NTT, IMC - Apakah dasar dari negara Indonesia merdeka?
Bung Karno (BK), seperti biasanya, menjawab tegas: Pancasila! Terminologi yang
dengan sangat puitis ia sebutkan telah lahir dari usulan seorang teman ahli
bahasa (Mohammad Yamin?).
Seperti
tercatat dalam teks pidatonya dan risalah sidang BPUPKI, BK mengklaim pidato
yang dibacakannya pada 1 Juni 1945 dihadapan seluruh peserta sidang adalah
jawaban tunggal atas pertanyaan ketua BPUPKI mengenai dasar negara. Klaim
tersebut dikonfirmasi kebenarannya melalui riset mendalam yang dilakukan oleh
RM AB Kusuma, seorang pakar sejarah hukum tata negara Universitas Indonesia.
Berbeda dengan
anggapan selama ini, Soepomo dan Yamin telah terlebih dahulu memberi jawaban
sebelum Sukarno mengutarakan gagasan Pancasila-nya. Setelah memeriksa notulensi
dan berbagai dokumen persidangan, AB Kusuma berkesimpulan ada banyak tokoh
selain dua tokoh di atas yang berpidato dan tidak satu pun, selain BK, yang
menyinggung perihal dasar negara.
Kesimpulan
tersebut menyudahi kontroversi penetapan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila
yang lebih dipicu oleh proyek desukarnoisasi pada masa rezim Orde Baru
berkuasa. Signifikansi penyematan “1 Juni” pada istilah Pancasila dalam judul
tulisan ini tidak terletak pada niatan untuk melibatkan diri dalam polemik di atas.
Ulasan tentangnya (Pancasila 1 Juni) bukan pula bagian dari skenario
problematisasi atas rumusan Pancasila dalam pembukaan konstitusi. Justru
sebaliknya, ini adalah tindak lanjut dari usaha menemukan kembali spirit yang
tertanam dibalik perumusan Pancasila. Menemukan kembali spirit Pancasila
identik dengan ikhtiar menemukan jawaban atas persoalan bangsa dengan
meneladani posisi dan cara para bapak bangsa menjawab persoalan bangsa pada
masanya. Dengan kata lain diskursus Pancasila 1 Juni ditujukan mengembalikan
vitalitas Pancasila dalam menanggapi tantangan kebangsaan.
Sejak awal
kelahirannya, Pancasila telah dimaksudkan sebagai dasar dari negara Indonesia
merdeka (BK menyebutnya dengan istilah Philosofische Grondslag). Untuk mengerti
Pancasila, karenanya, terlebih dahulu perlu mengetahui apa itu negara-merdeka.
Dalam pidato 1 Juni tidak dijumpai pengertian negara baik secara eksplisit
maupun implisit. Baru kemudian setelah beberapa tahun pasca proklamasi dalam
sebuah kesempatan kursus Pancasila, BK mengajukan sebuah definisi, di mana ia
mengartikan negara sebagai organisasi kekuasaan (baca Sukarno: 1959). Sebuah
pengertian yang diabsorbsi dari teori Marx.
Meski
demikian, BK berpandangan beda. Bagi BK, yang terpengaruh konsep negara
kekeluargaan dari Soepomo, negara tidak disusun berdasarkan semangat perjuangan
klas (meski ia menerima teori perjuangan klas), melainkan atas kemanunggalan
seluruh unsur rakyat Indonesia sebagai bangsa dengan negara, negara untuk semua
(baca Muhammad Yamin: 1959). Pun, berdirinya negara Indonesia dipandang sebagai
tahap maju atas proses perjuangan rakyat Indonesia menentang praktik
eksploitasi, setelah sebelumnya (pra kemerdekaan) rakyat Indonesia
mempergunakan partai politik sebagai alat perjuangannya.
Berkenaan
dengan penggunaan istilah merdeka, mengacu pada kerangka berpikir tentang
negara di atas, “merdeka” dapat didefinisikan sebagai syarat prakondisional
terealisasinya tujuan dari negara. Diafirmasi oleh BK di dalam artikel berjudul
“Mencapai Indonesia Merdeka” menggunakan metafora “jembatan emas” untuk
menggambarkan kedudukan strategis dari kemerdekaan – atas belenggu imperialisme
kapital dalam rupa kolonialisme- menuju cita-cita tertinggi bangsa. Penekanan
pada ‘merdeka’ sebagai predikat, mengisyaratkan bahwa materi muatan Pancasila
mengandung nilai-nilai dari satu bangsa yang merdeka. Atau dengan kata lain,
antithese atas apa yang disebut sebagai ideologi kaum penjajah (imperialisme
kolonial). Sehingga, memberi petunjuk tentang karakteristik dan kedudukan
Pancasila dalam proses berbangsa dan bernegara. (Bataona)
Penulis : Emanuello Bataona
Tags
Opini