharusnya jarak istanah dan senayan harus ditegaskan, karena memiliki fungsi kenegaraan yang berbeda. DPR itu wakil rakyat, bukan wakil partai atau wakil penguasa. Fungsi kontrol bernegara harus jalan dan berimbang agar kekuasaan tidak otoriter dan tidak sewenang-wenang, seperti mendatangkan tenaga kerja Asing. Dicurigai ada hidden agenda soal TKA masuk Indonesia ini, jelas Deani.

Menteri PAN-RB Syafruddin seperti dilansir m.detik.com 4 Oktober 2018 menganggap kondisi permintaan guru honorer tersebut cukup dilematis, sebab melalui peraturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 pemerintah sudah tegas tak ada lagi pengangkatan. 

"Bahwa amanat Undang-Undang, dan peraturan, PP itu sudah mengamanatkan bahwa itu harus melalui seleksi. Kenapa seleksi? Tujuannya adalah kita taat kepada aturan dan Undang-Undang. Yang kedua adalah bagaimana bangsa dan negara ini betul-betul bisa aparaturnya itu terdidik," kata Syafruddin kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (4/10/2018).

Syafruddin menjelaskan sejak 2005 hingga 2013 pemerintah telah mengangkat langsung 1,1 juta pegawai honorer menjadi PNS. Jumlah itu merupakan 25% dari keseluruhan PNS yang ada di Indonesia.  

"Bisa nggak dibayangkan, bagaimana sumber daya manusia Indonesia yang mengawaki negara kita ini, yang seperti saya jelaskan di depan. Diangkat dengan cuma-cuma tanpa tes, hanya persyaratan administrasi saja. (Ada) 1,1 juta, 25% sudah pengangkatan semua. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang itu. Jadi ini dilematis," jelasnya.

Untuk mengakomodir masalah itu, pemerintah pun membuka skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Lewat skema tersebut, pemerintah berupaya menjadikan pegawai honorer setara dengan PNS. 

"Gajinya sama. Cuma bedanya, kalau PNS itu (dapat uang) pensiun, ini (P3K) tidak dapat pensiun. Tapi bisa dapat (uang) pensiun tentu selama menjadi pegawai pemerintah ikut asuransi. Asuransi pensiun. Jadi sama saja, ujung-ujungnya sama. Karena PNS juga gajinya dipotong untuk pensiun, kan sama saja. Jadi diputar-putar sama," ujarnya.

Selain itu, menurut Syafruddin, skema ini juga bisa mewadahi para pegawai honorer yang telah melewati batas usia untuk mengikuti seleksi CPNS. Sebab, skema ini dinilai lebih longgar dibanding seleksi CPNS yang sedang dibuka.

"(Jadi) bisa cover semua kepentingan di situ. Kepentingan profesional, kepentingan guru, kepentingan tenaga medis, dosen, semuanya. Kalau orang mau jadi pegawai negeri melalui jalur dosen yang sudah doktor ya sudah lewat umurnya, karena rata-rata 40-41 tahun. Oleh karena itu skemanya P3K," tuturnya.(red/tim).

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال