Jakarta,IMC-Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima informasi perkembangan kasus ketiga anak penderita HIV
di kabupaten Samosir yang mengalami diskriminasi dalam pemenuhan hak atas
pendidikannya. Informasi terbaru menyebutkan bahwa, pada
Kamis, 25 Oktober 2018, Komite AIDS HKBP mendatangi Dinas Pendidikan
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara dan juga pihak kepolisian Nainggolan. Dalam
pertemuan tersebut, pihak Dinas Pendidikan Kab. Samosir tetap bersikeras
memberikan alternatif pendidikan bagi anak-anak penderita HIV dengan
Homeschooling atau Kejar Paket A.
Sedangkan pihak kepolisan berjanji akan menjamin keselamatan ketiga anak
tersebut dan dipastikan tidak ada penggusiran.
Hal itu di sampaikan oleh Retno Listyarti, Komisioner KPAI
bidang Pendidikan melalui siaran persnya yang di terima redaksi di Jakarta,Sabtu (
27/10/18 )
Di tegaskan,KPAI menilai bahwa Keputusan wakil Bupati
Samosir beserta OPD terkait untuk pendidikan ketiga anak penderita HIV
melanjutkan pendidikan homeschooling adalah kebijakan yang tidak tepat dan
berpotensi kuat melanggar hak-hak anak. Kemungkinan besar, pengusul
homeschooling tidak memahami bahwa system ini membutuhkan pendampingan dan
peran orangtua, sementara anak-anak ini sudah tidak memiliki orangtua.
HOMESCHOOLING BUTUH
PERAN AKTIF ORANGTUA
Homeschooling adalah model alternative belajar selain di
sekolah. Pendidikan alternative ini merupakan pendidikan, dimana suatu
keluargalah yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan
anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang
tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada
sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem
sekolah. Ketiga anak tersebut sudah tidak memiliki orangtua, lalu siapa yang
akan bertanggungjawab atas proses pendidikan anak tersebut di tempat tinggalnya
nanti.
“ Memang, meski orang tua menjadi penanggung jawab utama
homeschooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus
dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang
guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada proses
magang (internship), dan sebagainya.,” kata Retno
Akan tetapi lanjutnya, ketika anak-anak tersebut sudah
ditolak lingkungannya, apakah ketika mengikuti pendidikan PKBM untuk
mendapatkan ijasah kesetaraan melalui paket A mereka dapat diterima juga oleh
peserta didik lain di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) tersebut? Jika menggunakan guru privat --mengingat ketiga anak tersebut sudah
yatim piatu—apakah akan ada guru yang
bersedia mengajar ketiga anak tersebut ketika kondisi dan identitasnya sudah
terbuka ke publik.
“ KPAI sangat menyayangkan kondisi medis ketiga anak yang
seharusnya dirahasiakan, akan tetapi malah terbuka ke publik sehingga
menimbulkan stigma negatif kepada ketiga anak korban penderita HIV,” bebrnya.
Selain itu, menurut KPAI patut dipertimbangkan factor
psikologi untuk tumbuh kembang ketiga anak tersebut. Karena pada rentang usia
ketiga anak tersebut, mereka lebih bahagia jika bersekolah di sekolah
regular/umum, karena dapat bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya
secara maksimal. Selain itu dapat juga mengembangkan diri sehingga potensinya
dapat optimal. Untuk kepentingan terbaik bagi ketiga anak tersebut, maka
sekolah reguler atau umum adalah pilihan yang tepat.
NEGARA HARUS HADIR
Untuk itu, KPAI mengapresiasi Mendagri, Tjahyo Kumulo yang
akan menegur keras pemerintah Kabupaten Samosir untuk segera melindungi dan
memenuhi hak-hak ketiga anak penderita HIV. KPAI mendorong negara untuk
memenuhi hak ketiga anak tersebut agar bisa bersekolah di sekolah umum dan
diperlakukan wajar seperti anak-anak pada umum serta tidak mendapatkan
perlakuan yang diskriminatif.
“Konstitusi RI dan peraturan perundangan di negeri ini
menjamin bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran serta
berhak mengembangkan diri. Negara harus hadir untuk memastikan ketiga anak
penderita HIV terpenuhi semua haknya, termasuk hak atas pendidikan.,”
pungkasnya.( Rls/ Zer )