Jakarta,IMC-Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) melakukan pengawasan langsung ke Tanjung Pinang dan Batam pada
16-18 September 2018 terkait kasus dugaan kekerasan di salah satu SMK di Batam
yang dilakukan oleh Pembina sekolah, oknum ED yang kebetulan
anggota kepolisian Polresta Barelang, Batam. Oknum polisi tersebut diduga
melakukan tindakan berupa pemukulan, memborgol korban, dan mengurung anak
korban selama lebih dari 48 jam.
Dalam upaya menangani kasus ini,
KPAI bersurat pada Gubenur Kepulauan Riau (KEPRI) untuk memfasilitasi
rapat koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. KPAI juga
bersurat kepada Ketua KOMPOLNAS dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(KEMDIKBUD) turut menghadiri rapat koordinasi di kantor Gubenur
KEPRI.
RAPAT
KOORDINASI ANTAR LEMBAGA
Pada Senin, 17 September 2018,
Pemprov KEPRI menggelar rapat koordinasi yang dihadiri oleh KPAI,
KOMPOLNAS, KEMDIKBUD RI dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait
seperti : Dinas Pendidikan, Dinas PPA/P2TP2A, dan Inspektorat Provinsi
Kepulauan Riau, KPPAD KEPRI dan perwakilan Kapolda KEPRI serta pihak sekolah
.
KPAI menurunkan tim yang terdiri
atas Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan didampingi seorang
asisten. Sedangkan pihak Kemdibud di wakili oleh Direktur SMK, Staf Ahli
Menteri Bidang Regulasi dan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kemdikbud berserta staf. Adapun Kompolnas di wakili oleh Komisioner
Poengky Indarti berserta staf.
Rapat koordinasi yang dipimpin oleh
wakil Gubenur KEPRI menghasilkan beberapa catatan berikut ini :
Pertama, Dinas Pendidikan Provinsi
KEPRI menjelaskan bahwa Kadisdik dan jajarannya sudah turun mengecek
langsung kondisi sekolah pada Rabu, 12 September 2018 dan sudah melakukan
supervisi. Kadisdik Prov. KEPRI meminta sekolah melakukan perubahan dan
perbaikan sarana prasarana pendidikan, memberikan perintah untuk sekolah
membongkar ruangan yang dihebohkan yaitu ruang konsultasi yang mirip sel.
Kadisdik juga memberikan peringatan
keras untuk sekolah dilarang menggunakan kekerasan dan pola
pendidikan semi militer dalam mendidik dan mendisiplinkan peserta didik. Dinas
pendidikan juga meminta nama sekolah diganti dari SPN menjadi SMK sesuai
aturan pemerintah. Sementara proses pembelajaran terhadap
siswa di sekolah dipastikan tetap berjalan kondusif.
Kedua, Komisioner Komisi Kepolisian
Nasional (KOMPOLNAS) menyatakan dukungan terhadap penyelesaian kasus ini
dan mengapresiasi KPAI yang sudah mengundang pihak Kompolnas dalam rapat
koordinasi kasus kekerasan terhadap anak yang melibatkan seorang anggota
kepolisian. Sebagai pengawas eksternal kepolisian maka Kompolnas memerlukan
hadir dalam rapat koordinasi ini agar lebih mengetahui duduk
persoalannya.
Kompolnas menyampaikan rencana untuk
bertemu Wakapolda KEPRI pada Selasa (18/9) untuk memastikan proses penanganan
oknum ED yang merupakan anggota kepolisian terkait pelanggaran etika dan
pelanggaran hokum yang dilakukan ED terhadap ananda RS, seperti menangkap tanpa
surat penangkapan, memborgol anak, menganiaya dan menahan anak selama lebih
dari 24 jam. ED diduga kuat telah mencemarkan nama institusi kepolisian karena
telah bertindak sewenang-wenang dan tidak professional.
Ketiga, Catharina (Staf Ahli Menteri
Bidang Regulasi) menyatakan keterkejutannya atas kasus kekerasan
yang menimpa ananda RS. Sebagai Jaksa yang dikaryakan di Kemdikbud,
Catharina mengecam pemborgolan oknum ED terhadap ananda RS, karena dalam
UU SPPA sangat jelas diatur bahwa anak pelaku tidak boleh di borgol—apalagi RS
bukanlah pelaku pidana”. Selain itu, mengeluarkan peserta didik dari sekolah
juga bukan tindakan yang bijak. Ctaharina juga menyoroti sekolah yang berada di
Ruko (Rumah Toko) karena sekolah semestinya memiliki lahan sebagaimana
ditentukan dalam Standar Nasional Pendidikan terkait standar sarana dan
prasarana sekolah.
Keempat, Ketua KPPAD KEPRI, Faizal
menyampaikan terkait banyaknya siswa di wilayah Kepulauan Riau yang dikeluarkan
oleh pihak sekolah karena pelanggaran sekolah, apalagi masih banyak sekolah
yang menggunakan sistem point dalam menentukan sanksi bagi para siswanya, namun
jarang sekolah yang memberikan reward bagi prestasi dan kebaikan anak-anak. Ananda
RS adalah salah satu siswa yang dikeluarkan dari SMK tersebut karena alasan
indisipliner. Mengeluarkan peserta didik dengan alasan indisipliner seharusnya
dibenahi karena melanggar pemenuhan hak-hak anak di bidang pendidikan.
KPAI
DAN LPSK BERTEMU KORBAN DAN KELUARGANYA
Sebelum ke sekolah, KPAI dan LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bertemu dengan ananda RS dan
keluarganya untuk mendengar langsung apa yang dialami oleh ananda RS saat
diborgol di Bandara Hang Nadim Batam, kemudian dianiaya di mobil selama
perjalanan, sampai di tahan di salah satu ruangan di sekolah selama lebih dari
48 jam.
Pada 6/9 ananda RS ditangkap oleh
pembina SPN Dirgantara, Oknum ED yang berpakaian dinas kepolisian, di ruang
tunggu Bandara Hang Nadim Batam, kemudian kedua tangannya diborgol dan digiring
ke bawah, dimasukan dalam mobil menuju ke sekolah. Menurut pengakuan korban,
dalam mobil, ia dipiting dan sempat dipukul. Di mobil ada siswa SPN yang
mengiringi korban dan mengambil foto aksi tersebut.
Sampai di sekolah, orangtua korban
dihubungi oleh pembina sekolah ED bahwa anaknya sudah diamankan dan berada di
sekolah. Orangtua RS diminta datang ke sekolah menyelesaikan permasalahan
antara pihak sekolah dengan orangtua, terkait tunggakan biaya pendidikan. Orangtua
datang ke sekolah, pihak sekolah meminta orangtua melunasi uang yang diminta
antara lain uang PKL, uang SPP selama kabur dan uang pencarian korban selama
kabur. Sembari orangtua mencari uang untuk melunasinya, Ridho tidak boleh
pulang dan tetap berada di sekolah dan menurut pengakuannya, ia di kurung dalam
ruangan yang mirip sel.
Esok harinya (7/9), RS sendiri tanpa
didampngi orangtua menjalani sidang disiplin di sekolah atas tuduhan
pelanggaran yang dilakukan selama ini dinilai telah mencemarkan nama baik
sekolah. Ia disidang oleh pembina, pihak sekolah dan beberapa temannya
yang lain.
Pada (8/9) RS mendapatkan
hukuman fisik berupa disuruh berjalan jongkok di perkarangan sekolah yang
beraspal dalam kondisi tangan masih diborgol dan disaksikan teman
temannya yang lain. Akibat kejadian itu, kedua telapak kaki korban mengalami
luka lecet. Setelah itu, dilakukan upacara pelepasan atribut sekolah di
lapangan sekolah.
Dari pertemuan dengan KPAI dan LPSK,
keluarga korban membutuhkan perlindungan, namun LPSK hanya bisa melindungi jika
kasusnya pidana oknum ED di laporkan ke kepolisian. Akhirnya keluarga korban
sepakat melaporkan kasus pidana ED ke polisi dan keluarga korban juga mengisi
permohonan kepada LPSK untuk mendapatkan perlindungan sebagai saksi maupun
korban dan menyetujui rehabilitasi psikologis terhadap ananda RS.
KPAI
DAN KOMPOLNAS DATANGI SEKOLAH
Setelah melakukan rapat koordinasi
di kantor Gubenur Kepulauan Riau (KEPRI) yang dipimpin oleh Isdianto, Wakil
Gubenur KEPRI, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan KOMPOLNAS
melanjutkan pengawasan ke BATAM untuk mengunjungi sekolah yang diduga memiliki
ruangan konseling yang difungsikan juga sebagai sel tahanan bagi siswa yang
melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, pada selasa pagi, 18 September
2018.
KPAI dan KOMPOLNAS melakukan
pengawasan langsung ke sekolah untuk melihat langsung ruangan “sel tahanan”
yang sudah dibongkar oleh pihak sekolah dan meminta keterangan dari kepala
sekolah dan para guru terkait kejadian yang sebenarnya dan kiprah oknum polisi
ED. Meskipun disaat itu, pelanggaran disiplin dan etik oknum ED sebagai polisi
sedang diproses di Propam Polres Barelang.
Saat pengawasan ke sekolah, KPAI dan
Kompolnas menyaksikan ruangan konseling yang sebelumnya mirip gudang sudah
diubah menjadi ruangan yang lebih mirip dengan ruang UKS (Unit Kesehatan
Sekolah), karena ada 2 tempat tidur tingkat dilengkapi dengan 4 kasur, 4 bantal
dan diberi seprai warna biru muda. Ruangan ini dilengkapi ruang toilet kecil
dan tidak berpintu. Ruangan cukup sejuk karena ada pendingin udara dari ruangan
di sebelahnya.
KPAI dan KOMPOLNAS juga sempat
berdialog dengan kepala sekolah dan para guru. Ada pengakuan bahwa para guru
selama ini juga tidak menyetujui pendekatan kekerasan di lingkungan sekolah,
namun para guru tidak berdaya melawan dominasi oknum ED. Sejak Februari 2018,
oknum ED berkantor di sekolah ini setiap harinya selama jam belajar di sekolah
berlangsung, artinya diduga kuat ED tidak menjalankan tugas sehari-hari di
Polresta Barelang.
Kepala Sekolah juga menunjukkan
kepada KPAI bahwa SMK Penerbangan ini memiliki banyak prestasi dan memiliki
kurikulum yang sudah disesuaikan dengan Kurikulum Nasional sebagai sekolah
kejuruan. Sekolah juga memiliki rencana bekerjasama dengan pihak luar negeri
untuk kepentingan pengembangan pembelajaran di sekolah. SMK Penerbangan ini
sudah meluluskan siswa angkatan pertama dan kedua, serta sudah mengantongi ijin
sekolah. Saat ini sekolah memiliki siswa sebanyak 134 orang.
Terkait peristiwa kekerasan terhadap
RS, kepala sekolah menyatakan kekhawatiran akan reputasi dan kepercayaan pihak
lain terhadap SMK Penerbangan ini. Namun, sekolah mengambil pembelajaran dari
peristiwa untuk pembenahan dan perbaikan ke depannya. Kepala Sekolah mengaku
sudah berkali-kali mengingatkan oknum ED untuk tidak melakukan kekerasan
terhadap anak karena khawatir menjadi masalah mengingat sudah ada UU
Perlindungan Anak.
Menurut KPPAD KEPRI, pada 13/9 lalu
dalam suatu mediasi yang di fasilitasi oleh Polresta Barelang, pihak
sekolah sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada ananda RS dan
keluarganya. termasuk memulihkan nama baik anak lewat media sosial maupun media
massa. Sekolah minta maaf apa yg dituduhkan pembina dan pihak sekolah
selama ini ke ananda Ridho atas tuduhan mencuri, menggunakan narkoba dan
pencabulan adalah tidak benar.
“ KPPAD KEPRI dan KPAI akan terus
memantau pelaksanaan komitmen dari piahk Dinas Pendidikan Provinsi KEPRI untuk
melakukan pembenahan dan perbaikan system pendidikan di KEPRI agar lebih ramah
anak dan menjamin hak-hak anak lainnya,” pungkas Komisioner KPAI bidang Pendidikan
Retno Listyarti dalam rilis tertulis yang diterima redaksi,Rabu ( 19/9/18 )
malam. ( Rls/Zer )
Tags
KPAI