Perjuangan Masyarakat Adat Dolu, Mengukuhkan Identitas Masyarakat ber-Adat


Perjuangan Masyarakat Adat Dolu, Mengukuhkan Identitas Masyarakat ber-Adat

Oleh Akhmad Bumi)*

Perlawanan masyarakat adat Dolulolong terhadap pelaksanaan proyek reklamasi pantai Balauring dan pembukaan jalan wisata lingkar Lohu Balauring-Dolulolong membuka mata bagi segenap pihak, bahwa pembangunan model apapun tidak dapat mengabaikan hak-hak masyarakat adat, yang nyata-nyatanya masih ada. Narasi perjuangan terletak pada masyarakat adat dan dampak sosio-kulturalnya.

Dolulolong sebuah desa kecil, 59 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Dengan infrastruktur jalan yang jelek, melalui jalan darat dari arah barat Lewoleba ditempuh sekitar 2 sampai 3 jam menyusuri jalan berdebu dan berlubang sepanjang jalan. Dolulolong, kampung terpencil, dengan penduduk dengan mata pencaharian rata-rata petani baik petani darat maupun petani laut. Memasuki kampung Dolulolong tampak struktur tanah berbukit-bukti dan bebatuan. 

Ada dua sumur (air tanah) yang berada dilembah barat dan lembah timur mengapit kampung mungil itu. Di barat disebut "wei tiu" dan di barat lagi wei tiu ada kali hidup yang diberi nama "kali meru" yang tampak subur ditumbuhi kelapa dan pisang nan hijau membujur arah selatan ke utara. 

Di timur kampung Dolu, ada lagi sumur yang disebut "wei edang", persis dikaki bukit Leu Lai. Puluhan meter dari arah wei edang (sumur), ada sebuah batu yang disebut "kora-kora" (waq tene). Kalau ula werung (bulan baru) tampak terang dan menyala, ula opol (bulan purnama) tampak redup. Parid Ridwanudin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sempat mengunjungi batu itu sekitar akhir Juli 2018, dalam perjalanan wisata keadilan untuk perikanan, pria kelahiran Jawa Barat ini mendarat dikampung berbukit itu. Sempat selfi bersama warga Dolu di Wata Riang (pantai besar) dan dirumah adat (huna hale) persis berada didalam area Nuba Nara. Dari Lewoleba, pria dengan postur tubuh yang sedikit mungil itu menumpang bis penumpang Lewoleba-Kedang. Tentu potret infrastruktur jalan yang dilalui tidak semulus Jakarta, tidak sehebat iklan festival tiga gunung Lembata yang menghabiskan uang puluhan milyar rupiah. Daya dukung industri pariwisata rasanya terkubur bersama debu dan kerikil yang beterbangan, ketika kendaraan lewat. 

Disebelah batu perahu (kora-kora) dikampung Dolu itu, ada tempat yang diberi nama "Uhe Dolu". Uhe secara harfiah diartikan sebagai isi perut bumi atau daya penyegar tanah. Ada batu berpesona manusia halus dan lubang sejauh mata memandang. Setiap kunjungan wisatawan, selalu mengunjungi tempat itu, yang ditemani Dinas Pariwisata Lembata. Bulan Juli kemarin dari STFK Ledalero Maumere melakukan study tentang tempat itu, mengapa berada dikampung itu dan seperti apa kejadiannya. 

Bagi masyarakat adat Dolu meyakini "Uhe" itu tidak akan mati, bisa lenyap kalau lenyap juga alam semesta. Kalau ia bisa mati, maka bukan "Uhe" namanya. Dia berada, menempati dan hidup dibawah tanah, jika bergerak maka orang yang berada diatasnya merasa seperti neju (gempa). Artinya ada yang menggoncangkan, batang (auq pulu), batang tubuh bumi. Oleh kepercayaan adat setempat, bumi ditahan oleh "tanah ekang" atau seekor naga. Kalau ada neju (gempa) maka orang diatas tanah berteriak "eke beq, eke beq" (kami disini, kami disini). Keyakinan adat, orang yang hidup diatas bumi ada penjaganya dibawah bumi. Masyarakat adat Dolulolong meyakini hal itu sebagai "naga leu".

Di sebelah timur dari wei edang (sumur) sekitar 200 meter, ada namanya "wei laong". Wei Laong artinya kali anting-anting telinga. Bagi masyarakat adat Dolulolong meyakini wei laong dikawal ular naga, ara bora. Akarnya menjalar ke laut. Jika malam hari lewat dengan perahu, orang dapat lihat cahayanya pada dasar laut. Dan jika melanggar dikawasan tersebut perlu ameq sabong, wajaq dopi (minta permisi). Pohon yang tumpuh di wei laong itu berasal dari biji mata musang (mato uluq). Uluq artinya bibit. Mato-matan artinya asal mula kekayaan. Olehnya laut tidak bisa dicemari, dirusak dan lain-lain. Ikan dilaut adalah harta kekayaan untuk anak cucunya. Jika tidak merawat laut dan darat sama dengan tidak merawat mereka. Untuk menerjemahkan istilah dan keyakinan masyarakat adat tersebut butuh kajian yang komprehensif baik dari aspek teologis, budaya dan aspek-aspek lain.

Tempat tinggal warga Dolulolong tepatnya diatas punggung yang dibelah kedua lembah air tersebut. Diatasnya, dari kampung sekarang disebut leu tuang (kampung lama). Kampung lama (leu tuang) oleh warga adat setempat tidak bisa ditempati, tapi ditanami tanaman atau pohon umur panjang dan rindang. Jarak tempat tinggal warga dengan kedua sumur yang disebutkan diatas sekitar kurang lebih 300 sampai 500 meter. Cara mengambil air dengan cara menjunjung disetiap pagi dan sore. Terkadang menggunakan jasa ojek. Memasuki kampung kecil tersebut, dipintu gerbang tertulis "Selamat Datang di Desa Bersejarah Dolulolong". 

Sekitar 200 meter dari gerbang pintu masuk, kearah utara kita akan memasuki rumah adat yang disebut Nubanara. Disitu tertulis "Nuba Sili Kiti, Nara Laha Lowa" dari arah timur, dari arah barat tetulis "Ang Baa-Ular Doro". Dikelilingi tembok yang tersusun dari "batu biri" setinggi 2 sampai 3 meter. Di dalam Nubanara, ada lima kursi tersusun dari "batu biri / sejenis batu tipis", kursi yang tersusun dari batu tersebut adalah singgasana para tetua adat yang dipersimbolkan pada lima kaleq (lima kabilah adat). 

Lima Kaleq berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing. Fungsi pemerintahan dan adat, Agama, keamanan kampung (kapitang riang), teritorial / kepala perang (kapitang duling) dan pertukangan. Terdapat rumah pertemuan adat yang diberi nama "Huna Hale" yang berbentuk panggung tanpa dinding yang berada disebelah kursi yang disusun dari batu tersebut. Diluar Nuba Nara, sekitar 50 meter dari Nubanara ada sebuah rumah kecil disebut "Huna Biri". Lima kaleq (lima kabila) dengan pembagian fungsi masing-masing tersebut sudah ada jauh sebelum Indonesia ini merdeka. 

Disebelah utara kampung mungil itu, ada tiga tanjung berjejer. Ada tanjung yang bernama "gerok tubar". Gerok tubar diambil dari nama leluhur Dolulolong yang maqamnya terletak ditanjung tersebut bernama "Gerok Ula Hading". Dikiri kanan maqam leluhur Gerok Ula Hading diapit oleh tiga maqam orang Belanda yang dibunuh masa itu. 

Tanjung satu lagi bernama "liang utuq", disitu ada sebuah pohon besar dan sudah tua yang diberi nama "dang lapaq". Pohon "dang lapaq" ini dipersimbolkan seorang leluhur yang sebagian tubuhnya keatas berbentuk manusia dan sebagiannya lagi kebawah berbentuk naga, serta "kemaluannya" tumbuh ditengah pusat (perut), tidak sebagaimana biasa pada manusia pada umumnya. 

Satu tanjung lagi disebut "tiu lewang" atau yang biasa disebut tanjung kubur buyaq Sultan Abdul Manan bin Boli. Ketiga tanjung ini berjejer maqam-maqam leluhur tempo dulu. Ditanjung tiu lewang ini yang dilewati jalan wisata lintas Lohu Balauring-Dolulolong yang diprotes dan digugat masyarakat adat Dolulolong.

Di kawasan Lohu, ada sekitar 6 sampai 7 makam leluhur tempo dulu dan satu benteng yang digunakan untuk menghalau musuh tempo dulu, era kolonial. Ada maqam Dawa Miteng. Disebut Dawa miteng karena lidahnya berwarna hitam, orang Dolu menyebut sebagai "pendekar" dimasanya. Selain Dawa Miteng, ada lagi leluhur Dolu yang membunuh Meo di arah timur, tepatnya di ape napoq. Leluhur itu bernama "Tuaq Lao", membunuh Meo lalu ususnya dibuang ditempat yang bernama lodung teing. Olehnya, keturunan leluhur "Tuaq Lao" sampai sekarang ari-ari setiap keturunan yang lahir tidak bisa ditanam tapi harus digantung. Kenyataannya, jika ari-ari ditanam maka akan meninggal.

Ada lagi tempat di Lohu yang disebut "jarang uhur", tempat seorang leluhur Dolu bernama "Tahiq Riang". Tahiq Riang bersaudara dengan Nepa Riang dan Tarang Riang yang satu turun di Leu Utung dan satu lagi turun di Leu Wohung. Harta peninggalan leluhur itu dalam bentuk ahung (bambu kecil) yang disimpan oleh keturunanya sampai kini di Dolu. Ahung (bambu kecil) yang digunakan dalam membunuh musuh dimasa itu. Leluhur ini yang menjaga batas ulayat Dolulolong (nanga) diujung barat dengan kendaraannya berjenis kuda (orang Dolu menyebutnya jarang). Demikian maqam dan temapt sejarah lain yang ada di Lohu. Semua tempat itu dilewati jalan wisata Balauring-Dolulolong sejauh 7 kilometer yang hendak digusur, olehnya diprotes dan digugat warga adat Dolulolong. Mempertahan adat dan nilai-nilainya.

Konsepsi Hukum Adat

Hukum adat dikonsepsikan sebagai komunalistik, mengandung unsur kebersamaan. Komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan disebut Hak Ulayat. 

Tanah Ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini  sebagai karunia suatu Kekuatan Ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Adapun kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (desa, marga, nagari, huta). Bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogik atau keluarga, seperti suku, dll. 

Menurut Prof. Boedi Harsono, 'Kekuatan Ghaib, "Hak Ulayat sebagai hukum kongkrit, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan Ghaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak Ulayat sebagai lembaga hukum sebelumnya. Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat. Yang menjadi obyek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan. (Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaan, Hlm. 272. Ed. Rev., Cet ke-8 : Djambatan, 1999).

Ulayat Dolulolong, oleh masyarakat adat Dolu menuturkan ulayat dan batas-batasnya ditunjuk oleh dua makhluk ghaib yang disebut "Ang Baa, Ular Doro". Tempat hidup kedua makhluk ini berada dalam sebua gua besar dibawah tanjung gerok tubar, gua itu menembus hingga kedalam kampung dan menembus sampai dikaki bukit leu lai. Para pencari sarang burung walet sering memasuki gua itu tapi tidak bisa menembusnya kedalam. Simbol dua makhluk itu terpasang dipintu masuk Nuba Sili Kiti, Nara Laha Lowa.

Para warga adat sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum disebut hak milik dilekati. Demikian pula tanah adat diperuntukkan untuk kepentingan umum dan pembangunan dalam arti seluas-luasnya. Olehnya tanah adat tersebut baik dalam peruntukkan, penguasan dan penggunaan serta pemeliharaan diatur oleh kelompok adat yang bersangkutan, selain diatur dengan tertib juga menjaga agar tidak menjadi sengketa, juga bisa terjaga kelestarian kemampuannya bagi generasi-generasi yang akan datang.

Keberadaan Ulayat Dolu

Apakah hak ulayat Dolu memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki peraturan perundang-undangan? Untuk menjawab ini, terlebih dahulu kita harus memastikan apakah syarat-syarat hak ulayat sebagaimana diatur dalam pasal 3 UUPA terpenuhi. Kurniawan Warman dalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Hukum Majemuk (hal. 40) mengatakan, persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah;

1. Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada. Mengenai hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika kenyataanya memenuhi unsur;
- Masyarakat masih dalam bentuk peguyuban (rechtsgemeenschap). Peguyuban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan oleh orang-orang yang sefaham untuk membina persatuan (kerukunan) diantara anggotanya. Masyarakat adat Dolu dalam bentuk peguyuban, berhimpun dalam suku atau marga baik kecil maupun besar, kemudian suku-suku atau marga-marga tersebut dihimpun dalam lima suku besar yang disebut "Kaleq Leme" dengan fungsinya masing-masing.

- Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya (Lembaga Adat). Lembaga Adat adalah wadah masyarakat adat yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan adat sendiri dan berhak mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat. Masyarakat adat Dolu memiliki perangkat Lembaga Adat yang dibentuk berdasar Keputusan Kepala Desa dan berlaku dari tahun ke tahun hingga sekarang yang salah satu tugasnya adalah mengurus hak ulayat masyarakat adat Dolulolong.

-Ada pranata dan perangkat hukum adat, yang masih ditaati. Pranata hukum adat berfungsi untuk memutus maupun mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Sebelum adanya UU Desa yang mengakui keberadaan kelembagaan pranata hukum adat, jauh hari sebelumnya sanksi adat sudah ada dan masyarakat adat Dolulolong masih mengakui sanksi adat sampai saat ini. Sanksi dan denda adat bagi masyarakat adat yang melanggarnya. Sanksi adat dalam masyarakat adat Dolulolong diterapkan sampai saat ini dalam berbagai kehidupan bagi masyarakat adat Dolulolong, seperti perkawinan (belis), sengketa pengelolaan tanah adat, kematian, pengeloaan hutan, dll.

-Masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hasil hutan adalah segala material yang didapatkan dari hutan, seperti kayu potong, kayu bakar, demikian juga hasil hutan non kayu (hasil hutan yang dihasilkan tanpa menebang pohon). Pemungutan hasil hutan masih berlaku bagi masyarakat adat Dolu, seperti senso kayu, pencarian kayu bakar atau kayu potong, diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat adat.

2. Sesuai kepentingan nasional dan Negara. Untuk syarat ini sudah dilakukan berulang kali oleh masyarakat adat Dolulolong, mayarakat adat Dolulolong memberi hibah untuk kepentingan umum tidak pernah ditukarkan dengan rupiah dan hal ini berlaku sejak dahulu kala. Untuk kepentingan umum dan Negara, masyarakat adat Dolu melakukan  hibah untuk pembangunan kantor pemerintah dan swasta maupun kepada warga yang membutuhkan. Hibah untuk pembangunan Kantor Koramil 1624-04 Lembata Timur di Balauring, hibah untuk pembangunan Asrama para anggota Koramil 1624-04 Lembata Timur di Balauring, hibah untuk pembangunan PLN Omesuri, hibah untuk pembangunan KUD Balauring, hibah pembangunan kantor Camat (lama), hibah untuk pembangunan Masjid Al-Munawwarah Wuaq Ikang Balauring, hibah untuk pembangunan Gereja Katolik di Balauring, hibah untuk pembangunan BKIA di Balauring, hibah untuk pembangunan Puskesmas Balauring, dan sekitar 70% penduduk Desa Balauring yang riwayat perolehan hak atas tanah diperoleh melalui hibah dari Para Penggugat atau masyarakat adat Dolulolong, selain tanah pekarangan untuk pembangunan rumah tempat tinggal juga untuk keperluan atau sebagai lahan pertanian kepada petani penggarap yang sudah berlangsung sejak dahulu kala. 

3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi. Persyaratan ini tidak sulit karena Negara mengakui keberadaan hak-hak tradisional (adat) sepanjang masih hidup sesuai pasal 18b ayat (2) UUD 1945, jika ada UU atau peraturan lain dibawahnya yang tidak mengakui hak-hak tradisional (hak ulayat) maka UU atau peraturan tsb bertentangan dengan UUD 1945 (inkostitusional).

Jika hak ulayat tsb memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki Undang-undang, apa Balauring berada dalam kawasan hak ulayat Dolulolong? 

Balauring sebelum menjadi desa definitif (desa sendiri) tahun 1960, Balauring masih berada dalam desa Dolulolong dengan sebutan istilah Leu Ote, Wata Noq (artinya, kampung Dolulolong, pantai Balauring), atau dengan sebutan lain dusun dari desa Dolu, dulu masih berada dalam kecamatan Lomblen Timur dengan ibu kota  Hadakewa, kabupaten Flores Timur. Pemekaran menjadi kecamatan Omesuri terjadi pada tahun 1964, bersamaan dengan kecamatan Buyasuri, Kecamatan Ile Ape, Kecamatan Atadei dan Kecamatan Nagawutun. 

Selain itu mengutip tulisan RH Barnes dari Vatter (1932 : 158) dalam bukunya tentang Kedang (Kedang a study of the Colletive thought of an Castern Indonesian People) diterjemahkan oleh Saver Jadav menyebutkan; pada tahun 1915 di Kedang terdapat 3 (tiga) pasar yakni pasar Wairiang, pasar Kalikur dan pasar Dolulolong. Yang dimaksud pasar Dolulolong adalah yang terletak di pantai Balauring. 

Dalam buku tsb disebutkan Dolu pada saat itu sebagai pusat gerakan anti Belanda dan proganda Bolschevistic yang dilakukan dengan cara mengusir kapal penembak Belanda yakni kapal Prina Hendrik dan kapal Benkoelen yang berlabu dikampung Dolulolong dipantai Balauring.

Selain itu wilayah ulayat Dolulolong di Balauring telah di akui oleh masyarakat dan Pemerintah Desa Balauring. Pengakuan sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Rapat Pembahasan Persehatian Batas Wilayah Administrasi antara Desa Balauring dan Desa Dolulolong yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2016, salah satu poin dalam Berita Acara tsb menyebutkan "Forum Rapat menyetujui bahwa Leu Ote Wata Noq merupakan Hak Ulayat Dolulolong".

Berita Acara sebagaimana disebutkan diatas ditandatangani oleh kedua Kepala Desa yakni Kepala Desa Dolulolong dan Kepala Desa Balauring, juga ditandatangani oleh 68 warga masyarakat kedua Desa tsb serta turut diketahui / ditandatangani oleh Camat Omesuri;

Selain Berita Acara tsb, ulayat Dolulolong di Balauring juga diakui melalui Surat Pernyataan Kepala Desa Balauring yang dibuat pada tanggal 16 Januari 2016 yang dalam surat pernyataan tersebut menegaskan "bahwa wilayah administratif Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata berada dalam wilayah Hak Ulayat Dolulolong";

Selain Desa Balauring, ulayat Dolulolong juga diakui oleh masyarakat dan Pemerintah Desa Hoe Lea I, hal itu tertuang dalam Berita Acara yang dibuat dan di tandatangani oleh masyarakat adat dan Pemerintah Desa Hoe Lea I bersama masyarakat adat dan Pemerintah Desa Dolulolong, Berita Acara mana dibuat pada tanggal 20 November 2011.

Pengakuan Hak Ulayat

Warga Dolu merupakan paguyuban masyarakat adat, yang memiliki hak-hak tradisional yang dilindungi Negara sesuai amanat Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang".

Pengakuan terhadap hukum adat dan hak-hak tradisional khususnya dalam bidang Agraria diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menyatakan, bahwa : "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".

Undang-undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan undang-undang.

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mengatur tentang desa adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di desa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan untuk desa berlaku juga untuk desa adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang adat. Olehnya mekanisme pengaturan hak-hak tradisional adat yang berada di desa seperti lembaga adat dengan fungsi-fungsinya merujuk pada pembentukan Peraturan Desa atau Keputusan Kepala Desa.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan kembali pengakuan Negara akan hak ulayat masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18b ayat (2) UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tsb) dibacakan pada tanggal 16 Juni 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan atas permohonan judical review terhadap UU Nomor  41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas adat lainnya. Mahkamah menjelaskan, masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah dan sumber daya alam termasuk hutan dan air. Pengakuan dari hak ini merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945.

Menurut Mahkamah, frasa "sepanjang kenyataannya masih ada serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, maka sepanjang itu juga diakui keberadaanya". Menurut Mahkamah, apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan  tidak ada lagi maka hak pengeloaan dikembalikan kepada negara.

Dalam pertimbangan lain Mahkamah menjelaskan, merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang". Undang-undang untuk mengurus hak-hak tradisional adat yang diperintahkan Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 tsb belum terbentuk. Dengan demikian, penghapusan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya (hak ulayat) oleh peraturan dibawahnya adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945.

Di Lembata belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Hak Ulayat. Belum ada tim penyelidik eksistensi hak ulayat di Lembata. Hal itu bukan berarti tanpa Peraturan Daerah (Perda) hak ulayat tsb tidak ada. Hak ulayat telah ada jauh sebelumnya dan hak ulayat lahir dari adat dan hukum adat di desa. Menurut Van Vollenhoven sebagaimana dikutip dalam buku "Hukum Adat dan Modernisasi Hukum" (Terbitan FH UII, 1998, hal. 169) bahwa hukum adat adalah hukum asli sekelompok penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) atau teritorial (desa) (lihat Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling-S.1855-2). 

Hukum tanah nasional disusun berdasarkan hukum adat tentang tanah. Selain hukum tanah nasional, Masyarakat Adat juga diakui dalam konstitusi Negara. Masyarakat Adat diakui dalam UUD 1945 (Amandemen Kedua) dan Hukum Tanah Nasional berdasarkan Hukum Adat tentang tanah dinyatakan dalam konsiderans UUPA. Dengan demikian, hak ulayat diakui keberadaanya oleh negara melalui peraturan perundang-undangan.

Kekuatan Masyarakat Adat

Masyarakat adat sebagai tema gugatan di Pengadilan Negeri Lembata, memiliki narasi yang kuat. Mereka memerangi rasa ketidakadilan dan diskriminasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Peran negara melalui pemerintah memperparah perampasan dan deforestasi. Negara mengabaikan hak-hak masyarakat adat melalui industri pariwisata. Memperkenankan pemodal yang dikemas melalui politik kekuasaan dan merampas hak-hak adat. Menafikan hukum perjanjian pelepasan dan pengalihan hak atas tanah  sebagai perintah peraturan dan syarat perolehan hak guna usaha dari masyarakat adat. 

Kekuasaan masyarakat adat dilucuti. Selain itu, pelaksanaan reklamasi pantai mengabaikan syarat-syarat sebagaimana seharusnya. Perlu ada ijin lokasi, ijin pelaksanaan reklamasi, Amdal dll. Selain itu tidak mempertimbangkan dampak kepada nelayan pesisir dan kerusakan lingkungan sekitar yang berakibat pada punahnya ekosistem laut sekitar. 

Kekuasaan menghamba pada pemodal, sekaligus penguasa adalah pemodal. Praktek bisnis, korporasi sekaligus melebur dalam kekuasaan dalam penguasaan lahan adat adalah model baru dalam praktik bisnis korporasi. Dalam aktivitas korporasi merusak lahan "kramat" milik masyarakat adat, membongkar situs sosial budaya, menggusur sumber-sumber pangan dan kehilangan sumber ekonomi masyarakat adat dan memperparah lingkungan dan tidak peduli dengan nelayan pesisir adalah bentuk ketidakadilan dan diskriminasi.

Gugatan masyarakat adat Dolu, disaat bersamaan dirayakan hari adat sedunia dengan mengambil tema : Media Adat, Adat Memberdayakan Suara. Memiliki diksi yang kuat dan makna horisontal yang relevan.

Sekretaris Jendral  PBB, Ban Ki Moon mengatakan, suara-suara masyarakat adat menceritrakan kisah menarik bagaimana mereka memerangi abad ketidakadilan, diskriminasi. Juga advokasi sumber daya serta hak-hak melestarikan budaya, bahasa  dan tradisi spritualitas. Dengungan Ban Ki Moon ini kiranya diresapi sebagai bahan dalam kerja-kerja advokasi masyarakat adat.

Dalam masyarakat adat, institusi-institusi sosial dan ekonomi adalah ciptaan dari mereka secara sadar, ter-refleksikan secara alami, memelihara nilai-nilai kehidupan, simbol-simbol, dan keyakinan dari budaya asli mereka. Corak masyarakat adat semacam ini, kekuatan dan nilai-nilai yang menentukan bagi mereka, mengalir sebagai semangat hidup bagi mereka dan bagi lembaga-lembaga peguyuban bentukan mereka. 

Berdasar pada keyakinan dan nilai-nilai itu, belakangan dicoba untuk diekspresikan melalui budaya kekuasaan politik, menggeser masyarakat adat dan digantikan dengan kelompok kapitalis (korporasi). Masyarakat kapitalis membuang spiritnya serta mengabaikan kapasitas manusia dengan identitas budayanya. Bagi kaum kapitalis, uang adalah ukuran nilai. Hidup hanya dinilai dengan harganya yang diobral; sebatang pohon hanya diukur dari jumlah kepingan kayu yang dapat dihasilkan (tanpa mempedulikan akibat ekologis yang mungkin ditimbulkan dari penebangannya secara liar). Tujuan pribadi ditetapkan dalam rangka mengejar kepuasan materi. 

Lembaga ekonomi kesayangan kapitalis, perdagangan publik, memusatkan kekuatan pada sumber-sumber produksi, pasar, media dan tekhnologi untuk melayani pasar-pasar finansial. Kekuatan ini digunakan oleh lembaga-lembaga korporasi ekonomi untuk menguasai institusi politik dan budaya sesuai kehendak mereka. Kekuasaan yang menggunakan kekuasaan politik dan kekuatan budaya secara normatif menjadi instrumen kontrol dan manipulasi. Pesan yang selalu dilakukan dalam praktik adalah bahwa cara untuk mengartikan cinta dan pemenuhan adalah dengan melakukan transaksi jual beli dan menjadi konsumen dari produk-produk yang diinisiasi, memperkuat alienasi individu dari sumber-sumber makna dan dientitas yang otentik. Kekuatan dan nilai yang menentukan masyarakat mengalir dari uang kepada lembaga dan kepada manusia. 

Kontrol atas sistem yang dengannya uang diciptakan dan dialokasikan adalah sumber primer dari kekuatan badan-badan korporasi. Ketergantungan mereka terhadap budaya non otentik yang didasarkan pada ilusi dan kesesatan untuk memelihara legitimasi mereka dalam pandangan masyarakat, adalah kelemahan mereka. Keaslian budaya adalah ajang kekuatan masyarakat (adat). Bagi masyarakat adat, dengan demikian budaya adalah arena pilihan yang menawarkan perjuangan, terutama, melawan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi korporasi yang tersemai yang hendak menyingkirkan fondasi kultural. Mulai saat ini kita perlu memikirkan nasib masyarakat adat 20 hingga 30 tahun mendatang, kita harus mentransformasikan masyarakat yang berdedikasi terhadap kecintaannya pada nilai-nilai dan identitas mereka dan melahirkan kelompok kreator budaya ataukah kita harus mengambil resiko dengan menuai kepunahan spesies kita sebagai masyarakat adat akibat pertarungan dan pergeseran budaya?

)* Penulis, Advokat, tinggal di Kupang

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال