Kemerdekaan Sebagai Jembatan Emas (Refleksi 72 Tahun HUT RI)

Kemerdekaan Sebagai Jembatan Emas (Refleksi 72 Tahun HUT RI) 

Oleh: Emanuel Bataona

Setiap memperingati Hari Kemerdekaan, saya selalu teringat analogi Sukarno, bahwa kemerdekaan hanyalah ‘jembatan emas’. Ada makna filosofis yang terkandung di balik analogi itu.

Imajinasi kita tentang jembatan adalah titian atau penghubung. Dengan analogi jembatan itu, kemerdekaan diandaikan sebagai sebuah titian atau penghubung untuk memungkinkan perpindahan kita dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam hal ini, kita hendak berpindah dari alam kolonialisme ke alam merdeka.


Tetapi makna kemerdekaan sebagai jembatan emas punya makna filosofis yang lebih dari sekedar titian. Dalam risalahnya yang terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka, Sukarno menggambarkan jembatan emas itu sebagai sebuah ‘kemungkinan’ sekaligus ‘ketidakpastian’.

Kenapa bisa begitu?

Sukarno mengatakan, di seberang jembatan itu jalan pecah menjadi dua: satu ke dunia keselamatan marhaen, sedangkan satunya lagi menuju ke dunia kesengsaraan marhaen. Atau istilah dia: satu jalan menuju dunia sama rata-sama rasa, satunya lagi menuju ke dunia sama ratap-sama tangis.

Dia mengambil pengalaman Revolusi Perancis. Revolusi yang berlangsung di abad ke-18 itu memang berhasil meluluhlantakkan kekuasaan feodalisme. Namun, pada akhirnya, kaum borjuislah yang memegang tali kendali kereta kemenangan.

Di bawah kendali kaum borjuis, kereta kemenangan itu ternyata menuju ke dunia kapitalistik. Nasib rakyat jelata, terutama buruh dan petani, di bawah kapitalisme tidaklah lebih baik. Mereka tetap hidup nestapa karena dihisap dan ditindas oleh kapitalis. Mereka hanya berganti tuan: dari tuan feodal ke kapitalis.

Padahal, sebelumnya rakyat juga punya andil besar dalam penggulingan kekuasaan feodal. Malahan, jika tidak ada keikutsertaan rakyat jelata, perjuangan kaum borjuis melawan kekuasaan feodal tidak akan menang. Untuk memikat rakyat jelata, kaum borjuis mendengungkan setinggi langit slogan:  liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan) dan fraternite (persaudaraan).

Inilah yang disebut “jalan kesengsaraan” itu. Dan Sukarno tidak menginginkannya terulang dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dia tidak ingin rakyat Indonesia menjadi “pengupas nangka” dan hanya terkena ‘getahnya”, sementara nangkanya sendiri dinikmati oleh kaum borjuis atau ningrat.

Lalu, bagaimana “jalan keselamatan” itu? Bagimana bangsa ini mewujudkannya?

Sukarno memberi jawaban: kaum marhaen sendirilah, bukan kaum borjuis maupun ningrat, yang menjadi juru kemudi kereta kemerdekaan. Kaum marhaen harus menjadi pemegang tampuk kekuasaan politik sekaligus ekonomi. Inilah esensi dari konsepsi politik Soekarno yang disebut sosio-demokrasi.

Sosio-demokrasi adalah antitesa dari demokrasi parlementer yang dihasilkan oleh revolusi Perancis. Kata Sukarno, demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, tetapi tidak menjamin kebebasan di lapangan ekonomi.

Walhasil, kendati di ruang politik kaum marhaen diberi kesempatan, yakni hak memilih dan dipilih dalam pemilu, bahkan bisa menjatuhkan Presiden dan Menteri, tetapi di ruang ekonomi mereka tetaplah “hamba”. Nasib penghidupan mereka ditentukan oleh si majikan. Lebih sadis lagi, mereka bisa ditendang kapan saja menjadi pengangguran oleh si majikan. Karena itu, Sukarno menyebut demokrasi parlementer sebagai “demokrasi borjuis”.

Sosio-demokrasi berusaha menutup cacat demokrasi borjuis itu. Gagasan politik Sukarno ini menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Di sini, kaum marhaen bukan hanya pemegang tampuk kekuasaan politik, tetapi juga di lapangan ekonomi melalui model kepemilikan sosial.

Dalam demokrasi politik, rakyat menjadi pengendali jalannya kekuasaan. Semua urusan yang menyangkut kepentingan bersama, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kesenian, dan lain-lain, menjadi urusan rakyat. Ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat, baik melalui partai politik atau organisasi sosial maupun sebagai individu, dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama.

Dalam demokrasi ekonomi, semangatnya adalah pemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Spirit ini ada di dalam pasal 33 UUD 1945. Tidak ada lagi pemilikan alat produksi di tangan segelintir orang, yakni kaum borjuis, sementara rakyat banyak dipaksa menjadi buruh upahan.

Sosio-demokrasi menempatkan rakyat jelata sebagai pemegang kemudi kereta kemerdekaan. Dan sosio-demokrasi melalui kesetaraan di lapangan politik dan ekonomi akan membuka jalan menuju dunia sama rata-sama rasa.

Sayangnya, penyelenggaraan negara selama 72 tahun merdeka, terutama sejak jaman Orde Baru hingga sekarang, justru menyimpang dari keinginan Sukarno. Kita menyaksikan, sejak Orba hingga sekarang negara ini mengadopsi sistim kapitalisme. Alhasil, bukan rakyat jelata yang menjadi juru mudi kereta kekuasaan negeri, melainkan kaum borjuis.

Tidak mengherankan, di usia kemerdekaan yang sudah 72 tahun, bangsa kita bukannya mendekati duniasama rata-sama rasa, melainkan merasakan dunia sama ratap-sama tangis.

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال