Sang Penari Sabana-Antalogi Puisi Chee Nardi Liman








Sang Penari Sabana
Oleh: Chee Nardi Liman


Di ufuk barat temeram
gemawan  tertatih perlahan
menyelusup bias-bias sinar kian redup
dirangkul tambur berkisah
sedang pranja lamba melejit agung
melontar madah di rindu sabana.
Kayaka berlagu,berderu riuh
mengajak sandel bergoyang
tergerai janji suci marapu
menutup tandusnya padang.

Sosok berpahikung mungil
menyapa ilalang renja kandingangu
selendangnya membelai syukur
terkata di selasar doa.

Gemulainya rambu adalah kata tak terucap sepi yang terjawab senyum lesung pipi
di gema nggunggi samarkan cinta
iringkan rindu di pelupuk mimpi
kala hati mulai mekar
dan gemuruh jantung merangkul kabollul.
Di wairinding menjulang
pentaskan paaka, kau dan aku.

Wanno gaspar, 06 -08-2016

Ket:
pranja lamba,kabollul: jenis gong sumba timur
renja kandingangu: tarian pd ucapan syukur
nggunggi: alat sejenis harmonika. Digunakan orng dlm hal pacaran
wairinding: bukit d sumba timur
paaka: jenis tarian sanggar ori angu, sumba timur



Bunda Maryam

Salam Maria,
Di dendang puji, rindu menyapaMu
Kala pelarian ini lelah di tapal batas
Hanya engkau:
Penuh rahmat, Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita
Yang bergolak dalam kemewahan(rok mereka terhimpit, entah terlalu pendek
Disapa rok atau terlampau panjang dibaptis dalaman)
Sedang engkau terkurung dalam gaun kusam penanda waktu.

Dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Rahim sahaja memapah Tuhan
Tertatih di getir manusia
Menyebarkan harum tobat
Yang terkena polusi Adam dan Hawa.
Santa Maria Bunda Allah,
Lagi lantunan harap kami
Berdesak di selasar cintamu
Kala asa kami merayu-rayu
Tersamar lagu Ave Maria
(Yang kami sendiri rasa sumbang)
Doakanlah kami yang berdosa ini
Kerongkong kami membias cabul
Menerjang doa yang sayup dalam hati
Terselubung lagu(seolah)rindu akan Bapa
Kian menderu di simpuh munafik
Yang selalu banyak di altar sakral
Sekarang dan waktu kami mati.
Bunda....
Biarkan putingmu menyusui hati kami. Amin

Wanno gaspar,  27-06-2016



 Memoriam Puisi

Namanya puisi.
Umurnya jutaan tahun. Sang purba melahirkannya kala bumi mulai bertunas. Ia kencing di kepala penyair antah berantah tanpa nama yang (katanya) belum mengenal tinta. Bau pesingnya menyebar cepat, mengisi pembuluh nadi sang waktu yang sedang dicumbu musim di sebuah pelataran zaman.
Namanya puisi.
Air seninya lalu menjadi tinta kuli yang selalu didekap bibir kertas. Dibrondong bait-bait cinta sebuah karya. Disesap pecandu akut.

Lalu.....
Zaman mengganti popoknya. Dan ia mangkat di hati seorang wanita yang menggenggamnya di ufuk malam kian turun tadi. Kemudian para penyair menguburnya dalam desah-desah nafas mereka. Pagi- pagi berikut, mereka bertandak puisi.

Wanno gaspar, 08 agustus 2016


 *Chee Nardi Liman, CSsR
Mahasiswa fakultas Teologi wedhabakti Jogjakarta

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال