Rumah Pejuang Indonesia Mengecam Tindakan Represif Aparat Kepada Demonstran


Jakarta, IMC - Menanggapi tindak kekerasan oleh aparat kepolisian kepada para demonstran disesali banyak pihak. Rumah Pejuang Indonesia (RPI) mengecam tindakan aparat keamanan yang secara represif menangani demonstrasi mahasiswa diberbagai daerah di Indonesia. Demonstrasi berupa menyampaikan pendapat itu dilindungi UUD 1945 pasal 28 dan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. 

"Kami mengecam tindak kekerasan aparat kepada adik-adik mahasiswa, mereka itu aset bangsa, kelompok intelektual, calon pemimpin masa depan bangsa. Tidak perlu hadapi mereka dengan cara kekerasan. Kalau hadapi mereka dengan kekerasan, apa bedanya era dulu dan sekarang? Era refresif telah kita tinggalkan. Rezim ini jangan lahirkan diktator baru, yang enggan dan tidak mau dikritik". Hal itu dikatakan Plh. Ketua Umum Rumah Pejuang Indonesia (RPI) Dr. Ir. H. M Nizar Dahlan, M.Si kepada media di Jakarta, Jumat, (21/9/2018).

Menurut Nizar, perlu diperhatikan pesan-pesan yang disampaikan oleh para demonstran. Mereka menyampaikan pendapat tentang nilai rupiah yang anjlok, soal utang, soal ekonomi negara, soal harga-harga, soal daya beli masyarakat yang lemah. Jika pak Jokowi tidak menangani isu krusial itu sebaiknya mundur. Itu warning mahasiswa kepada Presiden Jokowi.

Negara wajib melihat pesan-pesan moral mahasiswa. Mereka menyampaikan pendapat tidak harus dihadapi dengan kekerasan. Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani unjuk rasa kan ada. Ada tahapan-tahapan. Tidak langsung memukul demonstran.

Diharapkan aparat yang terjun menghadapi para pengunjuk rasa adalah aparat yang dipimpin perwira menengah yang cerdas secara emosional, matang dalam mengendalikan keadaan dilapangan. Misalnya dua kelompok secara berlawanan berada pada tempat yang sama dalam berunjuk rasa, perlu dipisahkan. Jika kedua kubu bentrok, aparat tidak boleh membiarkan dan memihak pada salah satu kelompok. Kalau membiarkan kekerasan terjadi lalu dimana fungsi aparat sebagai penjaga keamanan? Membiarkan juga bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

Saya lihat adik-adik yang unjuk rasa di Medan Sumatra Utara pada Kamis (20/9/2018) berdarah-darah, saling kejar, lalu dipukul. Sebelumnya telah terjadi di Bengkulu yang menyebabkan 10 mahasiswa Bengkulu ditangkap dan luka-luka. begitu juga aksi mahasiswa di Makasar Sulawesi Selatan yang berakhir ricuh.

Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini menyatakan prihatin dengan cara kelolah Negeri model ini. Ini hanya bagian kecil cara menangani unjuk rasa mahasiswa. Isu yang diangkat itu berat. Perlu dijawab. Jangan menghindar dari isu yang diangkat mahasiswa, karena isu yang diangkat menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia. Cara refresif itu melanggar HAM. Bukankah soal hak asasi manusia itu salah satu Nawacita Presiden Jokowi?. Kalau ada perlu ada muatan atau isinya, bukan hanya wacana atau kosong tidak ada muatan. Unjuk rasa itu implementasi hak asasi manusia. Sistemnya sudah diatur dalam Undang-undang yang dibuat pembuat Undang-undang terkait menyampaikan pendapat dimuka umum, kritiknya.

Asal tahu, demonstrasi mahasiswa di kota Medan (Kamis, 20/9/2018) ricuh. Aksi unjuk rasa dari dua kelompok berbeda. Massa mahasiswa yang menentang Presiden Jokowi dan kelompok pro Presiden Jokowi saling lempar batu mengakibatkan enam orang terluka.

Menurut laporan CNN Indonesia TV, Kamis (20/9), insiden bermula ketika kelompok Aliansi Gerakan Mahasiswa Kota Medan dan komunitas Masyarakat Cinta NKRI bertemu saat berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumut, di Jalan Imam Bonjol, Kota Medan. 

Komunitas Masyarakat Cinta NKRI tiba terlebih dulu di titik unjuk rasa. Namun, selepas berorasi dan perwakilan mereka diterima oleh DPRD, kelompok itu bertahan. Sementara selang beberapa waktu kemudian datang kelompok mahasiswa yang juga menuju gedung DPRD Sumut, dari arah Jalan Perdana Medan.

Perwakilan mahasiswa, Herman Buang Manalu menyatakan ada sebelas tuntutan dibawa dalam unjuk rasa itu. Mulai dari stabilisasi ekonomi, reforma agraria, menolak kedatangan IMF-Bank Dunia di Bali, hingga jaminan kebebasan berpendapat.

Sebagaimana dilansir ANTARA, para mahasiswa sempat berupaya masuk guna melaksanakan salat zuhur di Masjid Baiutus Syuro DPRD Sumut. Namun, mereka gagal.

Setelah melaksanakan shalat, para mahasiswa kembali berorasi dan diterima Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Sumut, Zulfikar. Dia naik ke mobil pengeras suara yang dibawa mahasiswa.

Ketika Zulfikar sedang berdialog dengan mahasiswa, sejumlah botol air mineral dilempar dari arah kelompok yang kontra dengan mereka. Lantas mahasiswa membalasnya. Setelah itu kedua kelompok massa lantas bergantian saling melempar batu.

Ketika mahasiswa melanjutkan orasinya, terjadi lemparan lagi hingga memicu bentrokan. Alhasil polisi menyemprotkan meriam air (water canon). Sebelunnya tindakan yang sama dilakukan kepada mahasiswa Bengkulu dan mahasiswa Makasar yang melakukan aksi unjuk rasa dengan isu yang sama.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال